Kontradiksi Karakter dalam Tiga Cerpen A.A. Navis

Foto Harian Singgalang
×

Kontradiksi Karakter dalam Tiga Cerpen A.A. Navis

Bagikan opini

Terlihat ketika Kakek bercerita pada tokoh Aku tentang Ajo Sidi, sebagai berikut: “Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggorok tenggorokannya.” 

  1.     Suka melebih-lebihkan
“…. Apa salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk.” Ketika Kakek terdiam agak lama, aku menyela, “Ia katakan Kakek begitu, Kek?” “Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya.”

 

  1.     Egosentris dan merasa diri paling saleh

“Sedari muda aku di sini, bukan? Tidak kuingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan, sangkamu? ” Sebaliknya, tokoh Ajo Sidi yang disebut pembual dan penyebab kematian Kakek, memiliki watak baik yang tersembunyi di balik narasi negatif tentang dirinya. Misalnya bagaimana ia sebenarnya bermaksud mengajarkan kebenaran melalui cerita-ceritanya. Ayo Sidi juga bukan manusia munafik. Ia melakukan yang diajarkannya tentang makna ibadah, yaitu menyembah Tuhan melalui perbuatan, antara lain dalam kerja dan menjalankan kewajiban sebagai anggota masyarakat.

“Ia sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi.“Tidak ia tahu Kakek meninggal?”

“Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis.”“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab, “dan sekarang ke mana dia?”

“Kerja.”“Kerja?” tanyaku mengulangi hampa. “Ya, dia pergi kerja.”

Jadi, dalam cerpen Robohnya Surau Kami, kontradiksi antartokoh disampaikan secara berbelit, sehingga tidak mudah mengategorikan mana tokoh baik dan mana tokoh jahat. Meskipun begitu, hal ini justru memperkuat julukan Navis sebagai pencemooh dan tukang satir. Watak-watak yang dikemukakan dalam cerpen ini menjadi sindiran dan cemoohan yang tepat tentang manusia. Betapa sering kita menilai kesalehan seseorang berdasarkan laku ibadah yang kasat mata saja, tanpa menimbang perilaku dalam keluarga, masyarakat, dan negara. Betapa sering kita menyombongkan kesalehan dan perbuatan baik yang kita lakukan dengan motif tertentu, dan menjadi ambyar begitu saja ketika kesalehan maupun perbuatan baik kita disangsikan orang lain.Cerpen kedua yang kita bahas berjudul Topi Helm yang penokohannya tak kalah unik dari cerpen pertama. Tokoh utamanya bernama Pak Kari, seorang tukang rem kereta api. Ia mendapat “warisan” sebuah topi helm dari atasannya, Pak Gunarso, yang pindah tugas ke wilayah lain.

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Ganefri
Terkini