Kajian Tentang Gunung Marapi dalam Sumber Masa Kolonial

Foto Novelia Musda
×

Kajian Tentang Gunung Marapi dalam Sumber Masa Kolonial

Bagikan opini
Ilustrasi Kajian Tentang Gunung Marapi dalam Sumber Masa Kolonial

Bencana erupsi dan banjir bandang lahar dingin Gunung Marapi yang telah menimbulkan banyak kerusakan dan korban jiwa menunjukkan bahwa masyarakat perlu lebih dekat mengenal gunung api yang termasuk paling aktif di Sumatera ini.

Sungguh ironi jika kita lebih paham karakteristik Krakatau atau Merapi di Jawa daripada gunung api yang sehari-hari di pelupuk mata. Meski mungkin ribuan kali telah didaki oleh puluhan ribu orang, belum tentu pendaki yang telah kembali benar-benar telah mengenalnya.

Dengan lebih mengetahui sifat-sifat Marapi bukan berarti semakin dibuat resah dan gelisah dengan ragam kemungkinan bahaya, tapi bisa memunculkan sikap menghormati dan mengagumi ciptaan Tuhan ini sekaligus mempersiapkan diri dalam langkah-langkah konkrit jika diperkirakan terjadi hal-hal yang dikhawatirkan.

Salah satu sumber untuk mengenal Gunung Marapi berasal dari masa kolonial, lebih dari seratus tahun lalu. Sumber-sumber demikian pasti telah dijadikan rujukan dalam berbagai kajian vulkanologis gunung itu hingga saat ini, sehingga pada prinsipnya kami hanya mengulangi apa yang telah disampaikan dalam sumber-sumber tersebut, mengetengahkan hasil observasi, teori dan pandangan mereka sendiri.

Memang lebih baik kiranya jika karya-karya itu dapat diakses publik dalam bentuk terjemahan, sehingga bisa ditafsirkan sesuai pandangan masing-masing. Masalahnya, belum ada yang menerjemah atau mempublikasi terjemahan karya-karya demikian, meski sebagian besar naskah aslinya dapat diakses bebas dalam bentuk digital melalui peramban.

Dalam tulisan ini, kami menyarikan karya-karya beberapa ilmuwan Eropa masa kolonial, dengan tiga sumber utama berikut. Pertama, karya Salomon Müller: Berigten over Sumatra (Berita tentang Sumatera) (terbit 1837).

Tulisan 35 halaman ini telah kami terjemah tapi belum sempat publikasi. Kedua, tulisan Dr. P. W. Korthals 81 halaman yang terbit tahun 1847: Topographische Schets van een gedeelte van Sumatra (Sketsa Topografis Sebagian Wilayah Sumatera). Karya ketiga yang disarikan merupakan tulisan vulkanolog masyhur, RDM Verbeek terbitan 1883 setebal 656 halaman: Topographische en Geologische Beschrijving van een gedeelte van Sumatra’s Westkust (Deskripsi Topografis dan Geologis sebagian Wilayah Sumatera Barat). Ini adalah karya kolosal geologi dan minerologi Sumbar di abad 19. Memang ada sejumlah tulisan lain tentang Marapi semisal dari van Schelle, Faber, Jan Freerk Hoekstra, Th. F. A Delprat dan P. Th. Juste Sen, tapi tiga tulisan tersebut cukup representatif dari aspek kajian perdana dan rangkuman penelitian sebelumnya.

Latar Ilmuwan Sumber

Salomon Müller (1804-1863) merupakan naturalis berkebangsaan Jerman. Dia menjadi anggota Natuurkundige Commissie voor Nederlands-Indië (Komisi Ilmu Pengetahuan Hindia Belanda) sejak 1825, dengan spesifikasi ornitologi (ilmu tentang burung) dan taksidermi (ilmu pengawetan spesimen). Namun, pengetahuan luas dalam beragam cabang ilmu sains alam (geologi, geografi, biologi dan fisika) dan bahkan sejarah, antropologi dan bahasa menjadi ciri khas kebanyakan naturalis Eropa abad 19. Penelitiannya di Hindia Belanda mulai dari Papua Nugini, Timor, Sumatera hingga Kalimantan. Dialah pembuat peta kota misterius Saranjana di Kalimantan Selatan. Hasil spesimen yang dikumpulkannya untuk Museum Leiden di bidang ornitologi saja mencakup 6.500 kulit burung, 700 rangka, 150 sarang dan 410 butir telur. Müller juga barangkali ilmuwan pertama yang memverifikasi potensi emas di pedalaman Sumatera Barat secara langsung.

Pieter Willem Korthals (1807-1892) adalah seorang ahli botani Belanda. Dia menemukan dan memberi nama latin sejumlah spesies tanaman, di antaranya 3 jenis kantong semar (Nepenthes). Naturalis ini juga melakukan survey pembuatan jalan di Lembah Anai atas instruksi Van den Bosch tahun 1833. Seperti Müller, dia juga anggota Natuurkundige Commissie. Baik Müller maupun Korthals, bersama seorang ambtenaar Belanda van den Berg, boleh dikatakan bangsa Eropa pertama yang naik ke puncak Marapi (pada 1834) dan melakukan observasi enam hari di atas sana.

Bagikan

Opini lainnya
Terkini