Menyambut Hari Pendidikan: Menggugat Diri, Menata Arah Pendidikan Muhammadiyah

Foto Muhammad Najmi
×

Menyambut Hari Pendidikan: Menggugat Diri, Menata Arah Pendidikan Muhammadiyah

Bagikan opini
Ilustrasi Menyambut Hari Pendidikan: Menggugat Diri, Menata Arah Pendidikan Muhammadiyah

Problem serius yang perlu diakui secara jujur dalam dunia pendidikan Muhammadiyah adalah lemahnya konsolidasi antara amal usaha dan pimpinan Persyarikatan. Di banyak tempat, hubungan ini tidak berjalan sebagai relasi sinergis yang sehat, tetapi justru dibayangi ketegangan peran dan tarik-menarik otoritas. Sebagian pengelola amal usaha, seperti sekolah atau perguruan tinggi, "rasa memiliki" lebih tinggi karena mengelola aset, SDM, dan arus keuangan. Sementara di sisi lain, pimpinan Persyarikatan kadang tampil seperti “Penguasa” yang hanya datang mengatur, memberi instruksi, namun tidak memahami dinamika teknis operasional lembaga.

Situasi ini melahirkan ruang kosong yang tak sehat. Amal usaha sering berjalan seperti institusi otonom yang hanya menempel secara administratif kepada Muhammadiyah, sementara nilai ideologis dan spirit gerakan menjadi kabur. Di sisi lain, pimpinan Persyarikatan sering tidak memiliki basis keilmuan atau kapasitas manajerial yang cukup dalam pendidikan, namun tetap memaksakan otoritas dalam pengambilan kebijakan. Maka tak heran, terjadi konflik internal, miskomunikasi, hingga stagnasi visi kelembagaan.

Pendidikan Muhammadiyah seharusnya menjadi laboratorium utama integrasi antara spirit gerakan dan manajemen profesional. Maka hubungan antara pimpinan Persyarikatan dan pengelola AUM bukan relasi kuasa, tetapi relasi misi—saling menguatkan, saling melayani, dan bersama-sama menjadikan pendidikan sebagai medan dakwah dan pembebasan umat.

*_Meningkatkan Kualitas, Bukan Sekadar Kuantitas_*

Selama ini, narasi yang berkembang dalam lingkungan Persyarikatan seringkali lebih menekankan pada jumlah. Jumlah sekolah, jumlah mahasiswa, jumlah guru, dan jumlah alumni. Namun, kualitas masih menjadi pekerjaan rumah besar. Seharusnya, kita berani mengganti narasi itu: bukan lagi tentang banyaknya gedung yang dibangun, melainkan tentang berapa banyak jiwa yang tercerahkan.

Mutu pendidikan bukan lagi diukur dari hasil Ujian Nasional, karena sejak 2021 kebijakan tersebut telah digantikan oleh Asesmen Nasional yang berfokus pada literasi, numerasi, dan survei karakter. Namun, esensinya tetap sama: apakah pendidikan kita benar-benar berdampak pada kompetensi peserta didik? Apakah lulusan kita memiliki pemahaman agama yang mendalam, kepedulian sosial yang tinggi, keterampilan berpikir kritis, dan semangat menciptakan perubahan? Jika tidak, maka pendidikan Muhammadiyah hanya akan menjadi pabrik ijazah, bukan pabrik pencerahan.

Bagikan

Opini lainnya
Terkini