Sydney, Sebelum ke Melbourne

Foto Harian Singgalang
×

Sydney, Sebelum ke Melbourne

Bagikan opini

 Oleh: Isral Naska

Dosen Universitas Muhammadiyah Sumatera BaratDelegasi AIMEP (Australia Indonesia Muslim Exchange Program)

 Jumat itu, sepulang dari Surau Sydney sudah larut sekali sampai kembali di stasiun sentral Sydney di kawasan Haymarket. Saya berjumpa dengan beberapa rombongan besar anak-anak muda berkejar-kejar mencari kereta api terakhir. Entah dari mana mereka, mungkin pulang party.

Memang umumnya orang-orang Barat, akan memanfaatkan waktu weekend untuk hal-hal beginian. Cork, tempat saya menetap waktu di Ireland juga demikian. Jika sudah weekend, city center akan ramai sekali, dan tidak sedikit akan berjumpa orang yang berjalan oleng di jalanan karena mabuk. Padahal di hari-hari biasa, jam 6 sore saja peradaban sudah berangsur tutup tirai.Sepuluh menit dari stasiun saya sudah berada di hotel. Ini lebih aneh lagi. Ada beberapa pria menggunakan jas resmi, tapi kebanyakan bewarna terang benderang. Bahkan ada pula yang menggunakan jas warna merah saga. Oh, mungkin ini juga baru dari party, tapi versi yang lebih mapan. Dan puncak keanehan malam itu adalah seorang pria yang berpakaian selayaknya wanita, lengkap dengan full make up. Di Barat orang-orang begini disebut dengan drag. Masih geng LGBT juga mereka ini. Hari Jumat itu saja, saya sudah ketemu dua orang drag, satu di kereta satu di lobby hotel. Yang di lobby ini adalah macam selebriti bentuknya.

Sabtu memang jadwal kosong. Tidak banyak hal menarik yang dapat diceritakan. Kami berkunjung saja Opera House. Akhirnya saya melihat langsung bangunan yang gambarnya senantiasa ada di Komplek H dalam permainan monopoli. Satu hal yang paling saya catat adalah, pemerintah berhasil menemukan formula tata ruang dimana orang-orang dapat menikmati kelapangan pemandangan tanpa harus terganggu oleh tempat-tempat makan.Bukan berarti tidak ada tempat makan, justru sangat banyak. Tapi mereka berhasil “menyembunyikannya” tanpa harus tersembunyi. Baik si pelancong yang tidak makan, maupun pelancong yang ingin makan, keduanya sama-sama menang. Mereka memperoleh pemandangan yang mewah. Opera House dan Jembatan Sydney Harbour betul-betul terlihat sempurna, sangat sempurna.

Teringatolehku objek wisata di tempat kita. Secara alam, lebih natural dan lebih cantik. Langit juga sama-sama birunya. Lautpun juga begitu. Tapi entah bagaimana, seringkali kawasan pemandangan terganggu oleh bangunan dan kedai. Saya kadang-kadang kesal juga, dilihat di depan ada pemandangan luas.Ada laut biru, hutan hijau, dan langit yang juga biru. Dan tiba-tiba ada pula banyak atap terpal warna-warni di sudut sana. Hah! Jadinya seperti lontong sayur dituang sesendok bubur.Ada pula kawasan perbukitan di pinggiran kota Padang. Di sana kita dianugrahi Allah sebuah kemewahan yang jarang ada di tempat lain. Dari atas bukit terjal, dari tepian jalan yang berliku kita dapat memandangi laut luas, yang di permukaannya berserak pulau-pulau kecil. Kalau hari cerah, tampak dari kawasan itu matahari tenggelam, bulat sempurna seumpama kuning telur.

Lalu kemudian di salah satu sisi bukit yang paling lapang, berdiri sebuah kafe, dikasih dinding pagar yang tinggi, masuk ke sana bayar. Sekarang kalau mau lihat alam tanda-tanda Ilahi harus pakai tiket dan beli kopi. Harga kopinya satu gantang beras pula. Sudah tidak bisa menikmati pemandangan lepas,mata tambah sakit, sebab salah satu sisinya dipagari saja dengan seng tinggi-tinggi. Ha haha.Kembali ke Sydney. Sore hari, berdua dengan seorang kawan bernama Wansa, kami sempatkanmemutari kawasan Darling Harbour. Lagi-lagi saya takjub dengan tata kota. Ruang Ketiga benar-benar dibuat selayak mungkin. Di sana semua orang dapat menghabiskan waktu bersama keluarga dan sahabat di ruang terbuka dan taman-taman. Secara fasilitas, kawasan ini sangat layak anak.Sebab tidak ada potensi-potensi yang membahayakan seorang anak yang tengah bermain-main.

Dari sini saya bertanya-tanya juga, kota saya juga dianugrahi Kota Layak Anak, tapi perasaan tidak banyak lagi tempat anak-anak dapat bermain dengan nyaman. Di taman kota, ada tempat bermain. Tapi kalau hujan sedikit dia becek. Ayunannya sepuh-sepuh.Ada beberapa perosotan tapi banyak yang karatan dan beberapa sisi besinya menyembul seperti silet. Berbahaya tak kira-kira. Kalau mau yang bagus, tuh pergi ke sana, ke taman bermain berbayar.Kalau anak bermain di halaman masjid, banyak pengurus masjid yang tidak terima, kotor dan bising katanya. Bermain di lapangan, harus menunggu pula orang besar selesai bermain. Pernah anak-anak bermain di sebuah lapangan kecil di tengah komplek, bola plastik yang mereka mainkan melayang ke halaman sebuah rumah. Lalu ibu-ibu si pemilik rumah berteriak “woi… ganggu saja kalian, itu lapangan dibuat bukan untuk main kalian, tapi tempat senam kami!” Nah! Yang paling aman memang main hape saja.

Satu hal lain yang saya catat adalah bagaimana bangunan-bangunan dibuat di sela-sela jalan layang, tapi terlihat harmonis antara satu dengan yang lain. Mereka bentul-betul merencanakan kota dengan sebaik-baiknya.Walau hakikatnya berdesakan dengan jalanan layang, mereka tampak serasi dan damai-damai saja.Melihat anatomi kepala manusia sama dan volume otak manusia juga sama terlepas dari ras mana dia berasal, sebenarnya kita bisa juga membuat yang setara, tentu dengan kondisi dan kearifan lokal di tempat kita. Kenapa tidak bisa? Mestinya bisa kan ya.

  

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini