Rekam Jejak Hasil Indonesia dalam Sengketa Perdagangan Internasional

Foto Harian Singgalang
×

Rekam Jejak Hasil Indonesia dalam Sengketa Perdagangan Internasional

Bagikan opini

Oleh Defiyan CoriEkonom Konstitusi

Indonesia sebagai Negara Kesatuan berdaulat yang berbentuk Republik tidak bisa menghindari interaksi dengan negara lain dalam hubungan luar negerinya, termasuk perdagangan internasional. Ditengah proses interaksi dengan negara lain itu, tidak jarang terjadi sengketa sampai berujung konflik bilateral, regional dan internasional walaupun perjanjian kerjasama atau kesepakatan telah disahkan secara hukum. Namun, sengketa antarnegara seringkali tidak bisa terhindarkan dalam hubungan internasional.Beberapa sumber utama atau faktor penyebab yang dapat menimbulkan sengketa antarnegara biasanya terkait persoalan politik ekonomi, diantaranya adalah masalah perbatasan, sumber daya alam, kerusakan lingkungan, status kepemilikan suatu pulau, status kewarganegaraan, ketenagakerjaan dan perdagangan antar negara. Indonesia pun pernah mengalami berbagai sengketa terkait sumber-sumber penyebabnya tersebut. Hasil akhir dari penyelesaian sengketa seringkali Indonesia posisinya tidak diuntungkan.

Yang terkait persoalan perbatasan, Indonesia pernah bersengketa dengan Malaysia atas klaim dua pulau di perbatasan Kalimantan Timur, tepatnya di Selat Makassar, yaitu Pulau Sipadan dan Ligitan yang terjadi pada era pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputeri. Sengketa atas Pulau Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dan Malaysia ini sebenarnya telah terjadi sejak 1967. Pada akhirnya pada tahun 2002, Mahkamah Internasional memutuskan bahwa kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan jatuh pada Malaysia. Keputusan ini didasarkan pada bukti-bukti sejarah yang diterima Mahkamah Internasional dari Malaysia. Dokumen dari pihak Malaysia membuktikan bahwa Inggris, yang dulu menjajah Malaysia, lebih dulu memasuki pulau-pulau tersebut.Dibidang perdagangan, tidak sedikit kasus sengketa yang telah dan sedang dihadapi oleh pemerintah Indonesia. Indonesia saat ini tengah menempuh jalan terjal akibat tuntutan di Organisasi Perdagangan Dunia (Word Trade Organization/WTO) atas kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel yang dilakukan oleh pemerintah.

Gugatan berawal dari sikap atau kebijakan pemerintah yang menghentikan ekspor bahan mentah mineral, yaitu bijih nikel yang akan dikembangkan produk mentahnya tersebut di dalam negeri untuk menciptakan nilai tambah ekonomi berkali-kali lipat.Pertikaian atau sengketa dagang dengan negara lain yang dihadapi Indonesia ini ternyata bukan hanya sekali atau dua kali terjadi. Kebijakan pembatasan impor (import restriction) yang tidak diimbangi dengan kemampuan pendampingan hukum atau advokasi dalam sengketa dagang telah membuat negara Indonesia sering mengalami kekalahan di sidang World Trade Organization (WTO) selama beberapa tahun terakhir. Indonesia pernah mengalami kekalahan dalam persidangan internasional terkait kebijakan aturan impor hortikultura, hewan dan produk hewan serta anti dumping kertas berlapis yang masing-masing diajukan oleh negara Amerika Serikat dan Selandia Baru tahun 2014 dan Amerika Serikat tahun 2015

Apalagi terkait soal pelarangan ekspor nikel yang belum selesai di meja peradilan internasional. Persoalan kekalahan Indonesia atas gugatan hukum perdagangan di Organisasi Perdagangan Dunia (Word Trade Organization/WTO) seolah tiada hentinya. Yang mutakhir, adalah dinyatakan kalah secara resmi pada sidang 17 Oktober 2022 lalu, dan pemerintah tak tinggal diam atas kekalahan tersebut serta mengajukan banding dalam sengketa DS 192 WTO itu. Dan, potensi pemerintah Indonesia untuk menghadapi kekalahan dalam persidangan internasional lebih besar meskipun peluang memenangkan juga ada.Namun, apabila pemerintah Indonesia dinyatakan bersalah lagi oleh hakim dalam peradilan banding nanti, maka konsekuensinya paling tidak pemerintah Indonesia harus membayar kompensasi kepada pihak yang memenangkan gugatan dengan nilai yang tidak kecil atau maksimal 50 persen dari manfaat yang telah diambil dari kebijakan pelarangan ekspor nikel itu. Sebagai informasi awal, berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), investasi smelter nikel di Indonesia hingga 2024 mendatang diperkirakan mencapai US$ 8 miliar atau sekitar Rp119 triliun (asumsi kurs Rp 19.000 per 1US$).

Sengketa perdagangan ini baru menyangkut satu komoditas, bagaimana halnya dengan komoditas lain seperti minyak dan gas bumi, perikanan dan kelautan, perkebunan sawit dan lain-lain? Bagaimana sebenarnya kesiapan pemerintah Indonesia, pengusaha swasta dan BUMN dalam memverifikasi rekam jejak rekan dagang dan dokumen perjanjian kerjasama secara hukum agar tidak dirugikan (wanprestasi) dan kalah dalam forum arbitrase atau peradilan internasional? Jangan sampai, ada kasus perdagangan internasional komoditas terjadi dalam forum arbitrase atau peradilan internasional terjadi berulang kali dengan kasus yang sama, yaitu tidak mencermati rekam jejak dan abai dalam dokumen perjanjian. Dampaknya keuangan negara akan tergerus puluhan sampai ratusan triliun akibat kesalahan oknum pengelola kerjasama perdagangan internasional, baik perusahaan swasta maupun BUMN!

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini