Merancang Resep Latihan sebagai Pondasi Prestasi Atlet

Foto Oleh : Romi Mardela
×

Merancang Resep Latihan sebagai Pondasi Prestasi Atlet

Bagikan opini

Resep latihan atau sering disebut dengan program, merupakan suatu hal yang vital yang harus dimiliki oleh seorang atlet untuk dapat meraih prestasi maksimal. Resep latihan bukan sekedar rencana kegiatan ataupun rancangan latihan yang akan dijalankan, tetapi membuat desain sedemikian rupa sehingga latihan yang akan dijalankan berdampak secara langsung sesuai dengan target atau rencana yang telah ditetapkan sebelumnya.

Ada empat indikator penting dalam penyusunan sebuah resep latihan dalam satu periode waktu kerja (timeline): kondisi fisik, teknik, taktik, dan mental. Keempat faktor tersebut tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Keempatnya harus berjalan seiring dan saling melengkapi. Jika salah satu tidak maksimal maka bisa dipastikan prestasi juga tidak akan dapat diraih dengan maksimal.

Pertama, penyusunan resep latihan kondisi fisik. Tudor O. Bompa, salah seorang pakar yang menjadi rujukan para ahli olahraga, terutama di Indonesia, menempatkan kondisi fisik pada urutan pertama dalam penyusunan program latihan. Ia menjadi bagian utama dari periode persiapan umum dalam rancangan periodesasi latihan. Bahkan, kondisi fisik tersebut akan terus menerus menjadi bagian dari setiap sesi latihan hingga pada saat kompetisi berlangsung, hanya saja porsinya yang disesuaikan berdasarkan kebutuhan atlet.

Jika merujuk kepada prinsip sport science, maka rancangan latihan kondisi fisik harus berdasarkan kebutuhan para atlet yang dapat terlihat berdasarkan tes kondisi fisik yang telah dijalani oleh atlet sebelumnya. Kemudian para pelatih akan merancang dan menyusun program kondisi fisik tersebut berlandaskan kebutuhan atlet. Sebagai contoh, pada saat tes kondisi fisik, ditemukan hasilnya bahwa ternyata atlet tersebut memiliki kekurangan atau belum maksimal pada power otot lengan, padahal cabang olahraga atlet tersebut dominan menggunakan tangan, baik itu secara manipulatif ataupun lokomotor. Maka, berdasarkan hal tersebut, program latihan yang dirancang harus memaksimalkan fungsi otot lengan, baik itu dengan menggunakan beban internal (diri sendiri) maupun beban eksternal.

Lebih jauh lagi, tren para pelatih di dunia dalam merancang program latihan juga selalu mengedepankan prinsip fungsional training. Artinya, setiap latihan, harus juga dapat memberikan dampak secara langsung kepada teknik sesuai dengan cabang olahraganya. Sehingga latihan yang dijalani oleh para atlet tersebut bersifat efektif dan efisien dan berdampak langsung kepada peningkatan prestasi. Semakin dekat jadwal kompetisi maka, semakin besar pula kebutuhan latihan dengan prinsip fungsional training ini. Bahkan tidak jarang, para pelatih, khususnya pelatih kondisi fisik, menjadikan latihan kondisi fisik tersebut melekat dengan kebutuhan latihan teknik pada sesi latihan yang sama ataupun sesi latihan di hari yang sama.

Lantas, pertanyaan selanjutnya, bagaimana cara menentukan porsi latihan untuk kondisi fisik tersebut? Jawaban dari pertanyaan ini sangat tergantung dengan seberapa besar kebutuhan dan waktu kompetisi atlet tersebut. Meski demikian, jika digeneralisasi, latihan kondisi fisik bisa dibagi lagi ke dalam beberapa tahapan diantaranya: adaptasi, persiapan umum, persiapan khusus, pra pertandingan, pertandingan, dan pasca pertandingan.

Pada fase adaptasi, biasanya dilakukan setelah masa transisi pada saat atlet selesai menjalani suatu kompetisi utama dan bersiap untuk menghadapi kompetesi lainnya dalam waktu yang cukup panjang. Misalnya, setelah pelaksanaan kompetisi pada Kejurnas atau Babak Kualifikasi PON dan atlet dinyatakan lolos PON maka, atlet tersebut harus menjalani lagi masa adaptasi, untuk penyesuaian kembali fisiologis tubuh untuk dapat menjalani latihan dalam rangka persiapan menghadapi PON.

Secara umum, rentang waktu yang dibutuhkan oleh orang awam dalam penyesuain (adaptasi) tersebut berkisar antara satu hingga tiga minggu, tergantung cepat atau lambatnya tubuh untuk beradaptasi dengan durasi waktu latihan sebanyak tiga hingga empat kali seminggu. Salah satu indikator yang menyatakan tubuh telah beradaptasi adalah, penyesuaian denyut nadi latihan kepada kondisi ideal atlet, yang mampu mempertahankan denyut nadi latihan di atas 120 bpm (denyut per menit) selama sesi latihan. Kemudian indikator lainnya adalah, denyut nadi basal yang diukur tepat pada saat bangun tidur di pagi hari dan sebelum bangkit dari tempat tidur di mana kondisi ideal seorang atlet akan berada di bawah 65 bpm. Dengan kondisi denyut nadi tersebut, menandakan bahwa atlet sudah dapat menerima latihan dengan beban berat hingga maksimal.

Masa adaptasi ini menjadi fase krusial yang seharusnya menjadi fondasi bagi seorang atlet untuk mulai membangun prestasinya. Karena, rancangan resep latihan selanjutnya akan ditentukan seberapa kokoh fondasi yang telah dimiliki oleh para atlet. Fondasi kondisi fisik atlet tersebut secara umum ada lima komponen: daya tahan, kekuatan, kecepatan, kelincahan, dan kelentukan. Sementara kebutuhan untuk setiap komponen tersebut beserta turunannya akan sangat tergantung dengan cabang olahraga masing-masing.

Lalu bagaimana jika waktu pada periodesasi tidak mencapai waktu ideal. Keadaan yang sangat lumrah dihadapi oleh para atlet tidak hanya di Indonesia tapi di banyak negara lain, terutama sering dialami oleh atlet amatir. Banyak faktor biasanya yang menyebabkan keadaan tersebut terjadi, mulai dari jadwal kompetisi yang tidak menentu, kondisi atlet yang cidera, persoalan pada organsisasi cabang olahraga itu sendiri, dan paling utama kondisi keuangan. Tapi tentu saja, hal ini tidak boleh dibebankan kepada atlet, karena atlet tetap harus selalu fokus ke persiapan prestasinya bagimanapun kondisi eksternal, atlet tetap harus siap secara internal (individu).

Bagikan

Opini lainnya
Terkini