Narsisme di Balik Baliho dan Billboard

×

Narsisme di Balik Baliho dan Billboard

Bagikan berita
Foto Narsisme di Balik Baliho dan Billboard
Foto Narsisme di Balik Baliho dan Billboard

Teori dramaturgi muncul sebagai reaksi atas konflik sosial dan rasial dalam masyarakat. Dramaturgi berada di antara interaksi sosial dan fenomenologi.Nilai apa yang bisa dipetik masyarakat dari para pemimpin bermodal pencitraan, yang mereka saja pun tahu itu cuma siyasah.

Sepekan ini itulah yang ramai digugat masyarakat di berbagai media. Rakyat seperti baru tersadar sehingga menyoal "festival" spanduk, baliho, dan billboard di banyak kota besar di Tanah Air. Baliho itu memasang wajah elit bangsa seperti Puan Maharani, Airlangga Hartarto, Muhaimin Iskandar, Agus Harimurti Yudhono.Publik menyoal karena momen "festival" itu berlangsung di tengah kondisi bangsa yang terpuruk pandemi Covid19.

Hampir 20 bulan sejak awal Maret 2020, pandemi telah meluluhlantakkan seluruh sendi kehidupan bangsa.Sampai Senin (9 Agustus), pandemi telah menelan 108. 571 jiwa meregang nyawa -- dari total yang terpapar 3.686.704 jiwa. Senin (9/8) malam, pemerintah mengumumkan kembali melanjutkan Penetapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat ( PPKM).

Tidak terhitung kerugian ekonomi yang dialami masyarakat. Rakyat di sejumlah daerah pun telah mengibarkan bendera putih tanda menyerah. Menunggu uluran tangan pemerintah dan saudara sebangsa membantu keluar dari kesulitan hidup.Di tengah setting penderitaan itu, wajar jika mereka menggugat elit-elit politik yang seperti kehilangan rasa empati

Topik itu diangkat oleh presenter Tysa Novenny Sariosa dalam program Kabar Petang TVOne, Senin (9/8) malam.Menampilkan tiga pembicara. Yaitu : Kader PDI-Perjuangan, Arya Bima, dan kader Partai Golkar, Maman Abdurahman dan DR Burhanuddin Muchtadi.

Saya mengikuti acara itu sampai habis. Menyedihkan pembelaan kedua elit politik itu terhadap boss mereka masing- masing. Memang tidak ada pelanggaran hukum pada pemasangan spanduk itu. Namun, dalam kehidupan berbangsa, hukum bukan satu-satunya pedoman bermasyarakat. Ada sistem nilai seperti etik dan moral yang juga penting dipatuhi. Arya Bima membeberkan, setiap hari partainya, katanya, sudah menyalurkan bantuan untuk rakyat yang terpapar. Namun, rasanya bantuan sebesar apapun tidak semestinya dijadikan paspor untuk melukai perasaan warga yang berduka. Sistem nilai masyarakat kita menganut paham "ketika tangan memberi tangan kiri pun tidak perlu tahu".Maman dari Partai Golkar lebih parah lagi. Dia bilang, pemasangan baliho Airlangga Hartarto " junjungannya" di Partai Golkar, adalah program lama. Sebuah pengakuan, partainya kurang memiliki sensitifitas. Mungkin Maman tidak tahu, jutaan rakyat sudah lebih setahun tidak sholat berjamaah di masjid -- padahal itu menjadi kewajibannya dalam beragama.

Sedangkan, Burhan Muchtadi, seperti biasa, mengambil jalan tengah. "Justru rakyat diuntungkan, pada saat kampaye pemilu nanti tinggal tagih janji- janji politik para elit itu. Burhan lupa, berapa banyak sudah janji kampanye para pemimpin itu tidak direalisasi, dan rakyat tidak tahu bagaimana " menghukum" pemimpin yang ingkar janji itu.Begitulah narsisme bekerja. Apa itu narsisme? Sebenarnya hanya ada dalam mitologi Yunani 800-900 SM. Tentang pemuda bernama Narcissus yang jatuh cinta pada dirinya sendiri. Setiap harinya hanyw berkaca menatap wajahnya di air kolam atau danau yang menjadi medianya. Seharian hanya memuji dan mengagungkan dirinya sendiri. Sampai akhirnya mati tercebur di kolamnya sendiri.

Editor : Eriandi
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Ganefri
Terkini