Jakarta, Turunlah dari Kapal Itu

×

Jakarta, Turunlah dari Kapal Itu

Bagikan berita
Foto Jakarta, Turunlah dari Kapal Itu
Foto Jakarta, Turunlah dari Kapal Itu

Pada pekan yang sama, nun jauh di sana, di perbukitan Kentucky, yang dipagar ketat, beberapa petugas bersenjata lengkap memasuki jampergantian tugas. Mereka sedang menjaga berton-ton emas sebagai

cadangan kekayaan bangsa itu, Amerika. Tak tanggung-tanggung, delapan ribu ton. Pada hari yang tak sama, seorang ibu di Padang mendatangi toko emas, membuka cincinnya, ia perlu uang untuk biaya hidup, tiga anaknya di rantau, dua pulang satu terkepung di Jakarta. Yangterkepung itu pegawai lepas di sebuah gerai di mall berbau harum di jantung ibukota yang di kota itu hanya tersimpan cadangan emas Republik Indonesia 78,5 ton. Si anak bergaji lepas makan, tapi jadi jugalah, mana tahu nasib akan berubah setelah ini. Setelah ini tersebutlah yang belum datang-datang juga, yang tiba malah wabah.

Mungkin karena itu, ketika coroca mendera, ketika anaknya terkepung diJakarta, sang ibu menjual emasnya, untuk belanja rumah tangga dan

biaya bujang di rantau. Kiblat kita sudah tak Amerika lagi kalau bicara wabah ini, tapi Jakarta, yang renta, yang mallnya penuh sesak  sekarang sepi. Hidup telah berubah, di mall, di jalan di sekolah berubah, tapi di  sawah tidak. Yang tak berubah sikap serakah kapitalis yang menjuntai sampai warung tetangga. Orang-orang miskin karena membeli dalam jumlah kecil, maka sebenarnya sepanjang usia mereka membeli lebih mahal dibanding orang kaya, minimal si miskin tak dapat diskon, yang mamaksaya menyebutnya korting, tapi sejak beringgris-inggriskan segala merek, itulah jadinya. Padahal tetap saja bahasa Eropa. Rakyat kecil yang disuruh berbelanja ke warung tetangga itu, adalah korban kapitalisme yang tak bisa dikendalikan, sebab percuma saja.

Dan tiba-tiba saya mendengar segerobak penuh caci-maki pada pemerintah, sementara yang mencaci tak punya kerjaan. Ia tak tahu uang sedang bekerja, apalagi emas, meski emas itu sedang diam. Mungkin baru 10 persen emas yang sudah ditambang di dunia. Seharusnya ia tak mencaci-maki tapi bekerja untuk menafkahi diri dan keluarganya.Sudahlah, ibu yang tadi menjual emas di Padang perhiasannya telah

melangkah pulang, semalam-malam hari, anaknya yang lain akan mengirimsebagian uang untuk adiknya di Jakarta. Tadi ia meninggalkan pasar  yang sedang ramai, semua pakai masker dan ia takut, jangan-jangan  virus corona sedang membiak di pasar ini.

Anak bujangnya sedang di kosan, sudah lama berhenti bekerja dan sudah selama itu pula tak datang-datang ke mall, tempat ia semula bekerja. Anaknya tak bisa pulang karena memang sudah tak ada uang, ketika dikirimi ongkos, peraturan sedemikian ketatnya. Anaknya bisa menembus tapi si ibu kini yang melarang karena takut tertular.Keluarga ini miskin dan mereka termasuk kelompok yang membayar tunai, tidak seperti orang berbelanja di mall yang memakai uang plastik, yang kemudian disebut kartu kredit itu. Yang dipegang antara ia dan tidak saja,

dijepit dengan jari telunjuk dan jari malang, kadang berlenja punmemakai celana pendek. Yang dibelipun yang tidak perlu-perlu saja.

Mall, pusat perbelanjaan, kuali besar uang ditimbun itu, yang memilikisegala bau harum itu, kini senyap, yang tersisa pasar tradisional, tempat transaksi tunai dilangsungkan. Yang di mall segala mahal, juga ada di sini, segala murah. Uang tunai itu didapat dengan cara baik, setelah keringat mengucur. Betapa hebatnya uang yang

didapat kala pandemi Covid-19. Mencarinya susah, menghabisannyagampang.

Editor : Eriandi
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Ganefri
Terkini