Ranking Satu yang tak Lulus

Foto Harian Singgalang
×

Ranking Satu yang tak Lulus

Bagikan opini

Oleh Emeraldy ChatraHari ini, Rabu 11 Januari 2024 tidak hanya mendung di langit. Tapi juga mendung di hati anak saya. Semoga ia dapat bersabar menerima cobaan.

Mulanya anak saya – sebutlah namanya Riri, bukan nama sebenarnya – lulus dalam SKD penerimaan dosen ASN. Ia dapat ranking pertama dengan nilai 421. Nilai CAT-nya pun tergolong tinggi: 271. Tapi pada keputusan akhir ia tidak diterima.Tulisan ini tidak saya maksudkan untuk curhat atau mengekspresikan rasa tidak enak. Istri saya melarang saya menulis artikel ini, tapi saya merasa ada perlunya publik mengetahui. Namun agar tidak ada yang tersinggung nama anak dan tempat ia melamar jadi dosen saya sembunyikan.

**Dulu Riri sama sekali tidak berminat menjadi dosen. Ia lebih yakin dapat eksis dengan bekerja di perusahaan swasta.

Sebelum diwisuda di sebuah universitas negeri ternama di Padang ia sudah diterima bekerja di sebuah perusahaan keuangan Inggris di Jakarta. Ia lolos dari seleksi yang sangat ketat.Kelulusannya tentu terkait dengan kemampuannya berbahasa Inggris. Waktu SMA ia mengambil jalur kelas berbahasa Inggris. Waktu kuliah ia pun mengambil jalur internasional yang bahasa pengantar kuliahnya hampir sepenuhnya berbahasa Inggris.

Selama beberapa tahun Riri menjadi konsultan pajak di perusahaan asing itu. Ia menangani beberapa perusahaan besar.Tapi ia rupanya tidak mampu bertahan selamanya di perusahaan itu. Sebelum kembali kuliah ia sempat bekerja di perusahaan Malaysia. Beberapa bulan saja.

Riri menyelesaikan S2nya dalam waktu 4 semester. Termasuk cepat. Setelah itu ia tertarik untuk menjadi dosen.Setelah tamat ia diangkat menjadi asisten dosen pembimbingnya, khusus untuk penelitian. Ia diangkat resmi oleh rektor dengan honor beberapa ratus ribu setiap bulan. Pada masa jadi asisten itu ia sudah menulis artikel di jurnal terideks Scopus Q1 bersama dosen pembimbingnya.

Saya melihat Riri begitu optimis setelah nilai SKD keluar. Senyumnya merekah.Tapi beberapa jam setelah ujian microteaching, suasana batinnya mungkin berubah. Ia tetap tersenyum dan mengajak mamanya agar tetap sabar, namun hati saya kurang yakin. Masalahnya, penguji memberinya nilai mati. Ia tidak melewati passing-grade.

Saya pun meminta Riri maupun mamanya agar sabar, meskipun sebenarnya dalam hati saya menganggap nilai mati itu sebuah kezaliman. Sedikit pun saya tidak yakin nilai Riri serendah itu. Nilai yang ia terima mungkin identik dengan nilai orang yang tidak pernah kuliah.Memang, dalam ujian penguji mengkritik bahan presentasi Riri karena tidak menggunakan literatur berbahasa Indonesia. Agaknya itu sebuah kesalahan. Tapi untuk kemampuan verbal, saya yakin Riri akan dapat nilai baik. Ia pernah beberapa tahun jadi penyiar radio swasta. Tiap hari cuap-cuap dalam bahasa Inggris.

Apakah mungkin Riri bersikap songong ketika ujian? Saya tahu betul anak saya, Riri jauh dari sikap seperti itu. Ia punya banyak teman karena sikapnya yang selalu merendah dan tampil sederhana.**

Di tahun 2024 usia Riri sudah 35 tahun. Makin tipis – bahkan mungkin sudah pupus -- harapan untuk bisa jadi dosen ASN. Saya tidak dapat berkata banyak menanggapi keadaan seperti ini. Saya hanya menulis di WA-nya: sabar ya nak.Saya sangat yakin, nilai mati untuk microteaching itulah yang membuat harapan Riri akhirnya kandas. Karena itu saya berkesimpulan, prestasi saja tidak cukup untuk bisa jadi dosen ASN. Musti ada ‘orang dalam’ yang melapangkan jalan, bukan yang menghambat.

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini