Tujuh Penyebab Kegagalan Pendidikan Karakter di Indonesia

×

Tujuh Penyebab Kegagalan Pendidikan Karakter di Indonesia

Bagikan berita
Tujuh Penyebab Kegagalan Pendidikan Karakter di Indonesia
Tujuh Penyebab Kegagalan Pendidikan Karakter di Indonesia

Supriadi 

Pendidikan karakter dalam rentang panjang sejarah pendidikan di Indonesia sejatinya sudah dimulai sejak zaman pra kemerdekaan, perjuangan gigih menuju kemerdekaan adalah salah satu bukti memperjuangkan karakter dan harga diri bangsa. Pasca kemerdekaan upaya pendidikan karakter itu kemudian berlanjut ke masa Orde Lama yang tercermin pada rentang perkembangan kurikulum yang terjadi selama Orde Lama tersebut, mulai dari kurikulum 1947, kurikulum 1952, hingga kurikulum 1964, ide Pancawardhana yang berisi pendidikan moral, kecerdasan, emosional, keprigelan dan jasmani yang digaungkan oleh Soekarno adalah bukti betapa perjuangan pendidikan karakter itu terus belanjut. Lain lagi yang terjadi pada masa Orde Baru pendidikan karakter juga mendapat prioritas Presiden Soeharto, sederetan kurikulum yang pernah berlaku di masa itu, mulai dari kurikulum 1968, kurikulum 1975, kurikulum 1984 hingga kurikulum 1994, tetap komit mengusung ide karakter di dalamnya, bahkan Soeharto secara massif meluncurkan program penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) kepada seluruh PNS, TNI, Polri, mahasiswa dan pelajar di seluruh Indonesia, sampai-sampai waktu itu kita hafal 45 butir P4 tersebut. Di era reformasi, kasus karakter bukannya makin surut, KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) makin meningkat dan dekadensi moral bangsa semakin menjadi-jadi, anehnya banyak pihak justru menuding hal tersebut sebagai buah kegagalan kurikulum sebelumnya. Sederet kurikulum yang berlaku sebelum reformasi, dijadikan kambing hitam atas kegagalan dalam menanamkan nilai karakter bangsa pada generasi. Sehingga hal pertama yang diambil pemerintahan Megawati adalah segera mengkaji dan memperbaiki kurikulum, dengan cepat kurikulum 1994 diberi suplemen di tahun 1999. Tidak puas dengan hanya mensuplemen kurikulum 1994, Malik Fajar sebagai Mendiknas di era Magawati Soekarno Putri memilih untuk mengkaji kurikulum tersebut dan dengan proses yang terkesan tergesa-tega, akhirnya di tahun 2004 disyahkan kurikulum baru yang diberi nama dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), uniknya kurikulum 2004 ini masih tetap mengusung ide pendidikan karakter di dalamnya, Proses yang tergesa-gesa yang disebutkan di atas, kemudian hari menyisakan banyak persoalan dan akhirnya kurikulum 2004 tercatat sebagai kurikulum prematur dengan usia paling pendek yaitu dua tahun, untuk kemudian digantikan oleh kurikulum 2006 yang diberi nama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang juga mengusung ide pendidikan karakter di dalamnya. Upaya memperbaiki karakter bangsa itupun berlanjut di masa SBY dengan Anies Baswedan sebagai pilot yang mengendarai Kementrian Pendidikan Nasional, dengan mengesyahkan berlakunya kurikulum 2013 yang biasa disingkat dengan Kurtilas. Kurtilas digadang-dagang akan sukses sebagai kurikulum yang memiliki muatan pendidikan karakter yang sarat di dalamnya, hal ini dibuktikan dengan dua KI (kompetensi Inti) yang mengacu pada aspek afektif. Kurtilas dianggap sebagai “obat penawar” yang mujarab terhadap “penyakit” bangsa yang akut yaitu penyakit krisis karakter, seperti yang telah diceritakan pada paragraph sebelumnya. Uniknya… lagi-lagi ide pendidikan karakter tetap diangkat di setiap perkembangan kurikulum yang berlaku, seakan-akan mempertontonkan kepada kita, bahwa urusan karakter adalah persoalan yang tidak pernah selesai di republik tercinta ini. Terakhir di tahun 2023 telah disayahkan pula sebuah kurikulum baru yang diberi nama dengan Kurikulum Merdeka, sebagaimana kurikulum-kurikulun sebelumnya, kurikulum