Membaca Peta Pendidikan Sumbar (1); Ranah Minang Seolah Keluar dari Buku Sejarah

×

Membaca Peta Pendidikan Sumbar (1); Ranah Minang Seolah Keluar dari Buku Sejarah

Bagikan berita
Membaca Peta Pendidikan Sumbar (1); Ranah Minang Seolah Keluar dari Buku Sejarah
Membaca Peta Pendidikan Sumbar (1); Ranah Minang Seolah Keluar dari Buku Sejarah

Pidato di kelas, pidato adat di tengah masyarakat, seperti aliran Sungai Aufrat dan Tigris di Asia Barat yang punya andil cukup besar dalam membangun peradaban dunia. Duo sungai pidato itu lalu melahirkan anak-anak Minang yang mahir bersilat lidah. Berilmu.

Membaca, berpidato melahirkan kebiasaan menulis. Semua pejuang Minangkabau 1900-an itu adalah guru dan penulis kemudian wartawan. Tak peduli apapun spesialisasi pendidikannya.

Karena membaca, berpidato dan menulis adalah keterampilan, maka isinya adalah ilmu. Ini membawa mereka tenang dalam berdebat dalam berbagai forum dan tingkatan. Semua kepiawaian di atas memotovasi anak Minang untuk jadi diplomat.

Itulah sebabnya, jika ingin menyemput masa lampau nan gemilang itu, maka di sekolah dan madrasah mesti dihidupkan lagi dengan serius: membaca, menulis, debat dan pidato. Semua itu seperti membawa motor di belantara kota. Apakah Anda dokter, sarjana kehutanan, pertanian, geografi, matematika, sejarah, sarjana agama, terserah. Yang penting, anda dengan lincah bisa bawa motor dan selamat sampai kembali ke rumah. Demikian juga empat sekawan, tulis, baca, debat dan pidato, mesti dikuasai. Inilah kurikulum Minangkabau itu.

Kebiasaan ini, kemudian setelah kemerdekaan hilang, saya saja yang belajar di sekolah terbaik SPG, sekarang SMA 1 Padang Panjang, awal 1980, tidak pernah diajarkan, “membaca, menulis, berdebat dan berpidato.” Yang ada koran dinding, itupun koran terbitan Padang yang ditempelkan dalam bingkai berkaca. Hampir semua tidak bisa menulis, hampir semua “tidak pernah membaca.” Dunia pendidikan menjauh dari buku kecuali wajib.

Teman-teman saya dari berbagai sekolah juga tidak pernah sekalipun menyinggung soal itu. Saat kuliah, sama saja. Bisa jadi, setelah kemerdekaan, sekolah kita hanyut dalam sungai euforia kemerdekaan, sengketa politik nasional dan kebencian pada kemiskinan, yang seolah dipelihara oleh negara.

Kecelakaan sejarah PRRI, juga ikut membuat dunia pendidikan di sini, ambruk, seperti juga perasaan, harga diri dan apalagi ekonomi. Ketika Orde Baru, semua seragam, juga kurikulum dengan guru-guru baru tanpa basis “membaca, menulis, berdebat dan berpidato,” berdiri di depan kelas. Kelas sekolah umum atau madrasah. Yang diajarkan apa yang ada dalam kurikulum saja. Maka, kemudian Ranah Minang perlahan tapi pasti, keluar dari buku sejarah (bersambung)

Editor : Eriandi
Bagikan

Berita Terkait
Terkini