Citra Kekerasan dan Reputasi yang Diabaikan di Lembaga Pendidikan

Foto Melda Riani
×

Citra Kekerasan dan Reputasi yang Diabaikan di Lembaga Pendidikan

Bagikan opini

Kekerasan dan pelajar maupun dunia pendidikan seperti dua hal yang selalu bersanding di negeri ini. Belum selesai satu kasus, muncul pula kasus yang lainnya. Belum hilang kesedihan satu keluarga, timbul pula kesedihan pada keluarga lain yang anaknya menjadi korban. Citra dan reputasi pun menjadi taruhan, seakan kekerasan sudah merupakan gambaran bagi lembaga pendidikan di Indonesia.

Terbaru, penganiayaan yang berakhir korban tewas di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta pada 3 Mei 2024. Korban yang merupakan adik kelas dianiaya kakak kelas sendiri dengan meninju ulu hatinya. Mirisnya, kekerasan berakhir korban jiwa di institusi yang sama bukan kali pertama. Kejadian serupa sudah empat kali terjadi semenjak tahun 2008. Dan, tak hanya di sekolah tinggi itu saja sebenarnya, kekerasan antara senior dengan yunior bahkan disebut Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji sebagai ‘kurikulum tersembunyi’ di dalam institusi pendidikan dengan ikatan dinas (bbc.com).

Kekerasan juga kerap terjadi di sekolah agama dengan sistem boarding atau pondok pesantren. Terakhir, santri di Ponpes di Lampung Selatan meninggal diduga setelah mendapat kekerasan saat berlatih silat. Pada Februari 2024, dua kasus kekerasan yang berakhir korban meninggal dunia terjadi di pesantren Tahfizhul Quran Al Imam Ashim Makassar dan Ponpes Tartilul Quran Al Hanifiyyah di Kediri, Jawa Tengah. Nurdin Rivaldy (2023) mengatakan, masalah umum yang sering dihadapi oleh lembaga pendidikan Islam terkait manajemen reputasi adalah persepsi negatif dan stereotip yang mungkin timbul dari masyarakat. Hal itu dapat berdampak negatif pada citra lembaga dan kemampuannya untuk menarik minat calon siswa.

Dalam hal kekerasan yang sering kali terjadi di lembaga pendidikan, hal itu memperburuk reputasi suatu lembaga atau satuan pendidikan. Namun, karena sudah seringnya terjadi, reputasi seperti tak ada artinya. Tak ada upaya serius untuk memperbaiki reputasi maupun citra negatif yang berkembang di masyarakat. Akibatnya, dunia pendidikan di Indonesia yang tercoreng, kekerasan tidak lagi menjadi kasus per kasus yang terjadi di suatu lembaga pendidikan, tapi masyarakat sudah melabel secara umum bahwa pendidikan di Indonesia masih sangat dekat dengan kekerasan. Namun, masyarakat mau tak mau tetap harus menyekolahkan anaknya di antara reputasi yang kurang baik itu.

Pada beberapa kasus kekerasan di lembaga pendidikan yang terjadi, terlihat bahwa tak ada sama sekali manajemen krisis maupun upaya komunikasi yang baik dan efektif untuk membangun kembali reputasi yang turun. Bahkan, terlihat tak ada bagian humas atau public relations (PR) yang menangani krisis. Sebagai contoh, pada kekerasan di STIP di atas, direktur atau ketua STIP langsung memberi komentar. Itupun sebatas membela diri atau membela institusi, bukannya meminta maaf dan memberi perhatian lebih pada korban dan keluarga korban. Begitu juga pada penganiayaan santri di Kediri pada Februari 2024, pihak ponpes bukannya berterus terang, malah menyembunyikan penyebab kematian korban dan sempat meminta keluarga untuk tidak membuka kafan jenazah korban. Banyak kasus serupa yang sering kita temui dimana pimpinan suatu lembaga atau satuan pendidikan cenderung berkomunikasi dengan cara membela diri atau membela nama baik institusinya terlebih dahulu ketimbang meminta maaf, mengakui kesalahan atau mengeluarkan pernyataan yang berpihak pada korban. Hal itu menunjukkan krisis komunikasi yang terjadi.

Menurut Griffin (2008), krisis komunikasi adalah upaya organisasi untuk mengelola informasi dan pesan selama krisis untuk meminimalkan dampak negatifnya. Krisis komunikasi seharusnya menekankan pentingnya transparansi, akurasi, dan konsistensi dalam menyampaikan informasi kepada publik dan pemangku kepentingan selama krisis. Transparansi mengacu pada kemampuan untuk terbuka dan jujur dalam menyampaikan informasi kepada publik dan pemangku kepentingan. Transparansi sangat penting dalam membangun kepercayaan dan kredibilitas. Sementara, akurasi merujuk pada kebenaran atau ketepatan informasi yang disampaikan. Seperti halnya transparansi, akurasi juga menjadi kunci penting dalam membangun kepercayaan dan mengelola situasi dengan baik. Begitu pula konsistensi dalam komunikasi krisis sangat berperan untuk mempertahankan kepercayaan dan reputasi organisasi selama situasi yang sulit.

Dalam berbagai kasus kekerasan maupun kasus lain seperti pelecehan yang membuat reputasi suatu lembaga Pendidikan buruk, nampak belum ada peran PR yang seharusnya memiliki strategi dan taktik untuk mengatasi krisis dan membangun kembali reputasi. Padahal, di era persaingan dimana media baru menjadi sumber pemberitaan utama saat ini, reputasi menjadi hal yang perlu mendapat perhatian.

Persaingan lembaga pendidikan, sama halnya dengan persaingan di bidang lain yang mengacu pada reputasi. Selain itu, informasi yang mengalir deras dengan mudah, akan membuat reputasi pendidikan di Indonesia secara umum akan menjadi jelek di mata negara-negara lain di dunia.

Selain itu, lembaga pendidikan seharusnya lebih paham, bahwa suatu isu yang menjadi krisis akan membawa dampak atau efek domino yang tak diprediksi sebelumnya. Pada kasus STIP Jakarta misalnya, akibat kekerasan berujung kematian yang terjadi, Kementerian Perhubungan RI akan menghentikan penerimaan taruna di STIP dan mengoptimalkan penerimaan taruna di sekolah pelayaran lainnya di bawah Kemenhub. Kemenhub juga akan membenahi kurikulum yang berfokus pada pembelajaran di kelas dan mengutamakan softskills. Lebih dari itu, direktur atau kepalanya dibebastugaskan sebagai imbas dari kejadian tersebut.

Dari banyaknya kasus-kasus yang mencoreng nama lembaga pendidikan yang terjadi, peranan PR dalam membangun citra dan membangun komunikasi untuk mempertahankan maupun memperbaiki reputasi sudah seharusnya menjadi perhatian serius. Keberadaan PR atau humas yang profesional perlu dipertimbangkan. PR di lembaga pendidikan jangan hanya sekadar menjalankan tugas marketing maupun menjalin hubungan dengan pemerintah atau institusi lain, tapi juga melakukan manajemen krisis dan reputasi. Jangan sampai serangkaian kasus yang terjadi mempengaruhi persepsi publik terhadap institusi pendidikan. (*)

Bagikan

Opini lainnya
Terkini