kali ini masih tetap mengusung ide pendidikan karakter bahkan terlihat lebih kental lagi, di samping Capaian Pembelajaran (CP) Afektif, ada lagi kegiatan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) yang diikuti oleh seluruh murid yang dibagi kepada tema-tema yang dipilih oleh sekolah, sedangkan di Madrasah kegiatan ini lebih dikenal dengan istilah Profile Pelajar Rahmatan lil álamin (P2RA), kedua kegiatan ini sama-sama bermuara pada penanaman nilai-nilai karakter bangsa. Melihat panjangnya sejarah perkembangan kurikulum di Indonesia yang komit dengan muatan pendidikan karakter sejak zaman pra kemerdekaan hingga hari ini, tentunya muncul pertanyaan di benak kita semua, Apakah pendidikan karakter di Indonesia sudah berhasil atau belum? Kalau belum apa yang menjadi penyebabnya? Agar dapat menjawab pertanyaan ini, tentunya dengan mudah kita dapat membuktikan dari perilaku yang tercermin dari rakyat Indonesia secara keseluruhan, mulai dari rakyat jelata hingga pejabat tinggi pemerintahan, setiap perilaku yang ditampilkan oleh masing-masing elemen bangsa ini akan menjadi indikator keberhasilan pendidikan karakter bangsa ini. Tingginya indeks korupsi yang dilakukan oleh pejabat pusat hingga daerah, perampokan, begal, peredaran narkoba, perjudian, pembunuhan, kejahatan seks, hingga beraneka tindak kriminalitas lainnya, memberi warning bahwa pendidikan karakter masih menjadi PR terbesar bagi pendidikan Indonesia, dan sesungguhnya karakter bangsa masih jauh panggang dari api meskipun tidak mesti disebut gagal. Jika dikaji lebih dalam setidaknya penulis menemukan ada 7 penyebab kegagalan pendidikan karakter di negeri ini, penyebab itu dapat diurai sebagai berikut; Pertama, pendidikan karakter cendrung lebih mengacu pada aspek kognitif (pengetahuan), lebih banyak dihafal oleh murid seperti zamannya P4 dulu dan seharusnya dicobakan dan implementatif dalam gerak aktivitas siswa, inilah agaknya yang terjadi pada ribuan kantin jujur yang marak di setiap sekolah dan instansi pada kisaran tahun 2019 silam, satu persatu kantin jujur itupun gulung tikar, hingga hari ini tak tersisa satupun, hanya gara-gara lupa mengimplementasikan karakter dalam perilaku nyata, sementara itulah yang terpenting Kedua, guru belum menjadi sosok yang digugu dan ditiru dalam persoalan karakter. Meskipun pada diri guru ada kompetensi kepribadian dan sosial (sebagaimana UU no 20/2005 tentang guru dan dosen), namun di banyak kasus masih terlihat pelanggaran kepribadian dan sosial yang dilakukan oleh guru baik dalam skala kecil seperti guru harus berada di luar pagar karena terlambat mengikuti upacara bendera di hari senin, berbaur dengan siswa-siswi yang juga terlambat, tanpa merasa risih dan malu, bahkan ikut bercanda dengan siswa yang terlambat tersebut, tidak ikut shalat berjamaah atau terlibat dalam perselingkuhan sesama guru, hingga kasus besar seperti korupsi anggaran, dana bos, pelecehan seksual pada siswa dan tindak kriminal lainnya, naúzubillah… guru yang diharapkan menjadi pelopor pendidikan karakter yang dihormati dan diteladani justru memberi contoh yang buruk kepada lingkungan dan siswanya. Ketiga, rumah tangga dalam hal ini orang tua adalah lingkungan awal pembentukan karakter anak, hemat penulis, di pendidikan rumah tangga melalui pendekatan pembiasaan justru menjadi ladang subur pendidikan karakter setelah benihnya disemai di sekolah, orang tua harus menyirami, memupuk dan merawat benih itu agar terus tumbuh subur, tapi sayang beribu sayang banyak contoh kasus yang dapat disaksikan hari ini, dimana orang tua justru meracuni dan menginjak benih karakter yang telah disemai di sekolah tadi, lihatlah di persimpangan lampu merah, banyak orang tua ketika naik kendaraan “mengajak” anaknya menerobos lampu merah, melawan arus atau pelanggaran peraturan lalu-lintas lainnya tanpa rasa bersalah, terkadang si anak sering protes, tapi protes anak tersebut justru diracuni sendiri oleh orang tuanya dengan perkataan yang membuat image terbalik bagi pembentukan karakter anak, anak seperti ini jika menjadi pemimpin kelak, akan dengan mudah melakukan berbagai pelanggaran karakter tanpa merasa bersalah (guilty felling) sama sekali. Keempat, peran keluarga besar, seperti kakek, nenek, paman, tante dan bahkan mamak (di Minangkabau) tidak lagi menampakkan fungsi yang semestinya, mereka tidak lagi memiliki waktu yang cukup untuk ikut mempengaruhi karakter anak, cucu dan kemenakan mereka. Anggota keluarga besar tersebut terlalu sibuk dengan urusan sendiri atau urusan rumah tangga masing-masing (individualis), tidak ada kesadaran bagi mereka bahwa peran mereka juga dituntut dalam perkembangan anak, cucu dan kemenakan. Kalaupun mereka punya waktu yang cukup namun power of influence anggota keluarga besar tersebut telah dikerdilkan oleh kemajuan zaman dan teknologi. Kelima, kontrol lingkungan sosial sepertinya juga tidak mendukung keberlanjutan pendidikan karakter yang telah diperjuangkan oleh guru di sekolah, guru seakan-akan menjadi single fighter dalam hal pendidikan karakter, sementara lingkungan masyarakat justru meracuni pendidikan karakter tersebut dengan berbagai praktik-praktik karakter negatif, sekolah hanya seumpama mencelupkan setetes tinta ke laut yang luas, setelah mereka pulang dari sekolah dan kembali ke lingkungan sosialnya, kembali pula laut itu tercemar oleh praktik karakter negatif yang dipertontonkan secara bebas oleh orang-orang yang berada di sekitarnya, sementara karakter yang setetes itupun seperti tak berbekas pada perilaku siswa. Keenam, para pejabat pemerintahan baik dari pusat hingga daerah belum sepenuhnya memperagakan ketinggian budi pekerti yang layak untuk dicontoh dan diteladani, banyak di antara mereka yang tersandung kasus korupsi, namun anehnya saat disorot kamera justru cengar-cengir sambil tersenyum bahkan melambaikan tangan, tidak terlihat sedikitpun rasa malu dan bersalah di wajah mereka atas pelanggaran karakter yang telah mereka lakukan, di samping itu hukuman dan perlakuan hukum yang diberikan kepada pelaku kasus korupsi seakan-akan diistimewakan dan itu dipertontonkan di televisi dan internet, sehingga generasi menjadi sangsi terhadap karakter para pejabat ini dan menganggap karakter bangsa ini bisa dengan mudah dipermainkan dan diperjual-belikan. Ketujuh, pondok pesantren yang diharapkan sebagai solusi pamungkas dalam penanaman karakter ini, sering membuat kita gagal paham, apalagi bagi pesantren yang tidak menerapkan full sistem asrama atau pengawasan yang lemah terhadap santri, sehingga kerap ditemukan santri yang cabut  belajar justru sedang asyik bermain di warnet atau tempat lain dimana mereka bebas merokok dan bermain smartphone, tak jarang pula kita dapat melihat praktek pencurian kecil-kecilan, kongko-kongko bikin gank, memalak teman, pembulian, kekerasan dan penganiayaan. Kita rindu ada pesantren yang memperagakan karakter baik dalam setiap kesempatan, tanpa buli dan kekerasan, bila menemukan uang/barang tercecer, tetap kembali utuh ke pemiliknya. Kesimpulannya adalah bahwa pendidikan karakter bukan hanya tugas guru di sekolah, akan tetapi menjadi tugas kita bersama seluruh komponen bangsa, tanpa hal itu pendidikan karakter tidak lebih dari lips service yang menjadi topik-topik hangat dalam buku dan seminar-seminar, sementara dalam implementasinya tetap saja nihil, jika hal ini terus berlangsung dikhawatirkan perkembangan kurikulum kita berikutnya akan berkutat pada persoalan yang sama sedangkan karakter buruk bangsa ini tetap saja tidak berubah, pendidikan Indonesia akan terus berjalan di tempat, statis atau bahkan menjadi mundur. (Penulis Dosen UIN Bukittinggi ) Editor : Eriandi
Bagikan

Berita Terkait
Terkini