Menikmati Secangkir Kopi di Pabrik Banaran

Foto Harian Singgalang
×

Menikmati Secangkir Kopi di Pabrik Banaran

Bagikan opini

Khairul JasmiKopi di cangkir hampir habis, tatkala hujan turun berderai-derai. Angin mendesau, mengganggu dedaunan. Lalulintas padat, mobil pariwisata hilir-mudik. Saya menikmati kopi di cangkir putih dengan cawan putih di atas meja kayu berkaki besi. Tampilan tempat ngopi ini, seperti kafe-kafe  di Jakarta, yang dengan profesional menangkap selera orang-orang yang menikmati hidup yang berharga. Memberi warna pada keseharian dan di sini, kursi meja seperti menyediakan suasana serta waktu yang panjang, untuk siapa saja.

Saat yang sama 10 bus wisata yang membawa sekitar 350 bule masuk ke komplek pabrik kopi Banaran, dekat Semarang  Jateng. Suasana di sini, sejuk dan bangunannya yang tua memberi kesan kawasan itu terawat dengan baik.Saya seolah menemukan sejarah di cangkir kopi, apalagi di pabriknya. Sejarah Tanam Paksa dan tentu saja bangunannya yang saya yakini memakai produk Semen Padang, berproduksi 1910. Dari Emmah Haven, sekarang Teluk Bayur, semen diangkut kapal milik Koninklijke Pakketvaart Maatschappij (KPM) milik Belanda menuju Pelabuhan Van Semarang. Saya ke sini guna melihat pabrik kopi yang dibangun 1911. Begitu mendekat aroma kopi langsung tercium. Kopi disimpan dalam goni yang (mungkin) diimpor dari India. Disusun bertingkat-tingkat dalam gudang nan lega.

Tadi begitu masuk, langsung disergap kafe berdinding kaca dengan 10 meja, tiapnya empat kursi. Kafe dengan gaya atap bungkus nasi itu, di bagian depannya dengan huruf warna kuning tertulis, “Banaran 1911”. Di sebelahnya ada kafe yang lebih luas, ke sanalah ratusan bule lansia itu masuk dan ngopi. Mereka datang dari Pelabuhan Tanjung Mas, baru turun dari kapal pesiar. Setelah ngopi perjalanan dilanjutkan ke Borobudur.Satpam mengantar saya ke bangunan di bagian belakang. Masuk gudang melewati pintu dengan bingkai beton melengkung, yang di atasnya tertulis, “1911.” Itulah gudang pertama, tempat karung-karung kopi disusun, tapi pada Rabu (06/12/2023) tidak penuh, karena bukan musim panen.

Saya disambut dan ditemani oleh, Manager Kebun Getas, Widya Banuaji, GM Kampoeng Kopi Banaran, Unit Produksi Hilir, Didik Maryono dan  Asisten Teknik Pengolahan, Edy Cahyono. Di gudang dengan berkapasitas  1000 ton itu, ada enam orang sedang menyortir kopi.“Musim panen Juli sampai September,” kata Banu. Pajabat-pejabat ini mengajak saya terus ke bagian belakang melihat gudang lain, tempat kopi diterima dari pemetik di kebun-kebun pada ketinggian di atas 600 mdpl, tapi di bawah 1000 mdpl.

Menurut Banu, kopi yang masuk, langsung didrop ke bak penampungan yang sudah diisi air. Proses pun dimulai di sini. Kemudian kopi akan masuk ke bak siphon, sortasi basah, dengan tiga saluran, biji kopi yang matang di batang warna merah akan tenggelam dan yang matang tapi kulit hijau akan terapung, yang sobek, sumbing atau berlobang juga merapung. Di bak ini akan ada dua jenis kopi, pertama yang superior yang sehat, segar dan matang. Kedua inferior yang tidak seperti itu. Dua jenis kopi ini akan tersalurkan secara terpisah ke pulping tempat biji dan kulit dipisahkan.Baru kemudian pengeringan, tapi karena sifat kopi mudah menyerap aroma sekitarnya, maka di pabrik tua ini, sebagaimana dilakukan sejak zaman Belanda, tidak dijemur di bawah terik matahari. Yang dilakukan, adalah pengeringan dengan cara vis dryer dan mason dryer.

Saya diajak naik ke lantai dua, di bawahnya ada lorong api, dari batang karet kering. Api yang menyala-nyala akan menghasilkan udara dan uap panas pada lantai besi berpori-pori sejauh lima meter di atasnya. Di lantai itu ada kopi yang ditarok setebal 20 cm, selebar lapangan takraw. Kopi yang sudah melewati proses tahap sebelumnya, masuk masa pengeringan selama 38 sampai 40 jam, yang dibalik-balik setiap jamnya. Tujuanya agar kopi kering dan mencapai suhu 9 sampai 12 persen maksimal.Selain itu ada lagi proses huller, yaitu memisahkan biji dan kulit ari. Selesai lanjut ke sortasi melalui infrared metode yang relatif baru, guna memisahkan biji kopi ukuran L, M dan S, juga untuk menemukan nilai cacat pada biji kopi. Tak lama kemudian kopi akan diantar ke ruangan yang lega, dimana ibu-ibu sekitaran pabrik sudah menunggu untuk melakukan sortir manual terakhir.

Waktu saya datang ada sekitar 70 ibu-ibu yang bekerja dalam tekun. Saya coba pula menyortir kopi tersebut, tapi mereka tidak terganggu sama-sekali. Ibu-ibu itu dapat upah Rp1250/kg, bisa bekerja dari subuh sampai setengah dua siang. Mereka mendapat upah hari itu, sekitar Rp87.500 sampai Rp90.000. Jika hari kerjanya 30 hari, maka sebulan Rp2.625.000 atau Rp2.700.000/bulan. Tapi, itu tadi, musim panen tidak setiap bulan. Jika musim panen, pendapatan mereka akan lebih banyak lagi.mencoba proses pembuatan kopi. (kj)Setelah jemari ibu-ibu selesai bekerja, maka selanjutnya kopi cantik itu akan dimasukkan ke dalam karung ukuran 60 Kg, atau 20 Kg lebih ringan dari isi goni yang saya lihat di gudang pertama masuk. Kopi itu diekspor setahun sebanyak 400 ton ke Itali, sebuah negara yang kafe dan koridor dekat trotoarnya ramai oleh peminat kopi. Sebuah negara yang gaya  ngopinya tak tertirukan oleh pecandu kopi di Indonesia.

11 Kafe BanaranSelain ekspor, kopi kualitas sama diperuntukkan juga bagi horeka, hotel, restoran dan kafe. Kampoeng Kopi Banaran punya 11 kafe di Semarang, salah satunya di pabrik kopi itu dan lainnya di Kota Tua Semarang, Teras Kota. Kafe-kafe ini, serta pasokan untuk hotel dan resto, di bawah kendali Didik Maryono, anak muda ahli keuangan  dan sekarang jualan kopi.

Meski ekspor 400 sampai 500 ton/tahun, tapi sebenarnya uang dari haroke lebih manis, namun karena harus ditunggu cair, memakan waktu lama, sehingga ekspor lebih menjanjikan, meski harga lebih murah ketimbang dipasarkan di dalam negeri. Begitu dokumen selesai atau naik kapal, yang langsung diterima, sedang haroke, menunggu beberapa waktu.Kafe milik Kopi Banaran, menyajikan kopi cita rasa yang aduhai, diproses sedemikian rupa. Saya menyaksikan mesin roasting buatan Jerman dengan merek Probat bekerja. Ada dua, yang pertama diistirahatkan karena sudah tua, yang kedua baru seharga Rp 1 miliar. Mesin ini menghasilkan 30 sampai 40 ton bubuk dalam setahun yang dikirim ke berbagai sudut Semarang. Ada dua pekerja roasting bersertifikat di sini, Sigit dan Sunardi. Di kafe tempat saya menikmati kopi di pabriknya itu, segelas kopi hitam dibadrol Rp15 ribu dan ekspreso Rp33 ribu. Sedangkan bubuk dijual Rp 90 ribu/kg bandingkan dengan ekspor yang Rp 50 ribu saja.

Sekilo bubuk, akan menghasilkan 80 sampai 90 cangkir kopi. Jika Anda berbisnis kopi, sebaiknya dihitung dengan seksama, sehingga bisa diyakini dalam setahun laba yang didapat berapa dan kapan balik modal.Kebun Peninggalan Belanda

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini