Kearifan Lokal dalam Pengelolaan 'Nagari' Pesisir Terancam Abrasi

×

Kearifan Lokal dalam Pengelolaan 'Nagari' Pesisir Terancam Abrasi

Bagikan berita
Foto Kearifan Lokal dalam Pengelolaan 'Nagari' Pesisir Terancam Abrasi
Foto Kearifan Lokal dalam Pengelolaan 'Nagari' Pesisir Terancam Abrasi

Tindakan anak nagari pesisir untuk mengurangi ‘pasia takikih’ yang paling sering dilakukan adalah penanaman pohon waru, cemara, bakau dan pinago, menjaga lingkungan, tidak melanggar adat.Menurut anak nagari pesisir ekosistem mangrove dapat menjadi pelindung alami dari ancaman ‘pasia takikih’ dan tsunami, pengendalian erosi pantai, menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dari gempuran ombak, melindungi terumbu karang, habitat biota laut terutama ikan, kepiting dan udang.

Fakta ini didukung terjadinya penambahan luas ekositem mangrove di pesisir Kota Pariaman, dimana jika pada 2004 luas ekosistem mangrove hanya seluas 5 ha, lalu meningkat pada tahun 2006 menjadi 20 ha dan pada tahun 2016 dalam RTRW Kota Pariaman meningkat tujuh kali lipat atau setara 35,1 ha dalam kurun waktu 12 tahun.Dari pengolahan data tiga Kecamatan pesisir di Kota Pariaman memiliki hutan bakau seluas 18,25 ha yaitu seluas 16,5 ha berada di Kecamatan Pariaman Utara sedangkan sisanya tersebar di Kecamatan Pariaman Tengah 0,5 ha dan Kecamatan Pariaman Selatan 1,5 ha.

Pengelolaan wilayah pesisir terancam ‘pasia takikih’ berbasis anak nagariTingginya pertumbuhan pembangunan di wilayah terancam ‘pasia takikih’ yang dilihat dari perkembangan kawasan terbangun baik untuk permukiman, perkantoran, pariwisata dan perdagangan maka model pengelolaan wilayah pesisir yang dilakukan anak Nagari Manggung Kecamatan Pariaman Utara Kota Pariaman dapat menjadi contoh bagi wilayah pesisir lainnya. Pengelolaan wilayah pesisir terancam ‘pasia takikih’ berbasis anak nagari merupakan upaya mengoptimalkan potensi sosial dan nilai-nilai lokal yang dimiliki untuk memudahkan proses penanganan wilayahnya.

Falsafah ‘alam takambang jadikan guru’ diterapkan, sebagai metode atau cara yang tepat bagi anak nagari memperlakukan atau mengolah sumberdaya alam dengan manfaat sebesarnya tanpa berlebihan sehingga hidup dapat berkelanjutan sampai anak cucu. Alam menjadi guru terbaik bagi kehidupan anak nagari sehingga menghasilkan gagasan dan tindakan agar anak nagari tidak tunduk pada alam tetapi hidup selaras dengan alam, mengantisipasi perubahan alamiah pesisir seperti ‘pasia takikih’, badai, banjir rob, gempa bahkan potensi tsunami. Kepercayaan anak nagari memperlakukan alam semena-mena akan berakibat terganggu dan rusaknya fungsi alam yang berujung pada timbulnya bencana.“Alam takambang jadikan guru’, belajar dari alam semesta akan menghasilkan pemahaman akan keniscayaan keteraturan yang tidak bisa diintervensi oleh tindakan manusia. Oleh karena itu, pengelolaan wilayah pesisir yang terancam ‘pasia takikih’ berbasis anak nagari dengan memperkuat nilainilai agama dan adat yang tergabung dalam kearifan lokal anak nagari adalah suatu keharusan karena melalui optimalisasi potensi sosial dan kearifan lokal yang dimiliki, akan memudahkan pengelolaan wilayah pesisir.

Peran serta Kerapatan Adat Nagari (KAN) yaitu lembaga yang merupakan perwujudan permusyawaratan perwakilan tertinggi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Nagari yang keanggotaannya terdiri dari perwakilan ninik mamak dan unsur alim ulama Nagari, unsur cadiak pandai, unsur Bundo Kanduang, dan unsur parik paga dalam Nagari sesuai dengan adat salingka Nagari.Model pengelolaan wilayah pesisir terancam ‘pasia takikih’ berbasis anak nagari di Manggung Pariaman, yaitu dengan mengatur pemanfaatan lahan dan pola ruang serta menerapkan konsep pembentukan nagari secara konsisten hingga kini. Zona konservasi; yang terdiri dari pantai, kawasan hutan pinago, cemara pantai dan hutan bakau ditetapkan sebagai ‘hutan nagari’ dengan ketebalan lebih kurang 50 m dari garis pantai serta ‘talao’ (talaga), dimana jarak zona ini dari bibir pantai kedarat sejauh lebih kurang 50 m. Zona ini berfungsi sebagai garda terdepan pengaman utama pantai karena berbatasan langsung dengan laut dan hanya difungsikan (terbatas) yaitu sebagai wisata edukasi/wisata mangrove. Zona penyangga, merupakan zona lapis kedua setelah zona konservasi dengan penetapan fungsi sawah (‘nan basah dipasawah’) dan ladang (‘nan kariang di paladang’) sebagai kawasan penyangga dengan ketebalan 250 m, sekaligus sebagai kawasan untuk bercocok tanam bagi anak nagari dengan jarak dari garis pantai lebih kurang 300 m. Sesuai dengan pepatah Minang ‘Nan lereng ditanam bambu, nan miriang ditanam tabu, nan bancah buek kolam, nan rawa buek sawah, nan kariang buek ladang, nan munggu buek pandam kuburan’ (yang lereng ditanam bambu, yang miring ditanam tebu, yang berair dijadikan kolam, yang berawa dijadikan sawah, yang kering dijadikan lading/kebun).

