Dilema Penerapan ABS-SBK

Foto Harian Singgalang
×

Dilema Penerapan ABS-SBK

Bagikan opini

Terbitnya UU Nomor 17 Tahun 2022 tentang Provinsi Sumatera Barat yang baru saja disahkan pemerintah dan DPR menuai kritik banyak pihak. UU ini menggantikan UU Nomor 61 Tahun 1958 tentang penetapan UU darurat Nomor 19 Tahun 1957  tentang pembentukan daerah swatantra tingkat I Sumatera Barat, Jambi dan Riau yang dianggap tidak relevan lagi dengan perkembangan hukum saat ini. Kritik publik ini dikaitkan dengan Pasal 5 huruf c UU tersebut yang menegaskan karakteristik Provinsi Sumatera Barat, yaitu adat dan budaya Minangkabau yang berdasarkan pada falsafah ABS-SBK. Mengapa hanya etnis Minangkabau saja yang disebutkan padahal dari 19 kabupaten/kota yang menjadi wilayah Provinsi Sumatera Barat ada Kabupaten Kepulauan Mentawai yang memiliki adat dan budaya sendiri? Kritik tersebut juga mempertanyakan ketika falsafah ABS-SBK ini dimasukan menjadi aturan formal, maka pemerintah Provinsi Sumatera Barat mendapatkan legitimasi untk menjadi eksklusif dengan penerapan syariat Islam, benarkah?Benarkah Eksklusif?

Falsafah ABS-SBK adalah sistem nilai adat dan budaya etnis Minangkabau sudah diwariskan dari generasi ke generasi dengan dinamika yang menyertainya. Walaupun begitu, jika dipahami falsafah ABS-SBK ini tentu tidak hanya memuat sistem nilai sebagai landasan bersikap, namun juga sistem perilaku dan bahkan hala tuju mewujudkan kehidupan yang hakiki. Apalagi konsep Adat berlandaskan kepada syarak, syarak berlandaskan pada kitabullah (Alquran). Tentu etnis Minangkabau yang memang beragama Islam menjadikan Alquran sebagai pedoman hidupnya karena begitulah tuntutannya.Tidak ada yang salah dengan falsafah ABS-SBK ini karena memang falsafah ini menjadi bagian dari kehidupan etnis Minangkabau. Sama halnya dengan etnis lain yang juga memiliki falsafah hidup yang memandu mereka bertindak dan berperilaku dalam sistem sosial yang ada. Apalagi, faktanya, Negara Indonesia memiliki sistem nilai adat dan budaya yang sangat beragam. Sebagian besar adat dan budaya ini menjadi pedoman hidup dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Bahkan Pancasila yang menjadi ideologi Bangsa Indonesia ini merupakan kristalisasi sistem nilai adat dan budaya yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia.

Dimasukannya Falsafah ABS-SBK ke dalam UU Provinsi Sumatera Barat ini sebenarnya adalah bentuk pengakuan negara terhadap keistimewaan etnis Minangkabau dengan adat dan budayanya. Barangkali tidak ada yang menolak eksistensi falsafah ABS-SBK tersebut. Bahkan secara tidak langsung masyarakat Indonesia mengakui keunikan falsafah ini yang membesarkan tokoh-tokoh pendiri bangsa dari etnis Minangkabau ini di zaman kemerdekaan. Ide dan gagasan mereka yang dibentuk oleh falsafah ABS-SBK ini membentuk cara pikir mereka yang inklusif dan melampuai zamannya.  Mereka berhasil merumuskan falsafah berbangsa dan bernegara yang menghargai perbedaan, plural dan tidak eksklusif. Contohnya terkait dengan dasar-dasar bernegara dalam Piagam Jakarta yang menjadi Pembukaan UUD 1945 diusulkan untuk dirumuskan kembali karena merujuk kepada agama tertentu (Islam). Mohammad Hatta, saat itu  mengusulkan agar kata dalam Sila Pancasila: Ketuhanan "dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya" diganti dengan "Yang Maha Esa." Ini dimaksudkan agar eksklusifisme agama tertentu tidak terjadi di Indonesia. Memang tidak hanya Hatta yang mengusulkan hal ini, juga ada Kasman Singodimejo dan tokoh Islam lainnya. Tentu banyak contoh lain yang dapat dituliskan di sini, namun karena terbatasnya ruang dalam tulisan ini cukup contoh itu saja yang dapat merefleksikan bagaimana sesungguhnya falsafah ABS-SBK ini tidak menjadikan orang yang mengamalkannya menjadi ekslusif.Tuduhan yang mengatakan dimasukannya falsafah ABS-SBK dalam UU Provinsi Sumatera Barat menjadilegitimasi tindakan pemerintah daerah memberlakukat syariat Islam dalam peraturan daerah terlau berlebihan. Karena selain tidak diatur mengenai kewenangan daerah dalam UU tersebut, juga bertentangan dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Sebab Pemerintah Provinsi Sumatera Barat bukanlah daerah istimewa atau daerah khusus sebagaimana Provinsi Aceh yang memang memiliki UU pemerintahannya sendiri. Begitu juga dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Walaupun UU Nomor 17 tahun 2022 ini terbit, kewenangan yang harus diselenggarakan tetap mengacu pada UU Pemerintahan Daerah sebagaimana provinsi lain di Indonesia.

Dilema PenerapanBahkan kewenangan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat begitu juga dengan provinsi lain sudah diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 ini. Pasal 11 UU Pemerintahan Daerah ini mengatur kewenangan pemerintah daerah menyelenggarakan urusan yang bersifat konkuren, yaitu urusan pemerintahan wajib dan urusan pilihan yang semuanya sudah jelas pembagiannya. Bagaimana mungkin pemerintah Provinsi Sumatera Barat menjadi eksklusif dengan urusannya, terutama untuk memberlakukan syari'at Islam sebagaimana yang dituduhkan banyak pihak? Padahal kewenangan mengurus agama ini adalah kewenangan absolut pemerintah pusat. Jangankan membuat Perda bernuansa syariah, membuat Perda wisata halal saja mendapat keberatan dari pemerintah pusat.

Namun dengan adanya falsafah ABS-SBK ini tentu diharapkan etnis Minangkabau bisa memanfaatkan sistem nilai adat dan budaya Minangkabau ini memberi manfaat kepada semua pihak. Tidak hanya untuk etnis Minangkabau, tapi juga etnis lain yang ada di Provinsi Sumatera Barat. Masalahnya adalah seperti apa betul sistem nilai adat dan budaya Minangkabau yang harus diacu tersebut? Ibarat Falsafah ideologi Pancasila ada butir-butir nilai yang memang menjadi pedoman yang diamalkan sehari-hari oleh Bangsa Indonesia. Sementara penjabaran nilai Adat dan Budaya ini masih belum begitu dapat dipahami dengan baik oleh etnis Minangkabau hari ini. Kita dapat mempedomani penjabaran falsafah ABS-SBK dalam dokumen perencanaan pembangunan oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Sumatera Barat, namun penjabaran tersebut terasa kabur dan tidak jelas arahnya. Bahkan variabel dan indikator mengukur pelaksanaan ABS-SBK ini pun sulit dirumuskan dengan tepat dalam menilai pelaksanaan misi ini dalam pembangunan daerah.Masalah lain, adalah persoalan komitmen dan konsensus terhadap substansi nilai falsafah ABS-SBK yang memang selalu menjadi perdebatan di antara pemangku kepentingan: ninik mamak, alim ulama, dan cerdik pandai. Perspektif yang beragam setiap pemangku kepentingan ini adalah sunatullah dan keniscayaan yang harus saling menguatkan keberadaan falsafah ABS-SBK ini. Begitu juga, hal lain yang perlu mendapat perhatian kita bersama adalah masalah lemahnya fungsi kelembagaan adat dan syarak dalam mengejawatahkan falsafah ABS-SBK sehingga lembaga ini terkesan sebagai pelengkap saja dalam penyelenggaran pemerintahan. Oleh karena itu, momentum terbitnya UU Provinsi Sumatera Barat yang telah menjadikan falsafah ABS-SBK ini menjadi karakteristik dan identitas etnis Minangkabau benar-benar dimanfaatkan untuk kepentingan seluruh masyarakat Sumatera Barat dan tidak hanya etnis Minangkabau.(***)

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini