Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi Kenapa tak Mau Mudik?

×

Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi Kenapa tak Mau Mudik?

Bagikan berita
Foto Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi Kenapa tak Mau Mudik?
Foto Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi Kenapa tak Mau Mudik?

Saya menemukan beberapa fakta tatkala sedang asyik menulis novel biografi Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Salah satunya, tentang imam besar itu tak mau pulang ke kampung halaman.Banyak kisah yang menyebut, ahli matematika, falak, serta semua ilmu-ilmu agama itu, enggan pulang ke Minangkabau karena sistem waris garis ibu. Saya tak menemukan hal itu. Bahkan ketika istrinya Khadijah meninggal dunia, guru hampir semua ulama Minangkabau dan Nusantara ini, menulis, ia hampir gila. Karena itu, ia harus pulang kampung, tapi mertuanya Syekh Muhammad Saleh al-Kurdi melarangnya. Ia berkata, saya serahkan Fatimah, kakak almarhumah untukmu.

Dalam risalahnya, syekh yang berdunsanak dengan Agus Salim ini, menulis untuk anaknya, Tuhan telah menaklukkan dunia untuknya tapi katanya, “warga negara kita berbeda.”Muridnya KH Ahmad Dahlan bertanya kenapa tak mau pulang, ia juga tak menjawab. Hanya saja dalam novel biografi berjudul Dahlan, ditulis, ia tak mau pulang karena sudah berumah tangga di Mekkah. Muridnya DR Karim Amrullah mencatat, ulama besar ini, tak menjawab ketika ditawarkan untuk pulang. Yang ada air mukanya berubah dan ia menggeleng.

Banyak catatan jawabannya pada ayah Hamka itu dikaitkan dengan sistem waris Minangkabau yang memang ia tolak berkali-kali, bahkan menimbulkan debat sengit. Sangat sengit.Sayang tak satu katapun yang keluar dari mulut pendamai sengketa dua masjid di Palembang akhir 1800-an ini.

Bukan soal aturan warisSyekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi tak mau pulang menurut analisa saya bukan karena pola harta warisan di Minang yang ia tolak, tapi oleh sebab lain.

Sebab lain itu: pertama ia sudah berumah tangga di Mekkah. Istrinya kakak beradik, tuka lapiak. Ia menjadi “orang” di Tanah Suci banyak dibantu oleh mertuanya, yang ia sebut sebagai ‘Singa Penjaga’. Bahkan mahar dan biaya hidup pertama disediakan mertuanya.Kedua, karirnya di Mekkah sangat cemerlang. Anak Abdul Latif ini, merupakan orang non Arab pertama dan terakhir yang jadi imam besar Masjidil Haram dari mazhab Sjafeii.

Karena karir itu, orang Koto Tuo, Balai Gurah ini, ia menerima nafkah. Ia punya dua rumah di Mekkah yang dibeli pamannya, Abdul Gani Rajo Mangkuto seharga 4000 riyal.Ketiga, anak-anaknya tumbuh dengan baik dan menjadi pelajar yang cerdas-cerdas.

Keempat, Aminah, ibunya beserta dua adiknya serta ayahnya, sudah bermukim di Mekkah. Bahkan salah satu adiknya Hafshah, dinikahi pria Mekkah.Kelima, sebagaimana jamaknya perantau Minangkabau, jika ibunda sudah tak ada di kampung, hampir semua perantau tak mau pulang.

Keenam, saat pria yang menguasai bahasa Melayu, Arab, Inggris dan Belanda ini, diajak pulang, posisinya sedang sangat cemerlang di Masjidil Haram.Hampir semua jemaah haji Hindia Belanda mendatanginya. Itu artinya puluhan ribu orang tiap tahun. Ia menyebut nafkahnya, selain dari gaji, juga dari para jemaah itu.

Walau demikian, tiap tahun, ia mesti membayar hutang tahun lalu. Kebutuhan hidupnya tinggi karena banyak yang dibiayai.Selain itu ketujuh, ia malas pulang karena negeri ini dijajah kafir. Ada tiga kali cucu hajjah Zainab ini menulis kitab menjelaskan pada Belanda bahwa umat Islam itu jangan dialua-alua juga.

Pertama kitab tentang Isra Miraj, sebab Belanda mengatakan faktanya diragukan.Kedua rakyat Hindia Belanda diminta mendokan raja Belanda, ditulis lagi kitab oleh Ahmad Khatib.

Editor : Eriandi
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Terkini