Kehidupan Ramadhan

Foto Harian Singgalang
×

Kehidupan Ramadhan

Bagikan opini

Ribuan ustad tampil di mimbar jemaah taraweh. Jika saja, diamalkan maka baiklah suku bangsa ini, kecuali ada kaji yang tak masuk pikiran karena berbagai sebab.Misal: itu ka itu se kaji mah. Atau: tak taraweh, karena kekenyangan. Atau: memang dirinya bermasalah.

Sebenarnya semua kita bermasalah, yang di mimbar dan jemaah. Ini karena akar problem kehidupan tidak terurai dengan baik. Misalnya, ada kawan yang sudah pensiun tapi ia belum juga bisa melihat dan memegang sertifikat rumahnya. Risau hatinya karena hutang di bank belum lunas juga. Apa jalan keluarnya? Hanya dia sendiri yang mengusahakannya sebab tak ada “jalan keluar” dari pihak lain. Ini membuat pikirannya suntuk. Ada sebenarnya: hindari riba. Lalu? Sampai di sana saja. Sekadar imbau ke imbau.Seorang kawan berkeluh-kesah sebab anaknya tak kunjung dapat kerja walau sudah sarjana. Yang ia dengar selama ini, jangan lagi berusaha untuk jadi ASN tapi buka usaha sendiri. Itu ide yang baik sebagai sebuah saran, tapi ketika hendak dilaksanakan, susahnya minta ampun.

Susah karena pemerintah mengambil porsi yang besar dalam kehidupan individu selama berpuluh tahun. Tapi, tidak peduli lagi ketika lapangan kerja menyempit.Ceramah Ramadhan, tidak masuk ke wilayah itu. Kata senior saya Fachrul Rasyid di medsos FB, agama sekarang diuraikan untuk orang mati, bukan orang hidup. Maka, kemudian motivasi kerja makin tumpul. Itu kata saya. Baik Fachrul atau saya bisa saja salah, atau malah benar, tapi berpotensi untuk disalahkan. Apalagi di medsos.

Dan, rumah ibadah kita sekarang bagus- bagus. Alhamdulillah. Sayang, warga sekitarnya dilamun kesusahan hati. Sebagian besar seperti itu. Dalam keadaan semacam itulah ratusan orang tiap pekan, jika tidak tiap hari, terbang ke Tanah Suci untuk umrah, memenuhi kerinduannya yang amat dalam. Banyak di antara mereka yang sudah pergi berkali- kali. Namanya umrah. Biayanya Rp30 juta atau lebih. Itu urusannyalah, urusan kaum moralis mengimbau agar siapa saja segeralah membantu orang miskin. Zakat salah satunya, yang dibelikan beras dan di karungnya ada foto walikota.Dan saya sedang duduk di teras rumah, tampak di langit malam bulan sabit, selisih paham soal awak Ramadhan lebur oleh temaram cahaya rembulan itu. Negeri sedang hening karena penduduk baru saja selesai berbuka dan Magrib. Ketika seperti ini, banyak orang sedang memikirkan masalah hidup yang tak tertangkap oleh siapapun, termasuk oleh profesor sekalipun. Sedemikian hebatnya kehidupan manusia orang per orang, tak akan bisa tertampung oleh mimbar dan universitas. Tapi mayoritas muslim menyempatkan diri mendengarkan ceramah Ramadhan, masuk hati atau tidak.

Tiba-tiba seorang kawan mengirimkan foto nasbung dan kurma di piring putih. Sebuah kebahagiaan waktu berbuka. Lalu sebuah mobil melintas di depan saya, suaranya halus. Entah kamana. Pergerakan manusia dimulai lagi sehabis berbuka. Tahukah kita siapa yang tadi berbuka hanya dengan air putih atau nasi putih belaka? Mestinya Baznas tahu. (**)

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini