Rukhsah Ramadan 

Foto Nurasiah ahmad
×

Rukhsah Ramadan 

Bagikan opini

Oleh Nurasiah ahmadAlumnus MTI Candung/ Dosen STIT Syekh Burhanuddin Pariaman/ Jama’ah PERTI

 Ibadah Puasa di bulan Ramadhan merupakan salah satu kewajiban bagiummat Islam yang telah memenuhi persyaratan untuk berpuasa sebagaimanafirman Allah Swt dalam QS. al-Baqarah/2: 183.َ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. Dalam melaksanakan puasa, setiap muslim dituntut untuk memahami ketentuan berpuasa sesuai tuntunan ajaran Islam. Hal itu bertujuan agar puasa yang dilaksanakan diterima Allah Swt. Kenyataan yang tidak dapat dielakkan, masih terdapat beberapa kekeliruan praktik berpuasa di luar tuntunan agama. Seperti memperlonggar kewajiban berpuasa yang menyimpang dari tuntunan syar’i. Bahkan terdapat juga keengganan untuk mengganti puasadengan dalih ajaran Islam tidak memberatkan ummatnya, dengan anggapan Islam memberikan toleransi melalui ajaran rukhṣah, tentunya hal itu adalah pemahaman yang keliru.

Rukhsah dipahami sebagai keringan yang diberikan Allah Swt kepada mukallaf (orang yang memenuhi syarat melaksanakan tuntutan agama)ketika dalam situasi darurat(menghindari kesulitan). Sehingga rukhṣahhanya dapat digunakan pada situasi yang sangat dibutuhkan sekaligus menghindari “tatabbu’ rukhaṣ” (mencari kemudahan dan lari dari perintah dan larangan agama). Diantara keringanan yang dimaksud dalam ibadah puasa adalahkeringanan untuk tidak berpuasa pada waktu yang telah ditentukan dengan konsekuensi mengganti puasa pada hari yang lain. Secara garis besar, terdapat dua cara penggantian kewajiban puasa di bulan Ramadhan, yaitu Pertama berpuasa pada hari yang lain di luar bulan Ramadhan sebanding dengan jumlah hari yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan (qaḍā). Kedua membayar fidyahbagi orang yang sama sekali tidak mampu melaksanakan qaḍā.Adapun orang yang yang berhak mendapatkan rukhṣahuntuk tidak berpuasa tersebut antara lain. Pertama, orang sakit. Tidak berlaku bagi yang sakit ringan, dimana sakit yang dideritanya tidak bertambah parah. Namun jika kondisi sebaliknya orang tersebut dianjurkan tidak berpuasa, Bahkan makruhhukumnya jikatetap berpuasa. Lebih dari itu, jika sakitnya justru berujung kematian karena berpuasa, maka haram baginya berpuasa. Allah Swt memperingatkan hal ini dalam QS. an-Nisa’: 29“Dan janganlah kamu membunuh dirimu”. Para ulama sepakat jika penyakit yang diderita orang tersebut sembuh, wajib untuknyamengqada’ pada bulan yang lain sebelum datangRamadhan berikutnya. Ketentuan ini digariskan Allah dalam QS. al-Baqarah/2: 185 “Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain”. Kedua,rukhsah mengqadha puasa bagi musafir yang melakukanperjalanan dengan jarak tempuh 16 farsakh(86 Km), sebagaimana telah dijelaskan Allah Swt dalam QS. al-Baqarah/2: 185.Ketiga, perempuan yang sedang haid dan nifas. Ulama sepakat, bagi perempuan yang sedang haid dan nifas, haram berpuasa baginya. Namun ia harus menggantinya pada hari yang lain. Hal ini dapat disandarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah R.A.,yang berbunyi “Kami haidh di zaman Rasulullah, maka kami golongan yang mendapatkan rukhshah. wanita yang haid dan nifas diperintahkan untuk mengganti puasa dan tidak diperintahkan untuk mengganti shalat”.

Keempat, orang tua renta dalam keadaan lemah dan orang sakit yang tidak dapat diharapkan kesembuhannya.Para ulama sepakat bahwa orang tua yang tidak sanggup berpuasaboleh tidak berpuasa dan tidak mengqaḍā’. Mayoritas ulama mewajibkan wajib fidyahyaitu memberi makan satu orang miskin setiap hari yang ditinggalkan. Hal ini dijelaskan Allah Swt dalam Q.S Baqarah/2: 184. “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu)memberi makan seorang miskin.”Ibnu Abbas menjelaskan ayat ini dimaksudkan bagi orang tua yang benar-benar tidak mampu berpuasa, hendaknya memberi makan satu orang miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan. Begitu pula orang sakit yang tidak kunjung sembuh dan tidak ada harapan untuk sembuh, disamakan dengan orang tua renta yang tidak mampu melakukan puasa, artinya ia juga diharuskan membayar fidyah.Kelima, wanita hamil dan menyusui. Al-Jaṣṣāṣ dalam bukunya Aḥkām al-Qur’an menjelaskan bahwa wanita hamil dan menyusui dibagi menjadi dua keadaan. Pertama, wanita hamil dan menyusui wajib berpuasa jika wanita tersebut sehat, kuat, tidak ditimpa kesulitan, dan tidak berdampak buruk bagi anaknya. Kedua, kondisi fisik wanita hamil dan menyusui yang tidak prima atau tidak memungkinkan untuk berpuasa, walaupun sudah disiasati mengatur pola nutrisinya, namun tetap memberikan mudharat jika ia berpuasa, dalam ketentuan ini ia dianjurkan tidak berpuasa. Mayoritas ulama berpendapat bahwa konsekuensi hukum bagi perempuan ini ada dua. Pertama, wanita hamil dan menyusui wajib untuk mengqaḍā’ saja. Dalil yang digunakan adalah sama dengan kondisi pertama yaitu golongan yang mendapatkan rukhsah.

Kedua, wanita hamil dan menyusui wajib membayar fidyah. Dasar hukumnya antara lain: 1) Riwayat dari Ibnu ‘Abbas RA, yang mengatakan “Wanita hamil atau menyusui dalam keadaan keduanya takut terhadap anaknya boleh bagi keduanya tidak berpuasa dan wajib membayar fidyah. 2) Riwayat dari Nafi’ Mawlā Ibnu Umar RA, yang mengatakan “Ibnu umar memiliki putri yang dipersunting oleh seorang Quraysy, ia sedang hamil dan suatu ketika ia merasa kehausan yang sangat dibulan Ramadhan, maka ia pun diperintahkan oleh Ibnu Umar untuk berbuka dan memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya. Adapun dalil al-Qur’an adalah QS. al-Baqarah/2:184 “Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah (yaitu) memberi makan satu orang miskin.Ketiga, wanita hamil dan menyusui wajib untuk mengqaḍa’ disertai membayar fidyah. Dalil yang digunakan sebagai dasar hukumnya untuk kewajiban perempuan mengqaḍa’ adalah sama seperti dalil pada kondisi pertama dan kedua, yaitu kewajiban bagi orang yang tidak berpuasa untuk mengqaḍa’ dihari lain ketika ia telah mampu berpuasa. Para ulama berpendapat tetap wajib mengqaḍā’ puasa karena tidak ada alasan syar’iyang menggugurkan kewajiban mengqaḍa’ bagi orang yang mampu mengerjakannya.

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini