The Village yang Inspiratif

Foto Harian Singgalang
×

The Village yang Inspiratif

Bagikan opini

Oleh: Isral NaskaDosen Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat

Delegasi AIMEP (Australia Indonesia Muslim Exchange Program) 

Pagi 10 November, setelah perjalanan lebih kurang satu jam dari hotel yang terletak di pusat kota Sydney, kami sampai ke sebuah kawasan bisnis bernama Central Bankstown. Tempat yang kami kunjungi terletak di kawasan utara tempat itu, dikenal dengan North Terrace.Ia-nya adalah kantor sebuah organisasi sosial yang dikenal dengan nama “Community Support Service-The Village”. Lalu kemudian dikenal luas dengan nama The Village. Kenapa bernama demikian, karena sang pendiri terinspirasi dengan semangat kolektif atau kebersamaan penduduk desa (village) dalam membantu sesama. Tertulis di sana

Organisasi yang sudah berbentuk non-profit social enterprise ini bertujuan untuk memberdayakan keluarga-keluarga kurang beruntung agar dapat tidak hanya bertahan, tapi juga dapat memperoleh peningkatan kualitas hidup. Pemberdayaan itu dilakukan dengan instrument yang tepat dan pendekatan yang holistik. Yang termasuk dalam cakupan perhatian The Village adalah para pengungsi, keluarga yang rentan, mereka yang mengalami KDRT, mahasiswa internasional yang kekurangan biaya hidup, dan mereka yang memiliki keterbatasan fisik dan mental (penyandang disabilitas).Kantor The Village terletak di lantai dua. Jenjang ke atas cukup lebar. Rupanya kantor itu tidak terlalu luas. Isi ruang utamanya adalah: beberapa perabotan, meja kerja lengkap dengan komputer, rak pajak, beberapa kardus berisi makanan, dan beberapa hampers makanan yang sedang dikerjakan dan sedianya akan dibagikan. Ditambah ada lagi ada beberapa anak muda yang sedang bekerja.

Kendatipun demikian, semua tertata sangat rapi. Tumpukan barang dan lain-lain tidak membuat kantor ini menjadi berantakan. Bahkan terasa sangat hommy. Ini bagaimana bisa ya? Tempat yang digunakan sebagai simpul distribusi bantuan sosial masih bisa terlihat rapi, bahkan indah. Teringat olehku sebuah kantor lembaga sosial di Padang, nuansanya berantakan dan seperti gudang.Akhirnya kami berjumpa dengan Mona Mohamad, seorang muslimah hebat yang mendirikan The Village. Mona adalah seorang perempuan paruh baya yang lahir dan besar di Sydney pada sebuah keluarga yang berasal dari Mesir. Walaupun dia sendiri mengaku memiliki beberapa masalah kesehatan, tidak terlihat demikian jika melihat caranya berbicara dan apa yang telah ia lakukan.

Sesungguhnya Mona, sebagaimana yang ia ceritakan, adalah penderita PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) selama lebih dari 25 tahun. Awal aktifitas sosial ibu enam orang anak ini dimulai dengan membantu beberapa perempuan yang mengalami gejala gangguan mental yang sama karena terjebak dalam hubungan yang merusak (abusive relationship) dan mengalami tindakan kekerasan. Ia juga membantu para siswa yang juga mengalami kondisi mental yang bermasalah agar berhasil dalam pendidikan. Sebelumnya Mona adalah seorang guru.Pada tahun 2018, ia memutuskan membangun The Village agar aktifitas sosialnya dapat menjangkau lebih banyak orang. Dalam dua tahun awal, ia menggunakan uangnya sendiri. Dibantu oleh anak-anak dan suami, ia berangsur-angsur membangun reputasi sebagai pekerja sosial kelas atas. “Dua tahun awal tidak mudah” katanya. Bahkan ia pernah harus belajar mengemudi truk agar bisa mendistribusikan bantuan. Itu semua ia lakukan di tengah kondisi kesehatan dirinya yang juga tidak baik-baik saja. Ia berkali-kali menangis dan berpikir untuk berhenti membantu orang lain. Punya uang sendiri tidak berarti kaya. Dia memanfaatkan sebagian penghasilannya untuk membantu orang. Detil cerita perjuangan Mona membuat semua orang terdiam, bahkan seorang peserta sampai menangis mendengarnya.

