Bab Lain Bernama Panas Bumi, Bukan Panas Hati

Foto Harian Singgalang
×

Bab Lain Bernama Panas Bumi, Bukan Panas Hati

Bagikan opini

Mulyadi, kepada hariansinggalang.co.id belum lama ini, pun tidak menutup mata dari berbagai persoalan yang muncul ketika potensi geothermal ini digarap. Apalagi di Sumatera Barat, letak potensi panas bumi umumnya di hutan lindung. “Bukankah kampung kita ini dikeliling 60 persen hutan lindung?” katanya.Yang penting dulu, katanya, pemerintah daerah berkewajiban memberi informasi yang benar soal energi panas bumi itu. Jika potensinya sudah didapat, maka teknologinya sederhana. Tidak merusak lingkungan karena siklusnya tertutup. Yang diambil uapnya, lalu diinjeksikan kembali berupa air yang masuk lagi ke tanah kemudian jadi uap lagi. Pengelolaan energi dengan sistem tertutup itulah yang menjadi kunci ramah lingkungan.

Yang jelas, katanya, hutan lindung merupakan satu bab, namun potensi yang dikandungnya merupakan bab lain pula yang harus disiasati bisa dipakai untuk kemaslahatan orang banyak. “Dengan demikian, kita yang hidup bersama alam, mendapat manfaat lebih dibanding daerah lain yang tidak punya panas bumi. Secara bersama-sama kita harus menuju ke sana, sehingga suatu hari setelah ini, Sumatera Barat akan semakin maju dan diminati banyak orang untuk berwisata, menanamkan modalnya atau menghabiskan hari tuanya,” sebut Mulyadi.Optimis

Sementara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, pun optimis Indonesia bisa menjadi produsen terbesar penghasil panas bumi di dunia. Pasalnya, potensi panas bumi yang dimiliki Indonesia mencapai 23,9 gigawatt (GW). Kementerian ESDM kini menargetkan pengembangan panas bumi di Indonesia bisa mencapai 8.000 MW pada 2030 mendatang."Kalau kita bisa kembangkan itu, saya yakini kita berada nomor satu di dunia," ujar Direktur Panas Bumi, Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Kementerian ESDM, Ida Nuryatin Finahari, dalam webinar “SAFE Forum 2020: Unlocking Indonesia Geothermal Potential”, Jumat (28/8/2020).

Untuk mencapai itu semua, lanjut Ida seperti dikutip Katadata.co.id, perlu adanya kerja sama antar lembaga dan kementerian terkait. Apalagi potensi panas bumi di Indonesia sebagian besar tersebar di hutan konservasi.Ida juga tak mengenyampingkan ada pula isu sosial dan perizinan yang menghambat pengembangan panas bumi. Hal itu karena sebagian warga masyarakat khawatir kegiatan panas bumi menimbulkan bencana, jika pengeborannya gagal seperti peristiwa Lumpur Lapindo.

Selain itu, kelayakan tarif listrik proyek panas bumi dinilai kurang ekonomis. "Kita tahu kemampuan masyarakat dalam membayar listrik juga belum bisa mengimbangi (biaya) dari proyek itu. Inilah yang menjadi tantangannya," ujar Ida, seraya menyebutkan,  pemerintah tengah menyiapkan rancangan Peraturan Presiden (Perpres) yang mengatur harga listrik Energi Baru Terbarukan (EBT).Senada, Ketua Masyarakat Energi Baru Terbarukan Indonesia, Surya Darma menyebut, salah satu faktor penghambat pengembangan panas bumi di Indonesia yaitu regulasi yang terus berubah-ubah. "Ini memang sebuah tantangan di Indonesia, saya kira ini harus dipahami. Di Indonesia sering kali adanya perubahan-perubahan. Ada aspek yang sudah direncanakan tapi mengalami modifikasi sedemikian rupa ini selama bertahun-tahun," ujarnya.

Yang jelas, pemerintah tentu optimis target pengembangan panas bumi dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) pada 2025 mencapai 7.241,5 MW, dapat terwujud. Hal itu sejalan dengan target bauran EBT pada 2025 yang mencapai 23%.Bukan Panas Hati

Sekelumit, memang sudah terkuak beberapa persoalan pengembangan panas bumi, yang tidak hanya di Sumbar tapi juga menjadi permasalahan secara nasional. Ini tak lain dikarenakan titik pengeboran geothermal itu rata-rata berada di hutan lindung, hutan konservasi, bahkan ada yang berada di kawasan pertanian dan perkebunan rakyat.Makanya, ketika ada penolakan karena khawatir kawasan mereka bisa terimbas (negatif) saat potensi panas bumi itu digarap, kiranya sangat lumrah dan wajar saja. Lalu, apa yang bisa dilakukan ke depan guna mengoptimalkan pengembangan panas bumi dimaksud?

Pertama, sosialisasi harus dilakukan secara kontinyu, benar dan tepat sasaran. Pemerintah daerah dimana lokasi panas bumi berada, wajib memberikan informasi yang benar kepada masyarakat. Soalnya, selama ini penolakan sering muncul karena masyarakat sekitar tidak mendapatkan informasi yang akurat seputar proyek yang bakal dilaksanakan.Adakalanya masyarakat tertentu justru mendapat info setengah matang dari orang-orang yang ingin menangguk di air keruh, hingga membuat suasana tidak nyaman. Artinya, di lokasi panas bumi itu, ada kecurigaan hingga ‘panas hati’ atau hati yang lagi panas di dalamnya. Makanya, pemda bersangkutan bersama unsur forkompida dan pihak perusahaan penggarap tentunya, harus memetakan terlebih dahulu kemungkinan munculnya konflik. Kuncinya, infokan potensi proyek itu secara benar, sosialisasi secara terus menerus dan jangan ada oknum (pejabat maupun tokoh masyarakat setempat) yang ‘bermain’ di dalamnya.

Kedua, berdayakan masyarakat setempat. Soalnya, bicara pemasokan tenaga kerja pada proyek bersangkutan, sering pula menuai protes. Ini tentu disesuaikan dengan kapasitas dan kemampuan SDM lokal. Tetap profesional tentunya, karena proyek panas bumi membutuhkan teknlogi hebat dan investasi yang tidak kecil.Namun demikian, khusus tenaga asing (luar negeri atau daerah lain di luar putra daerah), kontan mereka harus cepat menyesuaikan diri dengan tenaga kerja lokal dan masyarakat setempat. Soalnya, tak jarang pula ada tenaga luar yang secara skill mungkin lebih sedikit diunggulkan, namun mereka tampil sok hebat, sok santiang, membusungkan dada. Ini kelihatannya sederhana memang, tapi tak jarang bisa memicu ‘panas hati’ di lokasi panas bumi tersebut. Ini yang tak boleh terjadi. Makanya, bagi tenaga (luar) yang profesional itu, harus cepat-cepat beradaptasi di daerah proyek bersangkutan.

Ketiga, manfaatkan dana corporate social responsibility (CSR) dengan benar dan tepat sasaran. Untuk tahap awal, pemanfaatan dana peduli lingungan dan sosial ini, alangkah baiknya difokuskan benar-benar untuk masyarakat lokasi proyek.Misalnya, jika memang ada warga atau sekelompok warga yang terganggu mata pencaharian mereka karena aktivitas proyek, seperti terganggunya sumber air untuk pertanian, nah ini yang perlu diprioritaskan dibantu terlebih dahulu. Tak hanya berupa bantuan dana, tapi pihak perusahaan bersama pemda setempat harus mencarikan solusi secara teknis sehingga mereka tetap beraktivitas seperti semula.

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Ganefri
Terkini