Rasionalitas Islam dan Puasa; Apa yang Dikatakan Imam Al-Ghazali?

Foto Muhammad Sholihin
×

Rasionalitas Islam dan Puasa; Apa yang Dikatakan Imam Al-Ghazali?

Bagikan opini

Oleh Muhammad SholihinAlumnus MTI Canduang dan Dosen IAIN Curup, Rejang Lebong

Islam tidak hanya merubah wajah sistem keimanan, tetapi juga mereformasi perekonomian dunia, dan sekaligus diharapkan merubah wajah aktor ekonomi dan sistem perilakunya. Islam menawarkan satu sistem, yang disebut dengan ekonomi Islam, dimana ini bertujuan menawarkan paradigma baru dalam ekonomi, tidak hanya sebagai ilmu, melainkan sebagai sebuah sistem, dan rasionalitas juga dihadirkan sebagai respon terhadap rasionalitas agen ekonomi, yang melekat pada homo economicus.Salah satu artikel menarik yang mengelaborasi topik ini adalah “Islamic rationality of Muslim consumers: new insight from text analytics and Al-Ghazali’s Thought”. Artikel ini diterbitkan oleh Journal of Islamic Accounting and Business Research, Tahun 2023, pada Publisher Emerald. Artikel ini mengurai bagaimana rasionalitas agen ekonomi Islam, yang kemudian diistilahkan dengan rasionalitas Islami, merespon rasionalitas homo economicus, dan apa bangunan rasionalitas tersebut yang menjadi pembeda dengan rasionalitas pada umumnya dipahami dalam tradisi ekonomi neo-klasik. Tentu artikel ini harus dikontekstualisasikan dengan puasa Ramadhan sebagai ruang, dimana rasionalitas Islam itu diuji.

Rasionalitas Islami vis a vis Rasionalitas EkonomiRumusan rasionalitas Islam sengaja diperkenalkan sebagai upaya merespon rasionalitas homo economicus, yang diasumsikan bahkan mencapai level kepercayaan bahwa rasionalitas dalam bentuk terakhir tidak merepresentasikan sistem nilai, iman, dan moralitas yang dianut oleh seorang Muslim. Rasionalitas ekonomi homo islamicus dimaknai sebagai rasionalitas yang terlalu berorientasi pada diri, dan akumulasi keuntungan individual semata. Rasionalitas semacam dinilai telah berkontribusi pada degradasi umat—terlalu mengutamakan akumulasi kepentingan, kapital, dan profitabilitas. Tentu disayangkan, karena umat Islam justru hanya menjadi bahan bakar dari ideologi kapitalisme. Memastikan ideologi ini terus tumbuh, dan mendapatkan energi baru dari aktivitas ekonomi, yang mereka lakoni.

Umat Islam berhasil menjadi aktor ekonomi di berbagai lapisan, dan sektor ekonomi, tetapi justru tidak membawa nilai, moralitas, dan worldview Islam dalam setiap keputusan dan pilihan ekonomi yang dibuat. Bukan tidak ada resiko. Justru rasionalitas semacam ini, jika terlalu sering ditampilkan dan dominasi dihayati, maka Islam tidak lagi menjadi sumber pencerahan di atas perilaku ekonomi, melainkan umat Islam menjadi salah pencemar paling akut dari perilaku depostik ekonomi. Mereka hanya melayani hasrat dan syahwat kapitalisme, serta mengabaikan misi tauhid sebagai hamba, dan misi sosial mereka sebagai umat.Merespon itu, maka rasionalitas Islam ditawarkan untuk menggantikan rasionalitas ekonomi homo economicus. Tawaran ini bukan tanpa alasan, dan mengabaikan landasan ontologi, yang mampu menjadi justifikasi bahwa rasionalitas Islam hingga absah dan harusnya legitimated untuk dilekatkan pada agen ekonomi Islam, atau disebut dengan Muslim. Lantas, apa yang dimaksud dengan rasionalitas Islam tersebut? Apapula, yang membuatnya bertentangan dan berseberangan dengan rasionalitas ekonomi? Secara umum, rasionalitas islam merujuk pada tipe kalkulasi perilaku dan pilihan ekonomi yang didasarkan pada pertimbangan iman, moralitas, dan etis. Kalkulasi ini berorientasi lebih tinggi dari diri, dan individu. Bahkan kalkulasi ini dapat diartikan sebagai kalkulasi transendental, yang melibatkan Tuhan dalam setiap pilihan dan perilaku ekonomi. Implikasi kalkulasi perilaku dan pilihan ekonomi semacam ini, tentu dapat dilihat dari aspek kebermanfaatan, atau aksiologi dari perilaku ekonomi.

Rasionalitas islam menempatkan bahwa masyarakat menjadi penerima manfaat lebih dari setiap perilaku, dan pilihan ekonomi yang diambil dan diputuskan oleh setiap Muslim.Ilustrasi paling sederhana: agen ekonomi Muslim mengejar profitabilitas, tetapi secara bersamaan ia harus ingat ada hak orang lain yang harus dibayarkan dalam bentuk zakat, dan sedekah. Artinya, setiap rasionalitas Islam menegaskan posisi penting altruisme Islam, yang memaksa agen ekonomi Muslim menjadi individu cum sosial. Ia tidak bisa hanya berorientasi pada dirinya, melainkan juga harus menyadari tanggung jawab sosial yang diembannya. Hal ini, tidak akan pernah ditemukan pada agen ekonomi homo economicus, yang hanya berorientasi pada diri sendiri. Memuaskan hasrat ekonomi, tanpa peduli akan resiko sosial dan ekonomi yang ditimbulkannya.

Ramadhan dan Model Rasionalitas GhazalianRamadhan adalah ranah, dimana rasionalitas Islam, tumbuh subur dan menjadi evidensi yang akurat atas konsep rasionalitas Ghazalian. Mengapa dinilai demikian? Karena Al-Ghazali menitik beratkan evaluasi terhadap dua bentuk spirit, yang menjadi lawan dari rasionalitas Islam, yakni nafs ‘amarah dan nafs al-lawamah. Dua spirit ini menjadi landasan utama dari rasionalitas ekonomi—homo economicus. Spirit yang menentukan orientasi pada pemenuhan syahwat dan hasrat-hasrat kapitalistik semata. Al-Ghazali, dengan amat meyakinkan menawarkan satu asumsi, bahwa dua spirit tersebut dapat dikekang melalui ritual puasa. Artinya, ibadah puasa hakikat tidak hanya sekadar ritus dan ritual semata. Tapi adalah latihan mengekang, dan menitik nadirkan nafs ‘amarah dan al-lawamah manusia, agar tidak hanya berorientasi pada diri dan kepentingan kapitalistik, dan biologis semata.

Di atas dua bentuk spirit itu, Al-Ghazali meyakini ibadah puasa berimplikasi pada tumbuh dan kian suburnya kesadaran manusia akan penting nilai-nilai etos, moral, sosial dan kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari. Inilah puncak dari pencapaian Ramadhan: insanul takwa dan insanul kamil. Dalam istilah yang paling populer dalam khazanah ekonomika Islam misalnya, bentuk manusia semacam itu disebut dengan homo islamicus: seorang agen atau individu yang kuat berpegang pada etika, dan memiliki kesadaran moral yang tinggi dalam membuat keputusan dan pilihan hidup.Maka, pilihan dan keputusan yang dibuat oleh seorang Muslim idealnya mencerminkan rasionalitas Islam yang kuat, sekaligus menandakan seorang individu yang handal, dan pandai membuat kalkulasi perilaku berdasarkan pilihan moral dan standar etika, yang ketat. Maka, muara dari ini adalah terbentuk masyarakat Muslim kultural, yang tidak hanya menghayati ajaran islam dan nilai dalam batas-batas formal, tetapi justru menghayati seluruh spektrum nilai, moralitas, dan prinsip Islam melampaui hubungan-hubungan intern keagamaan, tetapi merambah ranah interaksi sosial, ekonomi, dan politik. Dan, Ramadhan adalah ranah melatih diri, agar menjadi agen ‘homo islamicus’. (***)

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini
pekanbaru