Rupiah sebagai Pilar Literasi Ekonomi dan Karakter Bangsa: Refleksi Guru MAN IC Padang Pariaman

Foto Oleh : Dodi Saputra
×

Rupiah sebagai Pilar Literasi Ekonomi dan Karakter Bangsa: Refleksi Guru MAN IC Padang Pariaman

Bagikan opini
Ilustrasi Rupiah sebagai Pilar Literasi Ekonomi dan Karakter Bangsa: Refleksi Guru MAN IC Padang Pariaman

Dalam ruang kelas, guru tidak sekadar menjadi penyampai materi kurikulum, melainkan juga pembentuk karakter dan kesadaran literasi siswa dalam berbagai aspek kehidupan. Salah satu gerakan literasi yang kini sangat strategis untuk diarusutamakan adalah kampanye nasional Cinta, Bangga, dan Paham (CBP) Rupiah dari Bank Indonesia (BI). Melalui peran saya sebagai Duta Guru CBP Rupiah Championship 2025, saya melihat inisiatif ini bukan hanya soal mengenalkan mata uang, tetapi sebagai strategi membangun karakter kebangsaan, literasi ekonomi, dan kedaulatan nasional dari ruang kelas.

Bank Indonesia secara tegas menyebutkan bahwa “Rupiah adalah simbol sah kedaulatan NKRI, alat pemersatu bangsa, serta bagian dari identitas nasional yang mewakili sejarah, budaya, dan kekuatan ekonomi Indonesia” (Bank Indonesia, 2024). Maka dari itu, dalam pembelajaran sejarah atau PPKn, saya menjadikan desain uang Rupiah sebagai titik masuk untuk mengenalkan siswa pada tokoh nasional, ragam budaya, dan keindahan geografis Indonesia yang tergambar pada setiap lembar uang. Rupiah bukan hanya alat bayar, melainkan refleksi visual tentang siapa kita sebagai bangsa.

Pendekatan “Cinta Rupiah” yang digaungkan Bank Indonesia juga mengajak masyarakat mengenali keaslian uang, merawatnya dengan baik, dan menjaga dari peredaran uang palsu (BI, 2024). Di kelas saya, pendekatan ini diterapkan dengan metode praktik 3D—Dilihat, Diraba, Diterawang. Kami mendiskusikan secara interaktif ciri-ciri keaslian uang dan bahkan membuat kampanye kecil bertema “Uang Kita, Tanggung Jawab Kita”. Hal ini relevan, mengingat survei nasional literasi keuangan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada tahun 2022 menyebutkan bahwa tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia baru mencapai 49,68% (OJK, 2022). Artinya, masih banyak ruang perbaikan dalam hal pemahaman dasar keuangan, terutama di kalangan pelajar.

Di sisi lain, aspek “Bangga Rupiah” mendorong kita memahami bahwa Rupiah adalah simbol negara yang sah, bukan sekadar alat transaksi. Dalam pembelajaran ekonomi, saya memanfaatkan isu nilai tukar untuk membahas pentingnya ketahanan ekonomi nasional. Siswa belajar bagaimana pergerakan kurs mempengaruhi harga kebutuhan pokok, barang impor, hingga harga gadget yang mereka gunakan sehari-hari. Dengan pendekatan kontekstual ini, siswa merasa dekat secara emosional dan intelektual terhadap Rupiah sebagai instrumen ekonomi dan simbol kedaulatan negara (Bank Indonesia, 2024).

Lebih jauh lagi, “Paham Rupiah” menekankan pada pemahaman peran uang dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari fungsi transaksi, tabungan, hingga pengelolaan anggaran pribadi. Saya mendorong siswa untuk membuat proyek mini-budgeting, yaitu pengelolaan uang saku dan simulasi tabungan berbasis tujuan. Program ini memperkuat literasi finansial mereka dan sekaligus menanamkan nilai hemat serta tanggung jawab. Bank Dunia menyatakan bahwa masyarakat dengan literasi keuangan yang baik lebih tahan terhadap krisis dan cenderung lebih mandiri secara ekonomi (World Bank, 2021).

Bank Indonesia juga secara konsisten membangun sinergi dengan dunia pendidikan. Salah satu contohnya adalah program CBP Rupiah Goes to Campus yang dilakukan di berbagai perguruan tinggi, termasuk Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Tasikmalaya. Dalam acara tersebut, BI mengajak mahasiswa menjadi agen edukasi Rupiah yang aktif dan inspiratif (Berita UPI, 2025). Komitmen ini menunjukkan bahwa kampanye CBP bukan sekadar slogan, melainkan strategi kultural untuk memperkuat fondasi ekonomi nasional dari generasi muda.

Sebagai guru, saya percaya bahwa pembelajaran yang kuat bukan hanya menyasar kognisi siswa, tetapi juga afeksi dan psikomotoriknya. Pendidikan sejati bukan sekadar mentransfer pengetahuan, tetapi menumbuhkan sikap, nilai, dan keterampilan nyata yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kerangka inilah, program Cinta, Bangga, dan Paham (CBP) Rupiah hadir sebagai ekosistem pembelajaran yang kaya akan potensi edukatif lintas ranah.

CBP Rupiah memberi ruang seluas-luasnya bagi pengembangan inovasi pembelajaran, mulai dari media digital interaktif, proyek edukasi visual, hingga storytelling bertema “Rupiah dalam Hidupku.” Saya, misalnya, mengintegrasikan materi CBP dalam pembelajaran lintas mata pelajaran, seperti ekonomi, sejarah, dan bahasa Indonesia, melalui tugas kreatif yang mengajak siswa mengeksplorasi tokoh pahlawan pada lembar Rupiah, memahami sejarah di balik simbol mata uang, hingga menganalisis peran stabilitas Rupiah dalam kehidupan ekonomi keluarga mereka.

Pendekatan ini bukan hanya memperkuat semangat literasi ekonomi dan finansial, tetapi juga menanamkan nasionalisme yang kontekstual—yakni kecintaan terhadap simbol negara yang dikenali dan dipahami lewat pengalaman pribadi siswa. Dalam praktiknya, siswa saya membuat video pendek berjudul “Satu Hari Bersama Rupiah”, menyusun infografis tentang nilai tukar dan harga sembako, atau menulis puisi bertema “Aku dan Uang Negeriku”. Semua itu menempatkan Rupiah bukan sebagai objek asing yang teknokratis, tetapi sebagai bagian dari narasi kehidupan yang mereka pahami, rasakan, dan alami sendiri.

Karena sejatinya, Rupiah bukan sekadar lembaran uang. Ia adalah narasi kebangsaan yang hidup. Dalam setiap angka, warna, dan tokoh yang terpampang, terdapat sejarah perjuangan, cita-cita kemerdekaan, serta harapan akan masa depan yang lebih baik. Lihatlah, misalnya, potret Tjut Meutia, Ki Hajar Dewantara, atau Dr. G.S.S.J. Ratulangi—mereka bukan sekadar ilustrasi artistik, tetapi representasi nilai-nilai keteladanan yang dapat dijadikan inspirasi dalam pembelajaran karakter.

Bagikan

Opini lainnya
Terkini