Oleh Asrinaldi A(Guru Besar Ilmu Politik Universitas Andalas)
Ancaman demokrasi di suatu negara yang mengalami transisi tidak hanya berasal dari perilaku masyarakatnya, tapi juga dari elite politiknya. Salah satu yang perlu disorot adalah lemahnya visi strategis elite politik kita dalam membangun NKRI. Elite politik hari ini cenderung berorientasi pada kepentingan jangka pendek, kalau tidak mau dikatakan untuk kepentingan kelompok mereka sendiri. Padahal kekuasaan politik yang mereka genggam dapat memberi pengaruh positif membawa bangsa ini jauh lebih maju di masa yang akan datang. Karena keberadaan elite politik tersebut menjadi kunci bagaimana mewujudkan cita-cita NKRI yang ada dalam pembukaan UUD 1945.Penyalahgunaan Kekuasaan
Salah satu yang patut dicermati seiring dengan semakin menguatnya kekuasaan elite politik di semua lini pemerintahan adalah berlangsungnya penyalahgunaan kekuasaan tersebut. Indikasi dapat dilihat dari perilaku koruptif elite yang menyertai penggunaan kekuasaan yang ada di tangan mereka. Kondisi ini diperkuat oleh data yang dirilis oleh Transparansi Internasional Indonesia terkait Indeks Persepsi Korupsi (CPI) tahun 2022 yang hanya memperoleh angka 34 poin. Angka ini mengalami penurunan di bandingkan angka tahun 2021 yang sebesar 38 poin. Bahkan dalam pemeringkatanCPI di seluruh dunia, Indonesia hanya menempati peringkat 110 dari 180 negara yang disurvei.Lalu apa yang menyebabkan korupsi ini sehingga memperburuk demokrasi? Salah satunya adalah jaringan kekuasaan elite politik yang telah menyebar kemana-mana menembus batas kewenangan lembaga negara yang ada. Tanpa disadari jaringan kekuasaan yang semakin membesar ini memunculkan kekuatan oligarki baru dalam sistem politik. Kelompok oligarki iniyang berusaha mempertahankan kekuasaan yang ada untuk mengamankan keuntungan ekonomi yang mereka dapatkan bersama. Hak-hak istimewa mereka sebagai elite politik dimanfaatkan untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan yang menguntungkan. Tanpa disadari perilaku elite politik ini terjebak pada penyalahgunaan kekuasaan yang mendorong mereka berperilaku koruptif.
Keadaan demokrasi semakin memburuk tatkala elite politik yang ada di lembaga negara ini tidak lagi melaksanakan fungsinya, terutama saling mengawasi dan menyeimbangkan kekuasaan masing-masing. Badan eksekutif di bawah kendali presiden bekerja tanpa pengawasan maksimal dari DPR. Sulit mengatakan bahwa DPR hari ini bekerja kekuatan penyeimbang dalam mengawasi kinerja pemerintah. Kelompok oligarki politik yang ada justru dengan sengaja membatasi peran DPR untuk berperan maksimal. Banyak bukti yang bisa menguatkan realita ini. Lihat saja bagaimana kualitas legislasi yang dibuat pemerintah bersama DPR. Apakah itu pembahasan Perppu atau UU yang minim perdebatan di antara mereka, namun banyak mendapat penolakan masyarakat.Celakanya, jaringan elite politik ini tidak hanya melibatkan lembaga eksekutif dan legislatif, tapi juga merambah ke lembaga yudikatif. Banyak kasus yang menjadi sorotan publik tidak diselesaikan dengan cara memuaskan oleh lembaga yudikatif. Apalagi terkait dengan gugatan terhadap pelangagran hak konstitusional warga negara yang kandas oleh keputusan lembaga yudikatif. Bahkan yang terlihat lembaga ini cenderung memilih berada pada posisi aman untuk tidak bertentangan dengan kebijakan oligark tersebut. Nyaris tidak ada lagi kekuatan politik yang dapat menyeimbangkan kekuasaan elite politik hari ini dengan kekuasaan mereka yang terus menguat.Realita ini menggambarkan berlangsungnya regresi demokrasi secara sistematis. Sulit membantahnya bahwa demokrasi saat ini sedang mengalami kemunduran setelah kemajuan yang didapatkan pasca jatuhnya kekuasaan Orde Baru. Elite politik berlomba-lomba memainkan pengaruh politiknya untuk mendapatkan kedudukan di lembaganegara sekaligus mencari keuntungan dari posisi politikyang mereka perebutkan. Mereka secara sadar mengenepikan kepentingan NKRI yang lebih besar dengan cara menikmati "pembagian sumber ekonomi" dari posisi yang mereka dapatkan setelah Pemilu berlangsung.Peran Masyarakat Sipil
Segelintir elite yang tergabung dalam kelompok oligarki baru ini mendominasi proses pengambilan keputusan di pemerintahan. Bahkan elite politik ini cukup mahir beradaptasi dengan aturan-aturan yang ada sehingga tindakan mereka jarang tersentuh hukum. Walaupun sebenarnya publik juga melihat apa yang dilakukan elite tersebut bertentangan dengan hukum. Namun, tidak ada kekuatan dalam pemerintahan yang bisa menghentikan tindakan tersebut. Kuatnya jejaring yang dimiliki oleh oligarki ini menjadi alat kekuasaan yang membuat mereka dapat bertahan dan mengendalikan sistem politik. Bahkan menjelang Pemilu 2024 jejaring politik kelompok elite ini semakin kohesif karena menghadapi ancaman karena posisi politik mereka mulai terancam.Lalu apa yang dapat dilakukan agar demokrasi kembali ke jalurnya? Tidak ada upaya selain mendorong masyarakat sipil untuk berperan menjelang Pemilu 2024 mencerdaskan pemilih sehingga dapat menjadi pemilih yang rasional. Karena akan ada 204 juta pemilih dalam Pemilu mendatang yang diperebutkan oleh elite politik untuk memperbaharui legitimasi kekuasaan mereka. Peran kekuatan masyarakat sipil memutus rantai kekuasaan oligarki ini sangat penting agar demokrasi kembali pada jalurnya. Caranya adalah dengan mencerdaskan masyarakat untuk dapat memilih calon anggota legislatif dan kandidat presiden yang memiliki visi kuat bagaimana membangun Indonesia yang demokratis dan berkeadilan lima tahun ke depan.
Bagaimanapun, keterlibatan masyarakat sipil dalam mencerdaskan pemilih akan mempengaruhi hasil pemilu 2024. Jika ingin mendapatkan hasil Pemilu yang berkualitas dan berintegritas, maka pengetahuan politik pemilih, terutama generasi milenial (kelahiran tahun 1981-1996) yang jumlahnya cukup besar pada Pemilu 2024 sebanyak 33,63 persen atau 68,8 juta pemilih sangatlah menentukan. Tidak sedikit calon anggota legislatif dan kandidat presiden berebut segmen pemilih ini. Jika masyarakat sipil dapat meningkatkan pengetahuan politik pemilih milenial ini, maka yang akan muncul efikasi politik yang tinggi. Efikasi politik inilah yang akan mendorong mereka memperbaiki regresi demokrasi akibat perilaku elite politik yang semakin koruptif.Bangsa ini tentu tidak akan sudi memilih calon pemimpin boneka yang mudah dikendalikan oleh kelompok oligarki baru. Mereka setiap saat akan selalu melakukan konsolidasi kekuasaan saling melindungi kepentingan masing-masing. Dan, harus dipahami keterlibatan kelompok oligarki dalam Pemilu 2024 ini tidak lain adalah untuk mendapatkan pemimpin boneka yang bisa membela kepentingan mereka yang setiap saat terancam ketika konsolidasi demokrasi terjadi. (***)
Editor : Eriandi