Jaringan PLN Ditumpangi Swasta

Foto Harian Singgalang
×

Jaringan PLN Ditumpangi Swasta

Bagikan opini

Tidak perlulah diragukan keseriusan pemerintah Indonesia untuk mendukung prinsip Environmental, Social, Governance (ESG) menuju komitmen energi hijau (green energy) dalam meningkatkan daya saing produk nasional di pasar internasional. Paling tidak, hal itu terlihat dari implementasi Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) sebagai upaya mencapai persentase bauran energi baru terbarukan. Salah satu indikator keberhasilan yang bisa dinilai, adalah penerapan tingkat kelistrikan (electrification ratio) yang telah dicapai oleh PLN selama 7 (tujuh) tahun terakhir.Mengacu pada publikasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), bahwa BUMN Perusahaan Listrik Negara (PLN) telah memeratakan akses listrik sampai ke pelosok negeri dengan tingkat elektrifikasi sebesar 99,52% pada triwulan I tahun 2022. Artinya, peningkatan investasi PLN disektor kelistrikan telah mampu menyediakan listrik dengan harga terjangkau bagi konsumen masyarakat Indonesia. Dengan demikian, PLN memiliki kemampuan teknis dan manajemen sebagai garda terdepan bagi program energi baru terbarukan tersebut.

Dukungan pemerintah untuk menjalankan komitmen emisi nol bersih atau nol emisi karbon (net zero emission) dan transisi energi (energy transition) harus dipastikan taat pada konstitusi. Salah satu yang relevan untuk dipermasalahkan publik, yaitu Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kerjasama Penyediaan Tenaga Listrik Dan Pemanfaatan Bersama Jaringan Tenaga Listrik. Sebab, Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 14 Desember 2016 telah membatalkan Pasal 10 ayat 2 dan Pasal 11 ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan karena bertentangan dengan Undang Undang Dasar (UUD) 1945.Dengan demikian, kebijakan pembangunan infrastruktur energi baru terbarukan yang akan diatur melalui Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) haruslah mengacu pada perintah konstitusi ekonomi, Pasal 33 UUD 1945. Yangmana ayat 2-nya menyatakan, bahwa cabang-cabang produksi yang penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Perintah penguasaan negara dalam cabang produksi penting ini dimandatkan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) agar hasil operasinya digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, bukan orang per orang atau sebagian orang saja. Termasuk diantaranya, hak pengelolaan pembangkitan tenaga listrik, transmisi tenaga listrik, distribusi tenaga listrik, dan/ atau penjualan tenaga listrik menjadi mandatory BUMN sebagaimana Putusan MK tersebut!

*RUU EBT Power Wheeling*Lalu, apa itu Power Wheeling? Power Wheeling adalah penggunaan jaringan PLN oleh pembangkit (power wheeling) milik swasta untuk menghasilkan listrik yang akan dijual kepada konsumen masyarakat. Pembangkit swasta tidak perlu mengeluarkan dana investasi untuk pembangunan infrastruktur jaringan, dan dapat menggunakan jaringan milik PLN atau menumpangi. Maka itu, penggunaan jaringan PLN oleh pembangkit daya (power wheeling) swasta yang akan dijadikan klausul dalam RUU EBT secara eksplisit maupun implisit sama saja dengan *benalu* yang akan menggerus kinerja BUMN. Selain, tidak ada urgensinya memaksakan klausul ini sama saja dengan memperpanjang distribusi aliran listrik kepada konsumen yang otomatis akan menambah biaya-biaya operasional dalam jangka pendek serta berpengaruh pada tarif dasar listrik PLN.

Dalam jangka panjang, pengeluaran biaya-biaya operasional PLN akan meningkat jika skema penggunaan jaringan PLN oleh pembangkit swasta (power wheeling) tidak memberikan harga yang terjangkau oleh konsumen masyarakat. Maka, keuangan negara melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi terkuras untuk menutup alokasi subsidi dan kompensasi apabila kebijakan menaikkan Tarif Dasar Listrik (TDL) tidak menjadi pilihan. Alih-alih kelebihan daya listrik (over supply) PLN saat ini akan semakin membengkak dan menjadi beban korporasi.Apalagi, upaya ini kemudian mengorbankan keberadaan (eksistensi) dan keberlanjutan BUMN di masa depan dan membebani keuangan negara disebabkan menetapkan kebijakan yang salah. Apakah anggota DPR dimasa tahun politik 2024 ini akan rela dianggap sebagai penyebab kesusahan rakyat dan meruntuhkan kehadiran BUMN yang menopang keuangan dan perekonomian negara. Sementara itu, pemerintah telah mengeluarkan materi soal penggunaan jaringan PLN oleh pembangkit swasta (power wheeling) itu dari Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU EBT, selayaknyalah DPR mengikutinya. Dalam perspektif pembahasan RUU EBT ini juga, sebaiknya DPR harus memandang spektrum lebih luas lagi terkait mendesaknya Indonesia memiliki RUU Energi bukan hanya RUU EBT.

Oleh karena itulah, usulan penggunaan jaringan listrik oleh pembangkit (power wheeling) milik swasta harus ditolak materinya dalam pembahasan RUU EBT oleh Panitia Kerja (Panja) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Publik bisa-bisa memelesetkan istilah power wheeling ini menjadi "power mhaling" jika Panja DPR mengesahkan klausul tersebut menjadi UU EBT yang tidak ada relevansinya dengan EBT. Tidak bisa, hak penguasaan negara oleh BUMN ditumpangi begitu saja dengan memanfaatkan kewenangan legislasi wakil rakyat demi memenuhi kepentingan atau keuntungan pribadi, sekelompok orang atau korporasi swasta.Bagaimanapun juga, EBT harus ditempatkan secara proporsional dan hanya sebagai salah satu materi atau klausul saja dalam RUU Energi, sehingga sinergi antar BUMN yang beririsan pada sektor ini seperti Pertamina, PLN, BUMN Holding Pertambangan MIND.ID (sub holding Aneka Tambang/Antam) dapat berjalan efektif dan efisien. Jangan sampai, misalnya BUMN Pertamina malah berkeinginan membangun ekosistem industri pengolahan nikel menjadi baterai sedangkan bisnis intinya (core business) adalah minyak dan gas bumi (Migas). BUMN Antam-lah yang lebih tepat melakukan pengembangan ekosistem nikel untuk diolah menjadi produk baterai dibawah koordinasi MIND.ID.(*)

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini