Konversi Bank Nagari tak Semudah Membalik Telapak Tangan

×

Konversi Bank Nagari tak Semudah Membalik Telapak Tangan

Bagikan berita
Foto Konversi Bank Nagari tak Semudah Membalik Telapak Tangan
Foto Konversi Bank Nagari tak Semudah Membalik Telapak Tangan

Parpol Vs Industri Keuangan Vs RisikoAda perbedaan yang sangat mendasar antara partai politik, permainan politik dengan lembaga keuangan (perbankan). Partai politik dibangun dengan konsituen dan platform politik sedangkan perbankan dibangun modal uang dan diperkuat dengan trust publik.

Dua entitas ini salinglah bertolak belakang. Jika partai politik akan semakin besar dan menarik jika diterus digulirkan isunya di ruang publik dan mendapat atensi dari publik luas sedangkan perbankan justru sebaliknya. Makin digulirkan isunya ke ruang publik dengan cara-cara politis seperti saat ini maka semakin terganggu kepercayaan nasabahnya kepada lembaga keuangan tersebut.Kenapa terganggu? Lumrah saja. Bagi kita yang berkantong cekak kalau menitipkan dan menyimpan dana di sebuah wadah sementara wadah itu selalu diributkan dengan gonjang ganjing tak jelas tentulah rasa cemas dan takut akan muncul. Untuk itu hentikanlah mempolitisir polemik ini. Bukankah masyarakat sudah memberikan amanat kepada Kepala Daerah, berikanlah kepercayaan kepada kami. Kami juga ingin menyampaikan bahwa kami sebagai Kepala Daerah tak lah bodoh-bodoh amat. Sebagai Kepala Daerah pun kami menginginkan Bank Nagari Syariah. Perbedaan kita hanyalah pada cara mewujudkan bank syariahnya, ingat cara bersyariahnya.

Ada satu hal yang mesti kita ingat saat ini. Kondisi ekonomi bangsa dan Sumbar sangatlah jauh berbeda dibandingkan tahun 2019 yang lalu. Kini ekonomi kita sedang rontok, ekonomi kita tumbuh minus. Jangankan untuk survival, untuk bertahan saja dunia usaha sangatlah sulit sekali. Untuk itu, biarkan Bank Nagari saat ini berkerja dengan tenang dan nyaman. Janganlah diusik usik dulu.Begitu juga dengan aspek risiko. Sebagai pemegang saham kamipun harus mempertimbangkan banyak hal termasuk risiko yang akan muncul pascakonversi. Sudah jadi rahasia umum konversi menghasilkan “turbulensi” kinerja seperti yang terjadi pada BPD NTB. Intermediasi bank melambung, portofolio kredit terkunci, pendapatan bunga menurun, biaya operasional cenderung merangkak naik akibat penyesuaian sistem operasional termasuk jasa untuk fee consultan konversi yang nilainya mencapai miliaran, pencadangan (CKPN dan PPAP) meningkat. Muara akhirnya adalah menurunnya laba bersih usaha dan menciutnya deviden yang menjadi sumber PAD utama pemerintah daerah se Sumatera Barat saat ini. Bila kondisi sulit seperti itu terjadi siapa yang akan bertanggungjawab. Sudah tentu kami sebagai Kepala Daerah yang akan disalahkan oleh masyarakat.

Itu baru dari sisi risiko bisnis, belum lagi kita bicara konsekuensi dari keputusan. Khusus untuk konversi ini adalah hal yang jauh lebih sulit. Konversi ini bukanlah untuk coba-coba. Artinya, begitu diputus konversi maka kita tak bisa lagi kembali menjadi bank Umum Konvensional (BUK). Kalau kita ingin kembali ke konvensional maka kita harus memenuhi aturan layaknya membuat bank umum konvensional yang baru. Sanggupkah kita menyediakan modal Rp1 Triliun hingga sampai Rp3 Triliun dalam kondisi keuangan daerah yang berat akibat recofusing saat ini?Sebagai salah satu pemegang saham saya melihat dan mengajak marilah kita berpikir jernih. Konversi tidaklah seperti membalik telapak tangan. Lebih baik kita besarkan saja Unit Usaha Syariah (UUS) yang ada saat ini beriringan dengan membesarkan Bank Konvensional. Masyarakat kita bisa memiliki pilihan, bisa konvensional atau syariah untuk bermitra dengan Bank Nagari. Tegasnya bagi yang tak ingin dengan konvensional maka bisa menempatkan dananya di Unit Usaha Syariah yang sudah ada, bagi yang tak ingin dengan sistem syariah bisa bermitra dengan yang konvensional.

Terakhir saya mengimbau akan jauh lebih arif dan bijak bila kita sebagai Kepala Daerah memaksimalkan pikiran dan waktu kita untuk membatasi penyebaran Covid-19 dan membenahi ekonomi daerah yang sudah rontok akibat Covid-19. Ini jauh lebih urgen dan lebih menyentuh kepentingan hidup orang banyak. *Pariaman, 11 Juli 2021

Editor : Eriandi
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Ganefri
Terkini