Habibie, N250 Gatot Kaca dan Akhir Tragis Perjalanan Dirgantara Indonesia

×

Habibie, N250 Gatot Kaca dan Akhir Tragis Perjalanan Dirgantara Indonesia

Bagikan berita
Foto Habibie, N250 Gatot Kaca dan Akhir Tragis Perjalanan Dirgantara Indonesia
Foto Habibie, N250 Gatot Kaca dan Akhir Tragis Perjalanan Dirgantara Indonesia

* Halim PK, Jakarta* Pulau Saipan (pulau terluar Amerika, sbg pangkalan militer USA) untuk Refueling.

* Honolulu - Hawai (menginap di Hilton Hotel, Waikiki).Di Seattle, USA, mengunjungi Mas Ilham (saat itu bekerja di Boeing).

Ada cerita menarik di AlabamaCerita menurut alm BJH kepada saya, pesawat G-4 mendarat di Alabama, begitu BJH turun dari tangga pesawat langsung digelar karpet merah, disambut oleh Gubernur Alabama beserta seluruh perangkatnya.

Setelah jalan dan tiba di podium kehormatan, langsung dinyanyikan lagu Kebangsaan Indonesia Raya. Usai lagu kebangsaan itu, Gubernur Alabama memberikan pidato sambutan dengan kalimat pertama (dalam bahasa Indonesia) "Selamat datang Mr. President"Sambil tersipu-sipu BJH (dalam hati), "Apa maksud Gubernur ini menyebut Mr. President ?"

Sekilas BJH pun nemberikan sambutan balasan yang penuh sangat. Sedangkan acara kemudian dirangkai dengan jamuan makan siang, dan menariknya menu yang disajikan adalah menu Indonesia.Makan siang terjadi makan diiringi musik gamelan JAWA (penabuh gamelan/penayagan semua orang Amerika berikut penyanyi/sinden juga orang Amerika yg sangat fasih membawakan tembang Jawa ).

Awal mula sejarah dirgantara IndonesiaBeberapa tahun atau tak begitu lama setelah kemerdekaan, dengan kepandaian khasnya dalam berbicara di depan publik, di depan saudagar dan tokoh masyarakat Aceh, Presiden Soekarno mengatakan, “Saya tidak makan malam saat ini, kalau dana untuk itu (membeli pesawat) tidak terkumpul.”

Usai Presiden Soekarno berbicara, seorang pria muda berumur sekitar 30 tahun, M Djoened Joesof, berdiri dan berkata “Saya bersedia”.Langkah Djoened Joesof, Ketua Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (Gasida) ini pun diikuti peserta jamuan makam malam yang lain. Presiden Soekarno tentu saja tersenyum puas. Ia lalu mengajak hadirin beranjak ke meja makan guna santap malam.

Adegan di atas adalah bagian di antara cuplikan yang terjadi di Hotel Atje, Banda Aceh pada 16 Juni 1948. Pada waktu itu Gasida mengadakan jamuan makam malam yang dihadiri banyak saudagar dan tokoh masyarakat Aceh, sebagaimana ditulis dalam buku, “Aceh Daerah Modal” yang diterbitkan Yayasan Seulawah RI-001 tahun 1992.Kehadiran Soekarno sendiri pada waktu itu adalah bagian perjalanan sebagai upaya mengumpulkan dana perjuangan untuk pembelian pesawat terbang.

Tak ayal, kunjungan Presiden Soekarno di atas lantas berakhir dengan terkumpulnya uang sebesar 120.000 dollar Singapura dan 20 kilogram emas. Pengumpulan dana yang dimobilisasi Panitia Dana Dakota pimpinan HM Djoened Joesoef, akhirnya bisa untuk membeli dua pesawat jenis Dakota milik seorang penerbang Amerika Mr JH Maupin di Hongkong dengan kode pesawat VR-HEC. Pesawat ini mendarat di Maguwo, Yogyakarta dan diregistrasi dengan nama RI-001. Dua pesawat inilah yang menjadi pesawat angkut pertama Indonesia dan menjadi cikal bakal lahirnya Garuda Indonesia.Orang mungkin bisa memperpanjang sejarah dunia dirgantara kita jauh ke belakang sebelum masa kemerdekaan. Namun bagaimana pun peristiwa di Hotel Atjeh di atas adalah tonggak penting dunia kedirgantaraan kita. Sebuah peristiwa ketika masyarakat dan pemerintah bahu-membahu membeli pesawat untuk kepentingan negara yang baru saja merdeka. Bukan hanya rakyat Aceh yang bangga dengan peristiwa tersebut, pemerintah Indonesia juga tidak lupa mengapresiasinya.

Bila Presiden Soekarno memberi nama RI-001 dengan nama “Seulawah”, maka pelanjutnya Presiden Soeharto membuat monumen pesawat Seulawah untuk mengenang peristiwa ini di Lapangan Blang Padang Banda Aceh. Lalu pesawat asli “Seulawah” disimpan di Taman Mini Indonesia Indah.Namun perjalanan dunia Dirgantara Indonesia tidak berhenti sampai di peristiwa Hotel Atjeh. Presiden Soekarno yang dikenal mempunyai visi panjang dalam membangun Indonesia yang baru merdeka, mengirim Nurtanio berserta ketiga rekannya ke Manila, Filipina untuk mengikuti studi kedirgantaraan di FEATI (Far Eastern Air Transport Incorporated). Lalu pada 16 Desember 1961 mendirikan Lembaga Persiapan Industri Penerbangan (LAPIP). Sebuah badan yang berada dibawah KASAU yang bertugas mempersiapkan industri Penerbangan nasional Indonesia. Bersama dengan CEKOP (Industru pesawat terbang Polandia) keduanya bekerjasama dalam membangun gedung untuk fasilitas manufaktur pesawat terbang, pelatihan SDM, dan memproduksi PZL-104 Wilge dibawah lisensi Gelatik.

Editor : Eriandi
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Ganefri
Terkini