Dari Peringatan Seabad Rosihan Anwar : Wartawan Sekaligus Pelaku Sejarah

×

Dari Peringatan Seabad Rosihan Anwar : Wartawan Sekaligus Pelaku Sejarah

Bagikan berita
Foto Dari Peringatan Seabad Rosihan Anwar : Wartawan Sekaligus Pelaku Sejarah
Foto Dari Peringatan Seabad Rosihan Anwar : Wartawan Sekaligus Pelaku Sejarah

Media & Tulisan terakhirSemalam, saya menceritakan, Tabloid C&R menjadi media pers terakhir Rosihan Anwar berkarya dengan menulis kolom secara teratur sekali sepekan di dalam rubrik “ Halo Selebriti". Pak Ros juga mengantongi kartu pers sebagai wartawan Tabloid Cek & Ricek" yang saya tandatangani. Jangan salah, beliau meminta sendiri kartu itu, untuk " jaga-jaga", katanya. Entah apa maksudnya. Tapi saya bangga.

Rubrik Halo Selebriti memang sering diasosiasikan hanya bicara tentang artis dan dunia hiburan semata. Padahal, rubrik itu selama 13 tahun, dimulai sejak terbit pertama kali 24 Agustus 1998 hingga Pak Ros wafat, delapan puluh prosen isinya justru mengkritisi kebijakan pemerintahan Presiden Habibie, Megawati, Gus Dur, hingga SBY. Sampai Pak Ros wafat, saya merahasiakan kepadanya betapa setiap Tabloid terbit saya harus menghadapi protes kiri kanan dari pihak-pihak yang dikritisi di " Halo Selebriti". Bahkan, ada yang sampai mengancam saya untuk menutup rubrik itu. Tentu saja ancaman semacam itu tidak pernah saya layani. Tak satu huruf pun saya pernah mau mengoreksi tulisan beliau, walau waktu membacanya sebelum terbit, hati ketar - ketir juga.Saya pun menolak ketika beliau sendiri meminta saya memberi pengantar pada tulisan terbarunya, yang dia rampungkan beberapa saat sebelum dilarikan ke RS MMC, pada 7 Maret 2011 “ Tolong kasih pengantar, itu tulisan terakhir saya,” kata Pak Ros — melalui sambungan telepon dari ruang perawatannya di RS, waktu itu. Dan, itu memang menjadi tulisan terakhirnya.

Dalam acara kenangan "Seabad Rosihan Anwar", saya juga menambahkan kesaksian mengenai peristiwa bersejarah Penyerbuan Kantor PDI (Partai Demokrasi Indonesia) Jalan Diponegoro pada 27 Juli 1996. Malam sebelum peristiwa itu, kami — saya, Pak Ros, dan Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) ABRI, Mayjen Amir Syarifuddin bersantap di Resto Ayam Goreng Nyonya Suharti di jalan Wahid Hasyim, Menteng, Jakarta Pusat. Jendral Amir Syarifuddin yang punya inisiatif itu. Dia meminta saya mengenalkannya dengan Pak Rosihan Anwar. Di sela-sela bersantap, Pak Ros menyampaikan keluhan kepada Pak Amir. Demo - demo yang terjadi di kantor PDI menggagunya karena kerumunannya berimbas ke depan kediaman beliau di jalan Surabaya. Pertemuan malam itu diakhiri dengan kami bertiga terjun cek ke lapangan, menumpang mobil saya. Saat melintas di depan kantor PDI, separuh ruas jalan ditutup digunakan untuk acara pengajian. Waduh! Bagaimana ini? Tiba-tiba Jendral Amir seperti "keceplosan" bicara sendiri. Instink wartawan Pak Ros bekerja. Esok pagi Pak Ros jogging di kawasan itu, dan benar : hari itulah terjadi penyerbuan kantor PDI. Pak Ros menulis peristiwa itu esoknya di Harian Kompas. Menurut ceritanya, Amir berada di lokasi, dan bersyukut mengenalinya. Amir langsung mengamankan Pak Ros ke pos jaga rumah almarhum Jendral Sugandhi.Big Data

Saya sering menulis Rosihan Anwar adalah sebaik - baik wartawan. Sangat produktif. Kapasitas memorinya sangat besar tak terbatas. Dia adalah Big Data sesungguhnya. Asli. Bukan Big Data Luhut Binsar Panjaitan. Andai saja Tuhan memberi Pak Ros usia panjang, hidup hingga satu abad, niscaya Pak Ros akan ikut " pertarungan seru di media sosial yang luas " halamannya" seluas samudera, tak terbatas, demi menyalurkan kegelisahannya sebagai jurnalis.Informasi Pak Ros pertama kali masuk RS MMC saya upload sore itu di twitter setelah diberitahu Indro Warkop dan berbicara langsung dengan beliau. Info itu segera disambung dengan "retweet" oleh berbagai pihak, selanjutnya berkembang viral di berbagai media online. Sejumlah televisi menyiarkan di running text. Keluarga dan pihak RS terkejut karena kurang setengah jam sejak saya upload, RS MMC diserbu "sejuta umat" insan media. Keluarga sempat cemas, mereka menghubungi saya. Saya menenangkan. Itu hal wajar saja. Pak Ros bukan hanya milik keluarga, bukan hanya milik pers, tetapi milik seluruh bangsa Indonesia. Wartawan berhak memberitakan. Pihak RS juga berhak melarang wartawan masuk di RS. Jalan keluarnya, sata minta keluarga menemui dan memberi keterangan kepada wartawan. Selama dirawat, RS melarang Pak Ros dibesuk.

Tapi suatu sore, saya dan rekan Marah Sakti bisa "lolos" membesuk beliau. Dokter memergoki kami. Ia memeringatkan supaya jangan lama-lama. Pak Ros yang menyahuti dokter itu. " Tidak apa-apa, dia anak saya" menunjuk kami. Sore itu Pak Ros bersemangat sekali menceritakan telah berhasil merampungkan buku kisah Pak Ros dengan almarhum istrinya, Ibu Hj. Zuraida sebelum diopname. Lalu, masuk topik kedua. Dia "mengusut" bagaimana cara saya menyampaikan informasi yang begitu cepat viral. Saya menjelaskan memang begitulah fenomena media sosial. Pak Ros pun tertarik lebih jauh menyelami ketika saya mengatakan media sosial tidak butuh birokrasi berbelit-belit untuk menyampaikan informasi. Tidak seperti karakter media konvensional yang tentu sudah puluhan tahun dialaminya." Wah saya juga mau coba. Ajarin yah setelah sembuh nanti," ucapnya.

Itu alasan saya mengatakan, andai diberi umur panjang, hidup seabad, niscaya Pak Ros akan unggul di media baru itu. Pengalaman dan peralatannya paling lengkap. Dia sudah turut menproduksi film bersama Usmar Ismai di Perfini pada tahun 1950 an. Jauh sebelum talkshow tumbuh menjamur di media televisi swasta, Pak Ros sudah pernah punya slot talkshow dan menjadi host di acara yang disiarkan TVRI. Bayangkan Pak Ros punya semacam podcast atau kanal di Youtube yang ditangani secara kreatif dan produktif. Tamu tamunya atau lawan bicaranya seluruhnya adalah tokoh pengambil keputusan di negeri ini, yang digilir tampil tiap hari atau tiap minggu.Melbourne, 11 Mei 2022.

Editor : Eriandi
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Ganefri
Terkini