Remaja itu menyandang sebuah buntil, menapaki jalan pedati di antara sawah berjenjang. Di belakangnya Bukit Batu Patah, ia seorang santri sebuah perguruan Islam di Sungayang, di Luhak Nan Tuo, Minangkabau. Namanya Sulaiman kelak jadi Syekh Sulaiman Arrasuli atau Inyiak Canduang.Remaja berusia kira-kira 14 tahun ini, terus melangkah, menyibak rumput yang masih berembun. Kakinya cepat, badannya tegar. Perutnya mulai lapar meski masih pagi, ia sudah sekitar satu jam meninggalkan suraunya di Sungayang. Remaja itu sedang piket dan tugasnya antara lain memasak untuk kawan-kawannya. Ia kini menuju Sungai Tarab.
Remaja tersebut terus berjalan, membawa beban di pikirannya. Ia ingat biyainya di sebuah surau di Pakan Kamih di Candung, desa yang juga berada di kaki Gunung Marapi, tapi sebelah sananya. Ia sudah lama tak pulang ke Candung. Tetiba kakinya terasa berat melangkah, tapi ia juga punya alasan untuk pergi dari surau, menjauh.Biyai, atau ibunya melarang meminta sedekah sekalipun itu tugas dari surau. “Lebih baik kau jepitkan lidah ke lantai daripada meminta-minta,” ujarnya. Kata-kata itu terus mengiringi langkahnya, tapak demi tapak. Kini ia sudah sampai di Sungai Tarab, pasar kecil itu sudah ramai. Beberapa pedati terlihat di depan pasar dan kerbaunya agak jauh di bawah beringin memakan rumput. Angin membawa terbang bau harum gulai kambing dari sebuah pondok beratap ijuk. Di sana terlihat sejumlah pria sedang makan. Remaja yang sedang menuntut ilmu ini, menahan laparnya. Ia ingat teman-teannya di surau, ia harus memasak untuk mereka. Setiap hari selalu ada yang piket.
Remaja ini melewati pasar, ia menunduk saja sampai di halaman sebuah rumah di dekat sungai yang berhulu dari Marapi.“Assalamualaikum,” ia menyapa tuan rumah dari halaman dengan suara agak keras.
Sekejap, seorang ibu muda, berselendang putih, mencogokkan kepala di jendela.“Walaikum salam, Pakiah.” kata si ibu. Sulaiman takut. Pesan ibundanya, tapi ia sekarang bertindak bukan atas nama dan untuk dirinya.
“Mohon sedekah untuk mengaji Mandeh.”Wanita itu meminta agar si remaja itu menunggu sebentar, sebab dia tak mau hanya memberi sedekah untuk orang yang sedang menuntut ilmu, tapi harus diajak makan. Membawa orang alim makam ke rumah, adalah sesuatu yang ditunggu-tunggu oleh ibu rumah tangga di Minangkabau.
Ia kemudian menunggu, duduk di bebatuan di bawah rangkiang, gudang padi, yang diberi bagonjong, yang didirikan di tengah-tengah halaman rumah gadang. Tak lama benar, disuruh naik. Rasa hormat dan sayang ibu ini pada pemuda yang sedang menuntut ilmu agama, seperti sayang pada anaknya sendiri. Tiap rumah di Minangkabau, selalu menunggu kedatangan remaja berkain sarung membawa buntil dan berkupiah. Mereka disebut orang siak. Sebutan ini dipungut dari nama daerah di Riau yang bernama Siak. Anak-anak Siak itulah yang tanpa pamrih menusuk jantung Minangkabau untuk syiar Islam. Makanya siapa saja dia, asal membawa Islam di pundaknya disebut Urang Siak juga disapa Pakiah.“Naik naik,” kata ibu itu lagi. Matanya berbinar. Belum lagi anak muda ini sampai di atas rumah, tikar pandan putih sudah dikembangkan ibu muda ini. Ia sudah yakin saja sejak kemarin, hari ini pasti akan ada Urang Siak yang akan datang. Karena itu ia bergegas memasak. Ia membuat gulai ayam dengan santan kelapa yang tua. Selain itu juga ada rendang, telur dadar, harumnya mencabut buku hidung. Anak muda ini duduk, ia kembali teringat pesan ibundanya, jangan meminta-minta. Jangan. Sekarang ia di sini melanggar larangan biyainya. Ia melakukan itu, karena satu alasan. Hari itu dia piket, tugasnya membersihkan surau, halaman dan mencuci piring kotor bekas makan teman-temannya. Ia lagi malas piket, sebab teman-temannya sengaja tak mencuci piring semalam. Ia tak mau dikerjain, maka anak muda itu, pergi.
Harum lauk-pauk yang dihidangkan itu, kian mengoda seleranya yang memang sedang lapar. Luar biasa. Nasinya putih, berasal dari padi di sawah lereng Marapi.“Siapa nama Urang Siak, dari mana asalnya?”“Nama saya Sulaiman, dari Candung, Agam.”“Jauh ya berjalan ke sini.”
“Saya mengaji dengan Syekh Kolok di Sungayang.”Demi mendengar nama Sungayang, ibu ini tersenyum. Bahagia.
“Ramai murid di sana, ilmu beliau sungguh dalam sekali.”“Iya Mandeh...”