Setelah perjuangan yang tidak mudah, mengalami berbagai moment yang menguras kondisi mental dan kesehatan fisiknya, Mona mulai pengakuan publik. Yang paling akhir, pada pertengahan tahun 2023 ini ia baru saja masuk nominasi sebagai Australia Local Hero dari kawasan New South Wales. Mona mengaku tidak tahu siapa yang menominasikannya. Memperoleh penghargaan bukan tujuannya. Akan tetapi ia mengaku senang dinominasikan sebab itu membuat semakin banyak pihak yang percaya bekerjasama dengannya dan menitipkan dana kepada The Village untuk kegiatan sosial, baik dari pihak pemerintah maupun swasta.Di tengah cerita dan diskusi, seorang pekerja masuk tergopoh-gopoh ke ruangan diskusi. “Lihat! Lihat di luar sudah datang stock makanan dari supermarket”, kata Tiara antusias. Ia adalah perempuan bule sebaya usia dengan Mona. Kami melongok dari jendela melihat ke luar. Benar saja beberapa truk makanan terlihat sedang mendrop bahan makanan dari supermarket.

Bahan makanan itu beraneka ragam, umumnya adalah sayuran dan buah-buahan. Itu semua adalah stock berlebih atau barang yang cacat secara estetik, tapi masih-masih sangat layak untuk dikonsumsi. Saya melihat ada buah mangga yang sudah agak penyek karena terhimpit, tapi tidak busuk dan masih sangat baik untuk dimakan. Di tempat Mona barang-barang itu dikemas dalam bentuk hampers lalu didistribusikan langsung kepada mereka yang memerlukan. Ada beberapa sukarelawan berusia muda yang sigap bekerja. Setiap minggunya, The Village mendisribuskan tidak kurang dari 4.5 ton makanan untuk mereka yang memerlukan.Ternyata, The Village bukan soal membagi makanan saja. Di ruangan lain berjejer mesin jahit. Lalu ada pula koleksi kain bahan yang ditata rapi dalam rak-rak yang memenuhi dinding, mirip dengan toko kain. Di sana diberikan pelatihan menjahit kepada siapapun yang memerlukan. Tujuannya agar individu yang bergabung dapat memanfaatkan skill menjahit sebagai sumber tambahan penghasilan. Ada banyak lagi program lain di The Village, utamanya berhubungan dengan mental wellbeing.

The Village yang awalnya adalah lembaga amal murni, sekarang telah bertransformasi menjadi sebuah social enterprise. Mereka sudah punya dua toko di Central Bankstown. Satu adalah minimarket, sedangkan yang lainnya adalah toko baju. Di toko baju-baju yang diolah oleh mereka yang pernah dilatih di The Village. “Keuntungan digunakan untuk menunjang operasional the Village”Di tengah-tengah keberadaan kami dalam kantor The Village, saya menyaksikan dua momen menarik. Pertama, datang seorang perempuan tua. Ia naik jenjang cukup kesusahan, tapi berhasil sampai ke atas dengan wajah bahagia. Satu orang teman turut membantu sang nenek agar bisa sampai lebih cepat. Tiba-tiba Mona berteriak “itu ibu saya!” Lalu dia berkata lagi “I love you mum!” sambil melempar gesture kecupan. Sang ibu menanggapi dengan senyuman. Semua orang senang melihat adegan itu.

Lalu yang kedua. Masih ingat dengan Tiara, perempuan bule yang tergopoh-gopoh masuk ruangan diskusi kami? Dia dengan bangga bercerita bahwa ia telah lama bekerja bersama Mona di The Village. “Anak perempuan saya masuk Islam dan saya menghargai keputusannya” katanya. Lalu kemudian, “sejak dua tahun lalu saya pun masuk Islam, setelah bekerja di sini”. Kata Tiara. Ia dan Mona-pun saling pandang dan tersenyum. “Alhamdulillah” kata kawan-kawan delegasi serempak.Memang yang bekerja di The Village bukan saja Muslim. Mereka pun tentu tidak pernah disuruh-suruh atau diberi ceramah untuk masuk Islam. Mona hanya bekerja mengharap ridha Allah untuk membantu sesama manusia, dan itu jauh dan jauh lebih kuat efeknya dari kata-kata dan retorika. (***)

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini