Power Wheeling Untuk Kepentingan Siapa?

Foto Harian Singgalang
×

Power Wheeling Untuk Kepentingan Siapa?

Bagikan opini

Pada tanggal 15 Nopember 2023, melalui Ketua Komisi VII, Sugeng Suparwoto Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) telah menegaskan akan kebutuhan pengesahan Rancangan Undang-Undangan Energi Baru dan Energi Terbaharukan (RUU EBET). Menurut Sugeng Suparwoto, pihaknya bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) telah tuntas membahas 574 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) bagi proses penyelarasan RUU EBET. Proses penyelarasan itu akan segera dilakukan (rencana tanggal 20 Nopember 2023) oleh Komisi VII DPR RI bersama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (MESDM), Arifin Tasrif dalam Rapat Kerja (Raker). Agenda Raker itu diantaranya juga membahas 2 (dua) pasal penting, yaitu pembentukan Badan Usaha Khusus (BUK) EBT dan *power wheeling*.Yang menjadi pertanyaan, adalah mengapa kedua klausul ini muncul kembali dalam pembahasan DIM DPR RI? Padahal KESDM melalui Menterinya Arifin Tasrif yang mewakili Presiden Joko Widodo seusai rapat dengar pendapat di Komisi VII DPR RI, 24 Januari 2023 lalu telah memastikan mengeluarkan klausul itu dari DIM RUU EBET. Lalu, kenapa ada sebagian anggota DPR tetap ngotot memasukkan kembali klausul power wheeling ini dan publik atau pelanggan listrik Badan Usaha Milik Negara PT. Perusahaan Listrik Negara ( BUMN PLN) harus menolaknya!? Kenapa harus ditolak, tidak lain adalah karena power wheeling ini sama saja (analog) dengan *membonceng* infrastruktur jaringan daya listrik milik PLN tanpa investasi pembangunan apapun oleh pihak lain/swasta.

Selain itu, Komisi VII DPR RI jelas tidak taat pada hukum konstitusi ekonomi (Pasal 33 UUD 1945) dengan memaksakan power wheeling (penggunaan jaringan daya PLN oleh swasta) dimasukkan kembali dalam DIM RUU EBET. Sebab, telah ada Putusan Mahkamah Konstitusi (PMK) tertanggal 14 Desember 2016 yang telah membatalkan Pasal 10 ayat 2 dan Pasal 11 ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, khususnya terkait kewenangan penyediaan listrik bagi masyarakat oleh PLN. Konsekuensinya, tentu saja peraturan lainnya yang sejenis (termasuk Permen ESDM No 1/2015 dan No.11/2021) terkait klausul pemberian izin pengelolaan listrik kepada pihak selain PLN telah batal demi hukum konstitusi dan harus dicabut!*Tidak Ada Investasi Jaringan*

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif menilai skema power wheeling atau penggunaan bersama jaringan transmisi sudah semakin mendesak. Pertanyaannya mendesak untuk kebutuhan apa dan kepentingan siapa sehingga perlu ditangani segera? Terminologi mendesak ini harus dijelaskan oleh Menteri ESDM ditengah isu transisi energi yang dominan untuk kepentingan investasi teknologi pihak asing.Lagipula, kalau memang kebutuhan permintaan listrik bersih dari pelanggan industri semakin meningkat, maka kenapa harus menggunakan skema pemanfaatan jaringan daya Badan Usaha Milik Negara Perusahaan Listrik Negara (BUMN PLN). Bukanlah selama ini pemerintah telah terlalu baik memberikan ruang kebijakan bagi perusahaan pembangkitan independen/swasta melalui skema Take Or Pay (TOP).

Maka, dorongan atau inisiatif Kementerian ESDM dalam skema pemanfaatan jaringan bersama (power wheeling) milik BUMN PLN yang dimasukkan ke dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) justru tidak masuk akal. Pemanfaatan jaringan daya PLN itu secara matematis akan membabani keuangan PLN dalam jangka pendek. Sedangkan, dalam jangka panjang bisa saja usaha inti.(core business) BUMN PLN akan diamputasi oleh IPP. Dan, tentu saja negara akan dirugikan atas investasi infrastruktur kelistrikan dan penjualan listrik ke pelanggan berpotensi berkurang.Bahkan, alasan yang disampaikan oleh Arifin Tasrif bahwa aturan skema powe wheeling dalam RUU EBT untuk mempercepat penambahan pembangkit EBT dan mendongkrak bauran energi bersih sungguh mengada-ada. Apabila memang IPP turut serta dalam kebijakan transisi energi bersih (green energy) kenapa harus BUMN PLN yang berkorban dimanfaatkan peralatan atau harta kekayaan (asset) -nya. Bukankah pemerintah dapat mendorong perusahaan pembangkitan independen/swasta untuk melakukan investasi pembangunan infrastruktur jaringan dayanya?

Apabila Komisi VII DPR RI memaksakan klausul penggunaan jaringan daya PLN dimanfaatkan untuk kepentingan pihak lain atau swasta dalam DIM RUU EBET, berarti parlemen telah melakukan perdagangan terselubung (insider trading) melalui pembentukan sebuah UU. Apalagi, klausul ini telah ditolak oleh pemerintah yang berarti para anggota DPR RI-lah khususnya Komisi VII yang memiliki kepentingan bisnis terkait pembahasan RUU EBET ini. Indikasi atau dugaan kuat adanya motif ekonomi ini menunjukkan wakil rakyat bukan lagi membawa kepentingan rakyat banyak atau publik, tetapi telah menjadi alat perusahaan-perusahaan/korporasi yang ingin mengamputasi mandat konstitusi ekonomi pada PLN.Atas indikasi itulah, RUU EBET yang tengah dibahas harus ditolak dan bukanlah UU yang mendesak (urgent)! Sebaliknya, mendesak Komisi VII DPR RI agar tidak melanjutkan pembahasan penyelarasan kedua klausul tersebut dalam DIM RUU EBET dan menagih konsistensi sikap Presiden Joko Widodo melalui MESDM dalam menolaknya. Disamping itu, pembahasan RUU EBET-pun hanyalah parsial atau masih terpisah-pisah dengan UU energi dan sumber daya mineral lainnya sehingga berpotensi tidak sinkron, tumpang tindih serta diganti berulang-ulang. UU yang sering diganti-ganti dan diubah-ubah jelas menunjukkan rendahnya kualitas legislasi para anggota DPR RI sekaligus merugikan keuangan negara.

Negara Kesatuan Republik Indonesia membutuhkan sebuah RUU yang mencakup sektor energi secara keseluruhan (EBET hanya salah satu bagian dari sektor energi saja). Bahkan, lebih dari itu adalah RUU tentang pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia secara integralistik dan komprehensif sebagai landasan hukumnya serta tidak mudah diubah-ubah oleh hanya kepentingan praktis politis-ekonomis sebagian pihak saja. Ke arah inilah tugas pokok dan fungsi DPR RI yang diberi mandat rakyat dalam siklus 5 (lima) tahunan, khususnya kepada Sugeng Suparwoto sebagai kader Partai Nasdem yang mengusung tema perubahan dan keberlanjutan dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini