Rais Yatim dan Kaba Cindue Mato

Foto Dirwan Ahmad Darwis
×

Rais Yatim dan Kaba Cindue Mato

Bagikan opini

Oleh Dirwan Ahmad Darwis Kaba Cindue Mato adalah cerita rakyat (folklore) yang merupakan salah satu karya sastra dalam kesusastraan Minangkabau lama. Kesusastraan adalah ilmu atau pengetahuan tentang segala hal yang bertalian dengan susastra, yaitu karya sastra yang isi dan bentuknya sangat bermakna, berupa ungkapan pengalaman jiwa manusia yang ditimba dari kehidupan. Kemudian direka dan disusun dengan bahasa yang penuh arti sebagai sarana, sehingga mencapai syarat estetika (keindahan berbau seni) yang tinggi.

Cerita rakyat adalah cerita yang diwariskan secara turun-temurun, tersebar dari mulut ke mulut, dan bersifat anonim (tidak diketahui sumber dan siapa pengarangnya). Jadi, cerita rakyat bukanlah milik pribadi, melainkan milik masyarakat. Dari sudut pandang pendidikan, cerita rakyat bermanfaat bagi pengembangan kognitif (segala kegiatan mental yang saling berhubungan antara pandangan, pikiran, ingatan, dan pengolahan informasi). Cerita rakyat juga bermanfaat untuk pengembangan moral, bahasa, dan sosial. Dengan demikian, cerita rakyat dapat menjadi alternatif bacaan yang baik untuk anak-anak. Para orang tua dapat memilih cerita yang sesuai untuk dibaca oleh anak-anak mereka (Anafiah, 2015).Sementara itu mengenai “kaba”, dari beberapa sumber tertulis, kata “kaba’ diartikan sebagai cerita karangan atau khayalan (fiksi). Namun khusus terkait Kaba Cindue Mato (KCM), ada dua pendapat yang berbeda. Sebahagian orang Minangkabau menilai KCM itu hanya lah sebuah cerita khayalan saja, tapi bagi sebahagian lagi KCM itu adalah cerita benar. Hal itu dapat dibuktikan dengan adanya kuburan fisik tokoh-tokoh utama yang ada dalam KCM tersebut di belakang rumah Mandeh Rubiah (yang dipercayai keturunan Bundo Kanduang) di daerah Lunang Silaut, Pesisir Selatan. Di sana kita dapat menemukan kuburan Bundo Kanduang, Dang Tuangku, Puti Bungsu serta Cindue Mato.

Keberadaan dan Hilangnya “Kaba” di MinangkabauPada zaman dulu ketika penulis masih kecil, banyak sekali cerita-cerita rakyat ini yang menjadi buah bibir dalam masyarakat, semisal; Kaba Malin Deman, Kaba Magek Manandin, Rambun Pamenan, Anggun Nan Tongga, Angku Kapalo Sitalang, Sutan Lembak Tuah, Sabai Nan Aluih, Siti Baheram, Siti Kalasun, Rancak di Labuah dan beberapa lagi. Kala itu, pengaruh karya-karya sastra ini mampu membuat seseorang anak memiliki wawasan kemasyarakatan, memahami sosio-budayanya. Karya sastra bahkan mampu merubah watak keras seseorang menjadi lembut dan penyayang, serta berjiwa kepahlawanan, dan lain-lain. Ini karena kebanyakan cerita-cerita atau karya-karya sastra tersebut mampu menuntun pembacanya ke arah pembentukan sikap dan perilaku kehidupan yang lebih baik.

Namun karena berbagai pengaruh perkembangan zaman, hari ini banyak kalangan generasi muda Minangkabau yang tidak lagi mengenal cerita-cerita rakyat ini, yang secara harfiahnya merupakan wadah atau media pendidikan. Mungkin sebab itulah agaknya sekarang banyak didapati anak-anak yang kurang bersopan santun, kurang peduli terhadap lingkungan, punya sikap dan perilaku kurang terpuji. Bukan hanya anak-anak saja, malah para ibu bapa kelahiran 80an ke atas banyak yang sudah kehilangan ciri kepribadian Minangkabau. Ini artinya, kita sudah kehilangan salah satu sarana pendidikan, karena kita tidak mampu melihat sisi-sisi baik dalam suatu karya sastra. Hingga akhirnya cenderung meminggirkan dan tidak mempedulikannya, apalagi di zaman yang serba modern ini.Namun di antara beberapa karya “kaba” tersebut, Kaba Cindue Mato (KCM) yang berkisah tentang suatu peristiwa yang terjadi dalam keluarga Kerajaan Pagaruyung, merupakan cerita yang sangat tersohor di kalangan masyarakat Minangkabau zaman dulu. Menurut Rais Yatim (2017), dari KCM ini kita dapat mempelajari tentang berbagai hal, seperti: kepahlawanan dan kesetiaan, tentang kejujuran, cinta dan kasih sayang, pengorbanan, ketinggian ilmu,  kearifan dan kebijaksanaan, dan banyak lagi pelajaran yang menyimpulkan, bahwa kebatilan akan selalu kalah oleh kebenaran.

Tulisan/artikel ini membahas mengenai buku terbaru tentang KCM yang ditulis dan diterbitkan kembali oleh Rais Yatim, 82 tahun (lahir 15/4/1942). Diterbitkan bukan untuk tujuan uang, tetapi sebagai wujud perhatian, rasa cinta dan kepedulian seorang anak rantau terhadap Minangkabau, tanah leluhurnya.Seorang Pencinta Minangkabau

 Tan Sri Dato’ Seri Utama Dr Rais Yatim adalah seorang putra Minangkabau generasi pertama yang lahir dan dibesarkan di Daerah Jelebu, Negeri Sembilan. Ia berasal-usul dari Nagari Palupuah, Luhak Agam, Ranah Minangkabau, Sumatera Barat. Seorang pakar dan praktisi hukum (pengacara), tokoh budaya, sejarawan dan juga seorang penulis yang prolifik. Sudah hampir 20 judul buku ditulisnya dalam bahasa Melayu dan Inggris. Namun masyarakat lebih mengenalnya sebagai tokoh dan begawan politik yang sudah malang melintang dalam percaturan politik Malaysia selama hampir 50 tahun. Rais Yatim tercatat pernah menduduki jabatan sebagai Menteri Kabinet Malaysia sebanyak tujuh kali di berbagai Kementerian. Satu kali sebagai Penasihat Sosio Budaya Kerajaan Malaysia setara Menteri, dan terakhir sebagai Presiden Senat (Dewan Negara) Malaysia. Jabatan terakhir ini baru saja berakhir beberapa bulan menjelang penghujung tahun 2023 kemarin.

Kendatipun lahir dan besar di Malaysia, namun Rais mengaku dibesarkan dalam lingkungan keluarga dan persekitaran kehidupan yang sangat kental dengan adat budaya Minangkabau, bersama dengan orang-orang asal Palupuah lainnya di Jelebu. Karena dibentuk oleh lingkungan yang sedemikian rupa, membuatnya sangat mencintai dan bangga menjadi orang Minangkabau. Ia menguasai adat istiadat dan berbagai ilmu Minangkabau, termasuk petatah petitih, pantun dan gurindam, serta berbagai cerita rakyat.Melihat kepada sejarah kehidupannya, sebagai seorang tokoh dan mantan pejabat tinggi negara yang dikenal luas dalam masyarakat,  Rais Yatim adalah kombinasi produk masa lalu yang kini hidup di alam modern. Namun, disebabkan pengetahuan dan pemahamannya yang mumpuni dalam sejarah dan sosio-budaya, membuatnya tidak kehilangan jati diri budaya sebagai seorang Melayu Minangkabau. Hal itu sering terlihat dari cara ia menampilkan diri, baik dari sikap, dari cara berbicara dan lainnya. Melihat semakin sepinya tokoh-tokoh Melayu termasuk di Minangkabau yang bicara tentang pentingnya membaca sejarah, mempertahankan budaya dan bahasa, Rais Yatim bagaikan “oasis” di tengah kegersangan alam dunia Melayu dalam hal ini.

Wujud kecintaan Rais Yatim kepada Minangkabau dapat dilihat dari sejumlah karya-karyanya. Tahun 2015, ia menulis buku “Adat, the Legacy of Minangkabau”. Buku tebal 493 halaman itu dikirimnya ke hampir 900 universitas terkemuka di dunia. Kepada penulis ia mengatakan “iko caro awak manaiekkan Minangkabau (ini cara kita mengangkat harkat Minangkabau) ke persada dunia”. Sebelum itu, ia juga menulis buku “The Hierarchy of Adat Perpatih”, lalu buku “Jelebak-Jelebu, Corat Coret Anak Kampung” sebagai auto-biografinya, juga ada buku “Pantun dan Bahasa Indah” yang banyak mengacu kepada Minangkabau, serta beberapa buku lainnya.Rumah Gadang Budi Jombang di Kampung Gagu

Beberapa tahun belakangan ini, Tan Sri rais juga membangun sebuah kawasan lapang bernuansa budaya Minangkabau di Kg. Gagu, yakni tanah tempat kelahirannya di Daerah Jelebu, Negeri Sembilan. Ia membeli dan memindahkan sebuah Rumah Gadang Minangkabau warisan sejarah masa lalu dari Kompleks Kerajaan Negeri Sembilan ke kawasan tersebut. Kini rumah gadang bagonjong Minangkabau itu tampak berdiri kokoh dan megah, yang disebutnya sebagai Rumah Gadang Budi Jombang. Bukan itu saja yang bergonjong, dua buah rumah megah kediamannya di Kuala Lumpur dan di Jelebu juga beratap gonjong Minangkabau. Itulah bukti wujud kecintaan seorang Rais Yatim terhadap Minangkabau. Pada sudut-sudut tertentu di kawasan Rumah Gadang Budi Jombang ini juga didirikannya ornamen atau patung-patung binatang yang erat hubungannya dengan KCM. Di sana ada Kudo Sigumarang, Ayam Sikinantan, juga ada Kabau Sibinuang.Rais Yatim dan Semangat Cindue Mato

Terbaru, Tan Sri Rais menerbitkan buku berjudul CINDUE MATO: DIKABAKAN SAMULO OLEH RAIS YATIM. Paparan dalam salinan KCM terbaru ini tidak ada yang berubah sesuai cerita aslinya. Namun buku ini jadi menarik disebabkan Rais juga turut memuat sudut pandang orang-orang Minangkabau di Negeri Sembilan tentang cerita rakyat tersebut. Ternyata zaman dulu KCM itu juga populer di daerah-daerah seperti di Kampung Gagu Jelebu, Langgiang, Baranang, Ulu Yam, Sungai Serai Ulu Langat, Lubuak Kalubi dan lain-lain (Rais Yatim, 2024).Selain cerita Kaba Cindue Mato itu sendiri, hal-hal lain yang menarik dalam buku ini, yang jarang diketahui oleh masyarakat zaman sekarang, adalah tentang sejarah Minangkabau sebelum Islam. Dalam perspektif kajian ilmiah, menurut Rais KCM tidak hanya sebuah cerita, tetapi karya sastra tersebut telah menyisakan berbagai pertanyaan sejarah dan budaya. Salah satunya, apakah kehadiran institusi Bundo Kanduang itu setelah zaman Datuak Parpatiah Nan Sabatang dan Datuak Katumangguangan, atau sebelum itu lagi? Karena kedua Datuak tersebut dianggap sebagai penerus adat budaya Melayu selain Wan Empuk Wan Malini yang kawin dengan tiga orang Putra Maharaja Zulkarnain. Karena dunia Melayu zaman silam juga terkait dengan pemerintahan Demang Lebar Daun di Palembang.

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Ganefri
Terkini