Kontradiksi Karakter dalam Tiga Cerpen A.A. Navis

Foto Harian Singgalang
×

Kontradiksi Karakter dalam Tiga Cerpen A.A. Navis

Bagikan opini

Topi helm itu sangat dipuja oleh Pak Kari. Ia merasa mempunyai kewibawaan yang sama dengan Tuan Gunarso setiap kali memakainya. Karena itu, suatu hari ketika topi helmnya terjatuh waktu bertugas, Pak Kari melompat dari kereta api untuk mengambilnya. Saat itu tak ada yang memperhatikan. Masinis dan semua awak baru heboh pada pemberhentian berikutnya ketika menyadari bahwa Pak Kari tidak ada di antara mereka.Masinis yang mengira Pak Kari mengalami kecelakaan, serta-merta membawa lok dan sebuah gerbong untuk menyusuri kembali jalan semula, mencari Pak Kari yang hilang. Ia menjadi begitu marah dan merasa dipermainkan ketika Pak Kari ditemukan dalam kondisi baik. Ia geram karena Pak Kari tega menyusahkan dan menghambat pekerjaannya hanya karena sebuah topi helm. Dengan kemarahan itu masinis membuang topi helm Pak Kari ke dalam tungku api hingga hangus terbakar.

Hati Pak Kari sangat terluka karena topi helm yang dipujanya diperlakukan seperti itu. Ia pun menyimpan dendam yang meronta-ronta menuntut pembalasan. Sampai akhirnya, kesempatan itu tiba. Sewaktu Pak Kari sedang bertugas membersihkan tungku perapian dan masinis datang memeriksa pekerjaannya, tiba-tiba Pak Kari melemparkan bara api ke mata atasannya itu. Akibatnya, masinis mengalami kebutaan permanen.Karakterisasi cerpen ini sangat menarik karena bersifat karikatur. Perilaku para tokohnya, terutama Pak Kari, dibuat berlebih-lebihan bagaikan tokoh kartun. Meskipun begitu, di tangan seorang Navis, cerpen ini tidak terkesan lebai, malah menjadi sangat menarik dan menghibur. Dapat dikatakan genre cerpen ini adalah tragik komedi, yang mengemukakan nasib tragis tokohnya dengan gaya yang jenaka.

Seperti cerpen Robohnya Surau Kami, karakterisasi dalam cerpen ini pun “mengecoh” pembaca. Selintas kita akan merasa iba pada Pak Kari, tokoh yang dikarakterisasikan secara dramatik bersifat polos, berasal dari kalangan bawah, tidak memiliki kedudukan yang membanggakan, dan sering di-bully oleh rekan kerjanya. Karakterisasi tak langsung yang dipakai Navis dalam menggambarkan kepribadian Pak Kari, ternyata mengandung kontradiksi. Di satu sisi, Pak Kari diperkenalkan sebagai sosok penyabar; tapi di sisi lain ia sangat pemarah dan pendendam, seorang yang dapat melakukan hal-hal yang sangat mengerikan. Selain itu, tokoh ini juga dikarakterasikan sebagai tokoh yang sederhana dan polos, namun ternyata ia pandai berpura-pura, sehingga berhasil mengelabuhi pimpinan dan rekan kerjanya atas perbuatannya yang buruk. Hal tersebut tampak dalam kalimat- kalimat berikut ini:-       …. Malah marahnya bangkit keluar dari endapan kesabarannya yang terkenal itu. Dicabutnya pisaunya. Dan dia mengancam siapa saja yang berani menghina helm miiknya.

-       …. Konon ketika tukang rem pertama yang kehilangan topinya tidak dikenakan sanksi oleh sep mereka, maka Pak Kari buru-buru kehilangan topinya pula dengan melemparkannya pada saat yang tepat. Kontradiksi yang diciptakan Navis dalam karakterisasi pada bagian awal tersebut, rupanya dipakai untuk memuluskan logika pada akhir cerita, yaitu saat Pak Kari (dengan sengaja) membutakan mata atasannya tanpa seorang pun dapat menyalahkannya. Hal lain, melalui cerpen ini pembaca belajar tentang watak manusia yang kompleks, yang dapat berubah sewaktu-waktu jika ia dibuat tersinggung. Dari sini sekaligus kita belajar memperlakukan orang lain dengan bijak, sekalipun orang yang bersangkutan lebih rendah kedudukannya.

Navis, sang pencemooh itu, sukses “menegur” orang-orang jemawa yang merasa berhak melakukan segala hal karena jabatannya, sekaligus menegur orang-orang yang dengan pandai menyembunyikan kebusukannya di balik penampilan yang sederhana dan polos. Nada satir begitu terasa pada cerpen yang digarap layaknya karikatur ini.Cerpen ketiga yang tak kalah menarik berjudul Datangnya dan Perginya, mengisahkan kehidupan keluarga yang berantakan karena sikap dan perilaku kepala keluarga, yaitu ayah Masri. Dikisahkan, ayah Masri sangat mencintai istrinya, sehingga setelah sang istri wafat, dia selalu membandingkan perempuan-perempuan yang dinikahinya kemudian dengan mendiang istrinya. Tentu tidak satu pun perempuan yang sama persis dengan almarhumah. Karena itu ayah Masri kawin cerai dengan banyak perempuan. Salah seorang perempuan yang dinikahi ayah Masri dan diceraikannya saat hamil adalah Iyah. Kecuali kawin cerai, dia juga suka membayar perempuan nakal untuk memuaskan nafsu berahinya.

Karena kelakuannya itu, anaknya yang bernama Masri, merasa muak. Pada suatu ketika, Masri yang sudah remaja melawan ayahnya hingga ia dipukul dan diusir pergi. Sejak itu Masri meninggalkan rumah dan tidak pernah kembali. Senyampang Masri kabur, ayahnya bertobat. Ia sadar akan kesalahannya dan berubah menjadi manusia yang saleh. Ia tak lagi main perempuan, sebaliknya rajin beribadah. Tiada hari dilewatkan tanpa membaca Alquran, mengaji, dan sholat lima waktu.Tahun demi tahun berlalu hingga suatu hari datanglah surat dari Masri beserta fotonya bersama anak dan istri. Tampaknya Masri telah berhasil dan hidup bahagia. Ia meminta ayahnya datang mengunjunginya di kota lain. Setelah berkali-kali menerima surat Masri, ia pun akhirnya berangkat juga.

Tiba di rumah Masri, anak dan menantunya belum pulang dari kerja. Alangkah terkejut ia sebab yang menyambutnya adalah Iyah, istri yang dulu ia ceraikan. Ternyata, istri Masri adalah anak Iyah yang notabene adalah anak kandungnya! Terjadilah perdebatan antara ayah Masri dan Iyah tentang perkawinan sedarah. Ayah Masri berpendapat pernikahan Masri dan Arni harus diakhiri karena dapat mendatangkan murka Allah SWT. Di pihak lain Iyah menyalahkan ayah Masri sebab hal itu terjadi karena kelakuannya di masa lalu. Iyah tidak mau rumah tangga anaknya jadi korban. Kelakuan buruk ayahnya di masa lalu, tidak seharusnya menghancurkan kebahagiaan anak dan cucu yang tak berdosa.Karakterisasi pada cerpen ini digarap secara dramatik. Watak tokoh utama digambarkan sangat dinamis. Ia mengalami perubahan demi perubahan dalam setiap fase hidupnya. Semula ayah Masri adalah seorang suami dan ayah yang baik, kemudian menjadi jahat, lalu bertobat, dan akhirnya menjadi manusia yang saleh.

Tidak mudah menggolongkan watak para tokoh dalam cerpen ini sebagai protagonis atau antagonis, kecuali ayah Masri sebelum ia bertobat. Watak jahat ayah Masri dipakai Navis untuk menimbulkan konflik yang berakibat fatal; dan watak ayah Masri yang saleh setelah bertobat, juga menimbulkan konflik baru. Terjadi kontras pandangan antara seorang yang mendasarkan pola pikir dan perilaku pada iman keberagamaannya (ayah Masri), dengan seorang yang mengutamakan humanity (Iyah).“Ini semua dosa besar, Iyah. Dosa bagi kita. Dosa bagiku, dosa bagi kau. Juga dosa bagi mereka.”

[….]“Aku harus memberitahu mereka. Setelah itu mereka harus bercerai. Ini mesti. Kalau selama ini aku telah mendapat keridaan Tuhan, kenapa pula harus kukotori di akhir hidupku?”….

[….]“Oh, alangkah tamaknya kau. Maumu hanya supaya kau saja bebas dari akibat perbuatanmu yang salah dulu, sehingga kini kau juga ingin merusakkan kebahagiaan anak-anakmu sendiri.”

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Ganefri
Terkini