Merasa Paling Alim

Foto Harian Singgalang
×

Merasa Paling Alim

Bagikan opini

Sebuah video: Seseorang di arena Asean Games di China belum lama ini, menunaikan shalat di pelataran tempat orang lalulalang, lalu muncul di lini sosial. Ia yang sedang shalat itu disuruh pindah oleh polisi, tapi sang pria tetap shalat. Dikomentari dengan ucapan salut, hormat dan taat. Begitulah orang alim.Kalau saya beda: Ini namanya merasa alim sendiri atau paling alim. Tiba waktunya shalat, maka tunaikan dimanapun itu. Di gang dalam pesawat, di mall, di trotoar. Itu namanya sok beragama. Ada dalam Islam, kelonggaran untuk menunaikan beribadah. Pertanyaannya kenapa tidak di penginapan saja. Kenapa tak cari mushalla, sebab itu ajang olahraga negara Asia, yang pasti disediakan tempat ibadah. Negara-negara Arab, Indonesia, Malaysia, Brunai, ikut. Masa kontingen negara-negara itu tak disediakan tempat ibadah. Mustahil. Jadi jangan merasa Anda saja yang beragama, orang lain juga.

Ada juga yang shalat di gang antara kursi di atas pesawat yang sedang menaikkan penumpang. Kenapa tak salat di kursi saja, kenapa mesti di gang sehingga menghalangi orang lain masuk. Ini pun dipuji pula. Saya tidak, ini namanya sama saja, “merasa alim sendiri.” Di negara mayoritas Islam saja pasti Anda akan diminta pindah apalagi di Eropa. Yang ketidak-tidak saja yang diperbuat.Ini: bercadar di Eropa, ditegur, ngamuk. Ini apa namanya, membela diri sendiri, membela keyakinan, membala Islam atau menciderai agama Islam? Eropa itu jelas rumahnya agama lain, bukan Islam, meski sekarang banyak pemeluk Islam di sana. Ada namanya Fikh Minoritas, yang antara lain, meminta kita umat Islam yang menjadi minoritas di suatu tempat agar beradaptasi, jangan mentang-mentang. Jaga agamamu dan jaga dirimu. Bercadar tak dilarang dalam Islam, meski di komunitas Islam itu sendiri yang bercadar itu minirotas, jumlahnya sangat sedikit. Tapi, Anda jangan merasa bahwa Anda yang paling benar di tengah masyarakat yang tak mengenal atau belum mengenal Islam. Atau, mengenal tapi yang buruk-buruknya saja.

Kita disuruh Allah travelling, pai raun-raun agar diketahui bumi dan manusia ciptaan Allah di tempat lain, bukan untuk sok beragama. Di hotel bisa, gabung saja shalat siang itu, jika tak bisa sambil duduk saja di atas movil, jangan mencolok. Kalau diperbuat shalat di trotoar, cari ilik-ilik, cari gara-gara, sekaligus menunjukkan, asal kewajiban selesai, selesai pula perkara.Ternyata beragama itu, ringan, tapi jangan dipersulit dan jangan demontstratif, kecuali memang dimaksudkan untuk itu, misalnya azan di tengah kota London dan disaksikan ribuan umat Islam dan Kristen. Atau azan di masjid di sebuah kota di Jerman memakai pelantang suara, karena sudah diizinkan, itu adalah kampanye baik untuk hal baik.

Yang terasa di Indonesia, ketika muncul pria bercelana cangkring dan berjenggot panjang. Ditolak di dalam hati tapi, tak dikatakan dan lambat-laun bisa diterima walau masih “hati masih berkata.” Kasus Indonesia ini lebih lembut karena sesama kita. Umat bisa menerima kenyataan itu, walau banyak yang masih geleng-geleng kepala.Jadi beragama itu, ada aturannya, ada fikihnya, tidak asalan saja. Keselamatan diri dan pandangan miring pada agama Islam, mesti dijaga sebaik-baiknya, sebab pemeluk Islam, bukan Anda seorang, namun miliran. Itu mesti dijaga, apalagi yang jalan-jalan ke negeri orang, bukan Anda saja, tapi ratusan juta umat Islam lainnya. Jangan babana surang, nan di awak se nan balaku. Menjaga nama baik Islam, lebih penting menurut saya, ketimbang menjaga jadwal shalat Anda yang sedang travelling. Telah disediakan tata cara shalat di atas kendaraan, di tempat jauh ketika Anda musafir. Tengganglah agamamu, antara lain, dengan caramu bertindak.(**)

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini