Maka lengkaplah strategi “ayudanisasi” militer — di mana bekas ajudan bertransformasi menjadi pion utama di papan catur kekuasaan. Ini menimbulkan pertanyaan: apa kabar profesionalisme militer? Mari kita simpan harapan dalam kotak penyimpanan dengan tulisan “Buka saat demokrasi beneran tiba.”
Tapi tetap penting kita menyegarkan ingatan. Samuel Huntington, dalam karyanya yang melegenda _The Soldier and The State_ (1957), menjelaskan konsep profesionalisme militer sebagai “manajemen kekuatan bersenjata yang otonom dari kepentingan politik, tunduk hanya pada konstitusi dan komando sipil yang sah.”
Di Indonesia, Prof. Salim Said (alm), dalam banyak karyanya yang monumental, juga tak bosan-bosannya menyoroti bagaimana TNI sejak Orde Baru hingga kini belum sepenuhnya melepaskan diri dari politik praktis. Mereka bahkan cenderung menjadi instrumen kekuasaan, tergantung siapa yang memegang kendali.
Mutasi Pak Kunto adalah bukti sahih bahwa teori itu masih berdebu di rak buku, jauh dari praktik di lapangan. Profesionalisme TNI masih jauh dari harapan. Kisah ini juga menguak sisi lain: apakah Panglima TNI kita hari ini benar-benar panglima, atau sekadar juru tulis bagi kehendak Pak Mulyono yang kini menghadapi kasus ijazah palsu?
Revisi mendadak keputusan mutasi menunjukkan dua hal: ada tekanan politik sangat kuat, atau Panglima sendiri menyadari bahwa ia hampir terjebak dalam blunder sejarah. Bahkan, Prabowo — mantan Menteri Pertahanan era Jokowi dan kini presiden — dikabarkan marah besar atas keputusan Panglima, hingga buru-buru harus dikoreksi esok hari.
Kasus kudeta atau kooptasi sunyi atas jabatan penting itu memberi pelajaran dan momentum penting bagi Prabowo. Tak mengherankan bila dalam waktu dekat, seperti dikatakan seorang netizen, “kaki-kaki Mulyono akan dipretelin”: Panglima TNI, Kapolri, atau siapa saja yang jadi sisa-sisa era yang mestinya sudah tutup buku.
Apa yang bisa disimpulkan dari semua ini? Bahwa militer kita masih mudah dikooptasi rasa pribadi. Bahwa jabatan-jabatan strategis masih bisa dimainkan seperti pion dalam catur. Bahwa seorang perwira tinggi bisa “dipinggirkan” hanya karena ayahnya terlalu jujur dan terlalu tua untuk takut.Ini bukan hanya pengkhianatan terhadap semangat reformasi TNI, tapi juga pengabaian terang-terangan terhadap prinsip meritokrasi. Seandainya Letjen Kunto benar-benar dicopot karena performa buruk, itu wajar. Tapi jika karena “dosa turunan”, ini bukan militer, ini sinetron kolosal. Semua tahu, dia baru dua bulanan menjabat, bahkan belum sempat bekerja apa-apa.
Di zaman Soeharto, militer ibarat anjing penjaga kekuasaan. Setelah Reformasi, kita berharap anjing itu pensiun dan berganti menjadi anjing penjaga konstitusi. Tapi hari ini, anjing itu tampaknya kembali menggonggong atas perintah tuan lama — yang kini tak lagi di Istana, tapi masih ingin mengatur istana.
Mungkin sudah waktunya kita buka kembali buku-buku Huntington dan Salim Said, lalu mengajar ulang pelajaran dasar kepada para jenderal dan sipil yang mengintervensi: bahwa dalam republik, loyalitas bukan kepada personalitas, tapi kepada hukum dan rakyat. Dan lebih penting lagi, tetap menjaga akal sehat.