Fenomena Hukum TikTok: Ketika Hukum Tertinggal dari Perkembangan Media Sosial

Foto Anugerah Raja Lintang
×

Fenomena Hukum TikTok: Ketika Hukum Tertinggal dari Perkembangan Media Sosial

Bagikan opini
Ilustrasi Fenomena Hukum TikTok: Ketika Hukum Tertinggal dari Perkembangan Media Sosial

Di era digital seperti sekarang ini, media sosial bukan sekadar ruang untuk berbagi informasi, tetapi sudah menjelma menjadi ruang hidup kedua bagi banyak orang. TikTok, sebagai salah satu platform paling populer, telah melahirkan selebritas instan, memengaruhi opini publik, bahkan menggiring arah tren budaya pop. Namun, di balik euforia itu, muncul satu pertanyaan krusial di mana posisi hukum dalam mengatur ruang maya yang terus berkembang ini? Sayangnya, jawabannya sering kali mengecewakan hukum tertinggal jauh di belakang.

Fenomena TikTok menunjukkan bagaimana hukum kerap gagal menyesuaikan diri dengan kecepatan inovasi digital. Misalnya, konten-konten prank yang membahayakan, penyebaran hoaks, hate speech, hingga eksploitasi anak, banyak beredar di platform ini. Namun, tidak semuanya ditindak secara tegas oleh aparat penegak hukum. Padahal, dalam konteks hukum positif Indonesia, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) No. 11 Tahun 2008 jo. UU No. 19 Tahun 2016 sudah secara jelas mengatur soal penyebaran informasi yang merugikan pihak lain, seperti tercantum dalam Pasal 27 ayat (3) mengenai pencemaran nama baik dan Pasal 28 ayat (1) tentang berita bohong yang merugikan konsumen.

Namun, kenyataannya, implementasi hukum tersebut di ranah media sosial tidak selalu berjalan seimbang. Algoritma TikTok yang mendorong konten viral sering kali mengabaikan aspek etika dan hukum. Konten yang mengandung ujaran kebencian bisa menjadi viral hanya karena dianggap “menarik” atau “menghibur”, padahal substansinya jelas-jelas melanggar hukum. Sayangnya, aparat penegak hukum baru bertindak setelah terjadi kehebohan besar di masyarakat. Hukum kita lebih bersifat reaktif daripada proaktif bertindak setelah masalah terjadi, bukan mencegahnya sejak awal.

Tidak hanya itu, perlindungan terhadap anak sebagai pengguna maupun objek konten pun masih sangat lemah. Banyak anak di bawah umur yang menjadi viral tanpa perlindungan hukum yang memadai. Pasal 29 Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa anak berhak atas perlindungan dari penyalahgunaan dalam media massa atau media elektronik. Namun dalam praktiknya, konten eksploitasi anak terus bermunculan, karena tidak ada mekanisme penyaringan yang efektif, baik dari pihak platform maupun pemerintah.

Fenomena ini memperlihatkan bahwa hukum di Indonesia belum memiliki "sensor otomatis" yang mampu menyesuaikan kecepatan laju perkembangan media sosial. Sistem hukum kita terlalu lamban merespons, sedangkan teknologi terus melaju tanpa henti. Bahkan ketika regulasi baru coba disusun, platform digital seperti TikTok sudah lebih dulu berubah bentuk dan cara mainnya.

Sudah saatnya kita mendorong hadirnya hukum yang adaptif dan visioner hukum yang tidak hanya mengatur masa kini, tapi juga bersiap menghadapi tantangan masa depan. Dibutuhkan regulasi yang lebih fleksibel namun tetap kuat, yang bisa mengimbangi perkembangan media sosial, bukan sekadar mengejarnya. Ini bisa dimulai dengan memperkuat kolaborasi antara pemerintah, akademisi, praktisi hukum, dan pelaku industri digital, agar lahir kebijakan yang kontekstual dan responsif.

Kita juga harus mulai menggeser cara pandang terhadap media sosial, dari yang semula hanya hiburan, menjadi ruang publik yang memiliki konsekuensi hukum. Setiap unggahan adalah tindakan hukum, dan setiap interaksi digital bisa berimplikasi nyata. Edukasi digital dan literasi hukum harus dimasukkan dalam kurikulum sejak dini, agar generasi muda tidak hanya menjadi pengguna aktif media sosial, tetapi juga pengguna yang sadar hukum.

TikTok hanyalah satu contoh dari banyak platform yang menantang batas-batas hukum tradisional. Jika hukum terus tertinggal, bukan tidak mungkin kita akan menyaksikan kekacauan digital yang lebih besar di masa depan. Maka, pertanyaannya sekarang adalah apakah hukum akan terus mengejar dari belakang, atau mulai berlari bersama teknologi?

IKLAN PU
Bagikan

Opini lainnya
Terkini