Pemanfaatan lahan sesuai dengan karakteristik fisik alami merupakan zona penyangga berfugsi sebagai lahan pertanian dan perkebunan/ladang tempat ‘anak nagari’ berusaha untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Zona budidaya, merupakan zona lapis ketiga dengan penetapan kawasan permukiman sebagai ‘huma’ (rumah) tempat tinggal anak nagari yang dilengkapi dengan sarana prasarana. Semua nagari harus dilengkapi dengan sarana dan prasarana permukiman nagari seperti ‘labuah’ (jalan), ‘balai/pakan” (pasar), ‘balai-balai’ (tempat pertemuan), “musajik’ (masjid), ‘pandan pusaro’ (tempat pemakaman/pusara) dan ‘tapian’ (sungai, sumber air bersih).Jarak zona budidaya dari garis pantai lebih kurang 350 m sehingga sampai saat ini aman dari ancaman abrasi pantai. Jika dilihat karakteristik ‘pasia takikih’ di Kota Pariaman sejauh 109,24 m, maka zona budidaya sangat aman dari ‘pasia takikih’. (sumber: Haryani, 2020)

Implementasi pola dan pemanfaatan ruang nagari pesisir yang sejalan dengan konsep pembentukan nagari di Minangkabau serta kearifan lokal, merupakan model pengelolaan lingkungan pesisir berbasis anak nagari di Kota Pariaman yang sangat efektif, karena merupakan mengejawantahan dari pendekatan kesisteman yang holistik dan terintegrasi. Anak nagari bersama KAN dan pemerintah kota sebagai pelaku sekaligus sebagai pengawas pemanfaatan ruang di kawasan pesisir terancam abrasi, berjalan secara harmonis serta sejalan dengan perencanaan tata ruang.Model ini terbukti efektif dalam pengelolaan lahan sehingga dapat meredam tingkat ancaman abrasi pantai.

Pembangunan yang tidak melebihi daya dukung dan daya tampung sejalan dengan proses pengembangan sebuah Nagari di Minangkabau, dilatarbelakangi lahan di nagari lama sudah sangat sempit sehingga tidak ada lagi ruang untuk bermukim, pengembangan pertanian menyebabkan luas lahan tak cukup lagi bagi kaum (paruiksuku). Inisiatif kepala kaum (tungganai/saudara laki-laki tertua) dan beberapa keluarga dalam satu suku atau beberapa suku mencari lahan baru dan dibuatlah perkampungan baru. Belajar dari proses pembangunan nagari baru di Minangkabau bahwa pembangunan sebaiknya tidak melebihi daya dukung dan daya tampung lahan agar tidak terjadi bencana. Lokasi untuk pembangunan nagari baru yaitu pada lahan baru yang belum berpenghuni (ekstensifikasi lahan) dan menerapkan konsep pembentukan sebuah nagari. Demikianlah model pembangunan yang selama ini berlaku di kenagarian pesisir Kenagarian Manggung Kota Pariaman sehingga mampu mengurangi risiko bencana abrasi pantai.“Mulonya dari taratak, dari taratak menjadi dusun, dari dusun menjadi koto” (artinya, awalnya/mula-mula dari taratak/kampung, dari taratak menjadi dusun, dari dusun menjadi koto) dan koto menjadi pusat perkampungan. Kampung-kampung bergabung dan disepakati menjadi nagari baru. Adapun struktur wilayah sebuah Nagari adalah terdiri dari kampung (koghong, korong, jorong) dan Nagari. Tiga desa pesisir di Kecamatan Pariaman Utara yang masih memiliki hutan bakau sampai saat ini (Februari 2019) adalah Desa Manggung, Desa Apar dan Desa Ampalu yang merupakan bagian dari Kanagarian Manggung. Hasil studi selama 15 tahun terakhir di tiga desa tersebut ternyata tidak terjadi ‘pasia takikih’abrasi namun hanya terjadi ‘pasia mahelo’ yaitu di desa Manggung seluas 13,58 ha dan Desa Apar 28,97 ha.

Fakta ini membuktikan bagaimana anak nagari Manggung dapat mengelola lingkungannya yang terancam ‘pasia takikih’ secara arif dan bijaksana. Kondisi ini membuktikan hipotesis konsep pembentukan nagari dan kearifan lokal dalam pemnfaatan lahan serta keberadaan ekosistem mangrove dapat mengurangi tingkat ancaman abrasi. ‘Alam takambang jadikan guru’ dan ‘jiko takuik dilamun ombak jan barumah ditepi pantai’ adalah filosofi di Minangkabau yang masih relefan dalam mengelola lingkungan pesisir yang terancam abrasi pantai saat ini. (*)(Artikel ini ditulis berdasarkan Disertasi untuk penyelesaian S-3 pada Prodi Ilmu Lingkungan Pascasarjana Universitas Negeri Padang. Tim Promotor Prof.Dr.H.Agus Irianto dan Co Promotor Dr.Nurhasan Syah,M.Pd)

Editor : Eriandi
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Ganefri
Terkini