Khairul Jasmi Yasir Den Haz pembaca berita TVRI mengulas dengan panjang lebar musibah Galodo Gunung Marapi Sumbar pada siaran Dunia Dalam Berita 01 Mei 1979. Musibah itu terjadi Minggu 29 April 1979 menjelang dinihari. Musibah itu menewaskan 60 orang di lima nagari terdampak hebat. Kelimanya Lasi di Agam, serta Pasir Lawas, Supayang, Situmbuk dan Sungai Patai di Tanah Datar. Dari 60 orang itu, terbanyak tewas di Supayang, 21 orang. Selain 60 itu tercatat 19 orang lainnya hilang. Total korban 79 orang. Waktu itu, gulita membungkus perkampungan di kaki Marapi. Hujan turun, meski tak selebat di gunung.
Marapi nan diam, tiba-tiba marah, galodo, membawa lahar dingin, tanah, batu, kayu-kayu menyerbu pemukiman. Penduduk sedang tidur. “Bunyi helikopter,” kata warga di Lasi. Hal serupa juga disebut warga di Pasir Lawas dan Supayang. Sarana prasana hancur, rumah, sekolah, rumah ibadah, irigasi, jalan, jembatan. Saya waktu itu berada di kampung, Supayang melihat air yang mengalir sedemikiab deras, jauh melampui tubuh batang air.
Lidah air sudah entah dimana, terdengar gemuruhnya yang menakutkan. Sedemikian lama hingga subuh datang. Ketika itulah tampak di lokasi bencana, Pincuran Tujuah, Supayang, semua rumah sudah tak berbekas, kecuali rumah gadang suku kakek saya. Suraunya sudah tak berbekas lagi. Selain 7 rumah di sana habis tak bersisa, juga jembatan hilang semua bekasnya. Di sini dunsanak saya 21 orang tewas, termasuk keluarga Syekh Jamil Jaho.Di Pasir Lawas, tempat saya belajar di SMP jantung nagari hancur oleh galodo. Pasar dan rumah penduduk tak berbekas. Bau lumpur dari gunung tercium aneh dan ganjil. Sekolah saya selamat, tapi sejumlah teman sekolah tewas dalam musibah itu. Ribuan atau mungkin sejuta orang, datang memadati Pasir Lawas, nagari paling parah diterjang galodo, setelah Lasi.
Berketiding- ketiding uang logam sumbangan terkumpul. Dan, pelaku wisata bencana itu, takjub, sebab masjid Pasir Lawas yang ada di lembah, justru tak disentuh Galodo. Masjid itu, kemudian kian rancak saja. Setelah musibah adalah duka yang panjang, terutama saat mengubur jenazah. Tak lama benar kemudian sebagian warga di Supayang dan Pasir Lawas, ikut transmirasi lokal ke Sitiung. (kj)