Ramadan, Bulan Makan Enak

Foto Nuzul Iskandar
×

Ramadan, Bulan Makan Enak

Bagikan opini

Oleh Nuzul Iskandar(Alumnus MTI Canduang, Dosen Fakultas Syariah IAIN Kerinci)

Makan lamak (makan enak), sebuah aktivitas yang memberikan kepuasan personal sekaligus kebanggan kultural bagi orang Minangkabau. Salah satu ikon makan lamak di Minang, rendang, telah dinobatkan sebagai makanan terenak di dunia, dan rendang itu tentu bukan hanya urusan makanan, tapi juga wawasan dan identitas budaya yang diwariskan turun-temurun.Tentu bukan hanya bagi orang Minang. Seluruh makhluk hidup butuh makan, dan makan enak adalah kesenangan purba yang tak tergantikan bagi manusia, apapun suku dan bangsanya. Makan enak kemudian bukan hanya menjadi aktivitas pemenuhan kebutuhan dasar, tapi merambat pada urusan budaya, ekonomi, bahkan politik. Presiden Soekarno, misalnya, menggunakan kuliner-kuliner enak Nusantara sebagai alat diplomasi politik pada masanya, dan ditiru oleh generasi setelahnya.

Nah, Ramadan adalah momen yang tepat untuk membincang perihal makan enak, tepatnya tentang konsep makan enak yang ditawarkan Islam. Betul bahwa Ramadan adalah bulan puasa. Namun, dalam Islam, puasa itu bukan hanya soal “tidak makan”, tapi lebih jauh tentang bagaimana cara terbaik bagi tubuh berinteraksi dengan makanan.Ada dua cara untuk merasakan makan enak. Pertama, naikkan level cita rasa (termasuk varian) makanan dari yang biasa dimakan. Kedua, turunkan standar perut yang akan menerima makanan. Islam, melalui puasa Ramadan, menawarkan cara yang kedua.

Menurut cara yang pertama, jika ingin makan enak, maka carilah makanan-makanan yang tak biasa kita makan sehari-hari. Bisa berupa makanan yang cita rasanya lebih kuat, aroma yang lebih menggugah, pengolahan yang berbeda, penyajian yang unik, komposisi yang lebih bervariasi, bahkan harga yang lebih mahal. Para penggila makan enak kemudian memperkenalkan istilah baru: eksplorasi kuliner. Bahkan, kemudian muncul hobi baru yang orientasinya tidak hanya untuk menikmati berbagai varian makan enak, tapi juga memamerkannya di media sosial, yaitu food traveler (penjelajah makanan).Cara kedua menawarkan, untuk makan enak, kita tidak perlu menjelajah berbagai makanan unik, elit, dan tak biasa itu, yang bahkan ongkosnya jauh lebih tinggi ketimbang harga makanannya, tapi cukup dengan mengosongkan perut selama beberapa jam, maka nanti setelah waktunya tiba, makanan biasa akan terasa lebih nikmat, memuaskan, dan menyenangkan. Cara itu disebut dengan: puasa.

Saat lapar, organ tubuh tertentu akan memproduksi hormon ghrelin yang bertugas merangsang nafsu makan, sekaligus hormone insulin yang bertugas mengontrol kadar gula dalam darah. Dengan pengaruh kedua hormone itu, sensitivitas rasa di lidah akan lebih meningkat, sehingga jenis makanan yang biasa dimakan akan terasa lebih mengenyangkan dan menyenangkan saat berbuka. Bahkan, puasa juga memicu hormone endorfin, yaitu hormone yang berfungsi meningkatkan mood (suasana hati), mengurangi perasaan tegang, emosi, bingung, tertekan, dan sejenisnya. Endorfin adalah hormone yang bertugas memperbaiki dan meningkatkan kesehatan mental, sehingga disebut juga sebagai hormone kebahagiaan.Oleh karenanya, jika lapar saat puasa bisa “dinikmati”, maka berbuka dengan makanan biasa tidak hanya akan lebih mengenyangkan dan menyenangkan ketimbang biasanya, tetapi juga akan lebih membahagiakan. Dalam konteks tertentu, berbuka puasa juga akan memicu perbaikan hubungan sosial dan meningkatkan rasa kebersamaan, misalnya ketika ada shalawatan dan doa bersama sebelum berbuka dalam tradisi masyarakat tertentu; atau sekadar berbuka bersama.

Sementara itu, cara pertama, selain tidak ada tawaran konsepnya dalam Islam, juga berpotensi tergolong sebagai perilaku yang mesti dijauhi, yaitu sikap berlebih-lebihan dan mubazir (konsumtif). “Kulu wasyrabu wala tusrifu” (makan dan minumlah, tapi jangan berlebih-lebihan),” firman Allah dalam surat al-A’raf ayat 31; “inna al-mubadzzirina kanu ikhwanuhu al-syayathin” (sesungguhnya mubazir itu adalah saudara setan), pesan surat al-Isra’ ayat 27.Betapa air putih biasa terasa lebih menyegarkan saat berbuka puasa, bukan? Bahkan, sekadar melihat kejernihan air putih di dalam botol pada siang hari sudah jadi suatu kebahagiaan tersendiri bagi mereka yang sedang berpuasa. Maka sesungguhnya, tingkat kepuasan orang yang berpuasa itu sebatas air putih.

Namun kemudian, gaya hidup menuntut lebih dari itu, sehingga budaya konsumtif di bulan Ramadan semakin menjadi-jadi, entah itu terhadap makanan, entah pakaian, atau konsumsi BBM untuk sepeda motor dengan alasan sekadar raun sore atau diistilahkan ngabuburit itu. Belum lagi biaya beli pulsa dan kuota internet untuk bermain game online atas nama palengah puaso. Tidak ketinggalan uang untuk beli petasan dengan berbagai jenisnya, plus biaya pengobatannya jika memicu insiden. Wajar kiranya jika inflasi selalu terjadi setiap bulan Ramadan hingga selesai Idul Fitri.Para produsen besar pun membaca fenomena ini sebagai peluang strategis untuk memasarkan produk-produk mereka, tidak ketinggalan diskon demi diskon ditawarkan jor-joran. Narasi iklan-iklan produk lantas berubah. Mulai dari sirup, biskuit, kecap, minuman kaleng, hingga obat sariawan mencantumkan narasi “hangatnya Ramadan”, “sucikan hati”, “bersihkan jiwa”, “tingkatkan iman dan taqwa”, dan sejenisnya dalam iklan-iklan mereka. Padahal, sebagian besar produk-produk itu tidak ada sangkut-pautnya dengan bulan Ramadan. Belum tentu juga mereka peduli dengan ibadah puasa yang dijalani umat Islam. Tapi tentunya, pesan yang mereka sampaikan melalui iklan-iklan itu jelas: belilah produk kami sebanyak-banyaknya, walau tak termakan, beli jugalah! Haha…

Di sinilah pentingnya cara pandang tentang makan enak yang ditawarkan Islam via puasa Ramadan. Cara makan enak bukanlah dengan menaikkan standar makanan, tapi menurunkan standar perut. Semua jenis makanan dengan berbagai varian bentuk dan rasa itu tidak akan pernah memuaskan selagi standar selera kita juga selalu naik, alih-alih diturunkan. Karena itu, belilah secukupnya, belanjalah seperlunya! Ada sisanya? Tabung atau sedekahkan, terutama untuk keperluan pendidikan!Puasa Ramadan adalah edukasi pengendalian diri, termasuk mengendalikan standar makan dan standar hidup. Pengalaman dari latihan ini dapat ditularkan pada berbagai masalah kehidupan yang sekiranya berawal dari materi. Jika untuk bisa makan enak adalah dengan menurunkan standar selera, maka untuk bisa kaya adalah dengan menurunkan standar kebutuhan materi, dan seterusnya.

Puasa Ramadan juga mengajarkan, yang bisa kita peroleh hanyalah apa yang bisa kita kendalikan. Sebagai konsumen, kita tidak bisa mengendalikan produksi secara langsung, tapi kita bisa mengendalikan diri untuk bijak memilih produk mana yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan, dan cara pandang itu relevan dengan ilmu manajemen modern.Jadi, dima tampek babuko nan lamak tu, Sanak?

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini