Difusi Inovasi dalam Komunikasi Pembangunan di Era Digital, Tantangan atau Kekuatan?

Foto Nofri Andeska Putra
×

Difusi Inovasi dalam Komunikasi Pembangunan di Era Digital, Tantangan atau Kekuatan?

Bagikan opini

Di era digital yang serba cepat ini, dunia seakan tidak pernah berhenti berputar. Inovasi bermunculan bagaikan jamur di musim hujan, membawa perubahan yang signifikan dalam berbagai aspek kehidupan kita. Namun, pertanyaannya adalah, seberapa cepat inovasi-inovasi dapat diadopsi dan dimanfaatkan secara luas? Inilah di mana teori difusi inovasi yang dikemukakan oleh Everett M. Rogers menjadi sangat relevan.

Rogers menjelaskan bahwa difusi inovasi adalah proses di mana suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu dalam jangka waktu tertentu di antara anggota suatu sistem sosial (Rogers, 1962). Dalam konteks masyarakat modern yang semakin terhubung secara digital, proses difusi ini menjadi semakin kompleks dan dinamis. Kita tidak hanya dihadapkan pada inovasi teknologi semata, tetapi juga inovasi dalam bidang sosial, ekonomi, dan lingkungan yang semuanya berperan penting dalam pembangunan yang berkelanjutan.

Salah satu fenomena yang menarik perhatian saat ini adalah akselerasi difusi inovasi di era digital. Dengan kehadiran media sosial, platform online dan jaringan komunikasi yang semakin luas, penyebaran informasi tentang inovasi baru menjadi lebih cepat dan massif. Namun, apakah berarti adopsi inovasi juga menjadi lebih cepat? Tidak selalu demikian.

Penelitian yang dilakukan oleh Van den Bulte dan Lilien (2001) dalam bidang medis menunjukkan bahwa adopsi inovasi tidak hanya dipengaruhi oleh upaya pemasaran, tetapi juga oleh pengaruh sosial dan jaringan komunikasi di antara para profesional medis. Meskipun informasi tentang inovasi baru dapat menyebar dengan cepat melalui saluran digital, proses adopsi masih bergantung pada faktor-faktor seperti kepercayaan, kredibilitas sumber informasi, dan dinamika sosial dalam suatu komunitas.

Sebagai contoh, kita dapat melihat fenomena penyebaran informasi terkait COVID-19 dan vaksin selama pandemi. Informasi terkait vaksin COVID-19 menyebar dengan cepat melalui media sosial dan platform online, namun adopsi vaksinasi itu sendiri menghadapi tantangan berupa keraguan, ketakutan, dan misinformasi yang juga menyebar dengan cepat. Dalam kasus ini, difusi inovasi (vaksin) tidak hanya bergantung pada ketersediaan informasi, tetapi juga pada upaya untuk membangun kepercayaan dan mengatasi hambatan sosial-budaya dalam proses adopsi.

Fenomena serupa juga terlihat dalam upaya untuk mengadopsi teknologi ramah lingkungan dan praktik-praktik berkelanjutan. Meskipun informasi tentang inovasi seperti energi terbarukan, pertanian organik, atau sistem daur ulang tersedia dengan mudah di era digital, proses adopsi masih terkendala oleh faktor-faktor seperti biaya, hambatan regulasi, dan resistensi terhadap perubahan.

Dalam konteks ini, kita perlu memahami bahwa difusi inovasi bukan hanya tentang penyebaran informasi, tetapi juga tentang membangun lingkungan yang kondusif untuk adopsi. Rogers (2003) mengidentifikasi lima karakteristik inovasi yang mempengaruhi tingkat adopsi: keunggulan relatif, kompatibilitas, kompleksitas, kemampuan untuk dicoba, dan kemampuan untuk diamati. Semakin besar keunggulan relatif dan kompatibilitas suatu inovasi, serta semakin rendah tingkat kompleksitasnya, maka semakin besar kemungkinan inovasi tersebut untuk diadopsi dengan cepat.

Dalam era digital, kita memiliki kesempatan untuk memanfaatkan saluran komunikasi yang luas dan beragam untuk mempromosikan dan memfasilitasi adopsi inovasi. Misalnya, platform media sosial dapat digunakan untuk menyebarluaskan informasi tentang manfaat dan keunggulan suatu inovasi, sementara komunitas online dapat membantu membangun kepercayaan dan dukungan sosial dalam proses adopsi. Namun, upaya ini harus dilakukan dengan strategi yang tepat dan mempertimbangkan karakteristik inovasi serta dinamika sosial-budaya dalam suatu komunitas.

Selain itu, kita juga perlu memperhatikan potensi penyebaran inovasi yang merugikan atau bahkan berbahaya di era digital. Penyebaran informasi palsu, hoaks, dan konten negatif lainnya dapat dianggap sebagai difusi "inovasi" yang tidak diinginkan dan dapat membahayakan masyarakat. Dalam kasus seperti ini, pemahaman tentang proses difusi justru dapat membantu kita dalam merancang strategi untuk mencegah penyebaran informasi yang merugikan tersebut, misalnya melalui edukasi digital, regulasi yang tepat, dan peningkatan literasi media.

Dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan, percepatan difusi inovasi di era digital menjadi sangat penting. Kita dihadapkan pada tantangan global seperti perubahan iklim, kemiskinan, dan ketimpangan sosial yang membutuhkan solusi inovatif dan cepat. Adopsi inovasi dalam bidang energi terbarukan, pertanian berkelanjutan, teknologi ramah lingkungan, dan praktik-praktik sosial yang inklusif menjadi kunci untuk mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan. Namun, seperti yang telah dibahas sebelumnya, proses difusi inovasi bukan hanya tentang penyebaran informasi, tetapi juga tentang membangun lingkungan yang kondusif untuk adopsi. Kita perlu memahami karakteristik inovasi yang ingin disebarluaskan, menggunakan saluran komunikasi yang tepat, dan mempertimbangkan dinamika sosial-budaya dalam suatu komunitas.

Bagikan

Opini lainnya
Ganefri
Terkini