Padang, ‘Pintu Gerbang’ Pariwisata Sumbar

Foto Gusti Asnan
×

Padang, ‘Pintu Gerbang’ Pariwisata Sumbar

Bagikan opini

Oleh Gusti AsnanDept. Sejarah, FIB-Unand Padang

 ‘Padang, pintu gerbang pariwisata Sumatera Barat’ adalah pernyataan yang sering ditemukan dalam buku-buku panduan wisata dan travelogues tentang Sumatera Barat pada awal abad ke-20. ‘Pintu gerbang’ dalam pengertian ini memiliki makna tempat masuk dan keluarnya wisatawan ke dan dari Sumatera Barat.

Sebagai ‘pintu gerbang’ pariwisata, Padang memiliki sejumlah prasarana dan sarana transportasi, serta sejumlah fasilitas pendukung pariwisata. Padang juga memiliki sejumlah penanda dan simbol yang berhubungan dengan dunia pariwisata.Padang dijuluki sebagai ‘pintu gerbang’ karena semua wisatawan yang masuk ke dan keluar dari Sumatera Barat harus melalui kota itu. Bagi wisatawan yang datang dari luar, melalui kota Padang berarti melalui pelabuhan yang ada di kota tersebut.

Pelabuhan yang dimaksud adalah Emmahaven (Teluk Bayur). Emmahaven mulai dipakai tahun 1892, bersamaan waktunya dengan dijadikan Sumatera Barat sebagai destinasi wisata. Ketika diresmikan Emmahaven adalah salah satu dari lima pelabuhan utama (Pelabuhan Kelas 1) di Hindia Belanda. Pelabuhan Kelas 1 berarti pelabuhan yang bisa melayani kapal antarsamudera dan menjadi bagian dari rute pelayaran internasional.Sejak pertama kali diresmikan hingga tahun-tahun pertama 1920-an Emmhaven disinggahi secara reguler oleh perusahaan perkapalan internasional, seperti Rotterdamsche Lloyd dan Stoomvaart MaatschappijNederlands’, di samping sejumlah perusahaan perkapalan dari Jerman dan Jepang. Pelabuhan ini juga secara rutin disinggahi oleh ‘perusahaan perkapalan nasional’ Hindia Belanda, Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM). Kapal-kapal itulah yang dipakai oleh wisatawan untuk datang ke dan pergi dari Sumatera Barat.

Para wisatawan yang turun dari kapal di Emmahaven melanjutkan perjalanan mereka ke kota Padang dengan kereta api. Pada tahun-tahun pertama 1900-an ada delapan kali perjalanan dari Emmahaven menuju stasiun Padang (Sawahan) dan delapan kali menuju stasiun Pulau Air. Di samping itu ada belasan bendi yang bisa digunakan untuk menuju pusat kota Padang, dan sejak pertengahan kedua dekade kedua juga ada mobil yang melayani rute antara Emmahaven dengan pusat kota.Bagi penumpang kapal yang tidak memiliki banyak waktu dan namun ingin berwisata ke pedalaman bisa memanfatkan pelayanan khusus dari Kereta Api Sumatera (Sumatra Staatsspoor atau SSS). Ada perjalanan khusus yang disediakan SSS hingga Lembah Anai untuk penumpang (wisatawan) sebanyak 25 orang. Wisatawan bisa memanfaatkan pelayanan ini dengan melapor (membooking) perjalanan 20 menit sebelum jadwal keberangkatan.

Bagi wisatawan yang ingin ‘stay’ di Padang terlebih dahulu bisa menginap di Oranje Hotel dan Central Hotel. Bagi mereka yang membutuhkan jasa perbankan juga ada sejumlah bank di Padang saat itu, di antaranya Javaasche Bank, Nederland Handel Maatscahhpij Bank, The Netherlands Indian Discount Co., The Chartered Bank of India Auralian & China. Di samping itu juga ada klub ‘De Eendracht’ dekat Plein van Rome dan ‘Ons Genoehen’ di pinggir laut.Padang sesungguhnya juga memiliki sejumlah objek wisata. Ada dua objek wisata di kota Padang pada awal abad ke-20, yaitu objek wisata buatan dan objek wisata alam. Objek wisata buatan yang terkenal adalah Monumen dan Taman Michiels (Pejuang dan Pahlawan Belanda dalam Perang Padri dan juga Perang Kesumba atau Bali), Monumen Raaff (Pejuang dan Pahlawan Belanda dalam Perang Padri), Monumen De Greve (Insinyur penemu cadangan batubara Ombilin), Monumen Jong Sumatranen Bond, Taman Bunga di pinggir laut, Kuburan Inggris di pinggir laut, dan Kelenteng China, serta Pabrik Semen Padang. Sedangkan objek wisata alam antara lain Gunung Padang (yang saat itu populer dengan nama Apenberg atau Gunung Monyet karena banyak sekali monyet di sana), Pemandian Juliana, Menara Suar Sungai Beremas, Bungus, Lubuk Peraku dan Sitinjau Laut.

Setelah ‘stay’ atau berwisata di Padang, setelah melalui ‘pintu gerbang Padang’,  wisatawan umumnya melanjutkan perjalanan mereka ke daerah pedalaman. Daerah pedalaman yang dimaksud adalah Lembah Anai, Padangpanjang, Fort de Kock (Bukittinggi) dan sekitarnya, Payakumbuh dan sekitarnya, Fort van der Capellen (Batusangkar) dan sekitarnya, Solok, dan Sawahlunto. Setelah bertamasya di daerah pedalaman mereka kembali ke Padang untuk melanjutkan perjalannya ke daerah lain.Pada pola wisata seperti ini, Padang menjadi pintu masuk dan keluar bagi wisatawan.

Sejak tahun-tahun pertama dekade kedua abad ke-20 terjadi perubahan yang signifikan dalam dunia transportasi di Sumatera Barat. Sejak saat itu peran jalan raya dan mobil mulai semakin penting dalam pergerakan penduduk dan wisatawan. Di samping untuk mobilitas antarkota dan antardaerah di Sumatera Barat, maka jalan raya dan mobil digunakan untuk perjalanan menuju kawasan utara (Tapanuli dan Sumatera Timur) serta menuju kawasan timur (Pangkalan Koto Baru dan Bangkinang) untuk selanjutnya menuju Pakanbaru.Fort de Kock (Bukittinggi) adalah pusat pelayanan mobil, terutama Gouvernement Autodienst saat itu.

Introduksi jalan raya dan mobil ini mengakibatkan perubahan pintu masuk atau pintu keluar wisatawan ke dan dari Sumatera Barat. Para wisatawan yang turun di Padang kemudian berwisata di daerah pedalaman. Setelah bertamasya di daerah pedalamanan, dengan menggunakan mobil (dari Bukittinggi), mereka melanjutkan wisata mereka ke kawasan utara, seperti Danau Toba. Dari sana, dengan mobil menuju Medan (Belawan), dan dari Belawan naik kapal menuju destinasi berikutnya.Atau sebaliknya, ada wisatawan yang turun dari kapal di Belawan (Medan). Kemudian mereka berwisata ke Danau Toba dengan mobil. Dari sana, dengan mobil, bertamasya di daerah pedalaman Sumatera Barat. Selanjutnya menuju Padang dan mengakhiri tour mereka dengan naik kapal di Padang (Teluk Bayur).

Dalam pola tamasya kedua ini, Padang hanya menjadi ‘pintu gerbang’ untuk masuk dan keluar bagi wisatawan.Walaupun ada pola perjalanan wisata kedua, ternyata Padang tetap merupakan ‘pintu gerbang’ utama pariwisata Sumatera Barat. Pola tamasya kedua hanya dimanfaatkan oleh sebagian kecil wisatawan. Sehingga masuk dan keluarnya wisatawan ke dan dari Sumatera Barat tetap melalui Padang. Itu pulalah sebabnya, selama masa bergairahnya dunia pariwisata Sumatera Barat, Padang juga tetap membenahi dirinya sebagai kota wisata dan kota yang ramah bagi wisatawan. (***)

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini