Akhirnya Saya Temukan Juga Kantor Soenting Melajoe

Foto Harian Singgalang
×

Akhirnya Saya Temukan Juga Kantor Soenting Melajoe

Bagikan opini

Khairul JasmiPasa Gadang, tertua di Padang. Pada Rabu (30/8) setengah dua siang, terlihat sepi. Saya sudah tiba di sana, setelah menikmati makan siang di Rumah Makan Pak Gole tepi rel dan ngopi di The Black Kopi juga di sisi rel. Tak jauh dari sana terlihat truk besar tanpa dinding sedang memuat semen.

Saya saksikan kereta api kosong lewat menuju Pulo Air. Rel itu ditutup 1984 dan baru aktif kembali. Serasa Padang kembali seperti kota zaman lampau nan sibuk, meski sekarang tak sibuk-sibuk amat.“Nah, empat petak sebelum Masjid Muhammad, ada gudang cat biru, di situlah dulu percetakan koran dan kantor surat kabar,”kata Khairul, SH., mantan lurah Pasa Gadang yang sekarang maju sebagai caleg dari Golkar untuk Padang. Kami meyakini, itulah dulu kantor surat kabar dan percetakan Oetoesan Melajoe dan Soenting Melajoe. Di kedua koran itu ditulis, alamatnya Pasar Gadang. Tak ada percatakan lain di jalan tersebut sejak dulu, kecuali di kawasan Pondok, misal milik koran Sinar Sumatera.

Saya membayangkan, tahun-tahun 1912 sampai seterus, kesibukan di kantor koran ini, mirip-mirip koran sebelum zaman online. Mahyuddin Dt Sutan Maharadja, yang pemuka masyarakat itu, yang muda dan lincah itu, terlihat bergegas keluar kantor, naik mobilnya dan meluncur entah kemana. Di dalam gedung mesin cetak Snelpersdrukkerij, mesin cetak berkecepatan tinggi. Mesin cetak itu, panjangnya kira-kira 3 meter, bagian tengah agak tinggi, tempat plat dipasang, bagian belakang tempat kertas koran yang sudah dipotong, disusun. Kertas bergulung itu, dipotong-potong dulu. Lalu ditarik mesin masuk menggulung mengiikuti plat yang berputar dan keluar di ujung sudah jadi koran.Petugas lipat akan bekerja dengan sigap. Mesin cetak untuk buku ada lagi tapi mesin yang sama sebenarnya bisa dipakai juga. Mesin-mesin cetak semua surat kabar di Padang dikirim dari Belanda melalui Batavia.

Saya juga membayangkan, pertemuan berkala antara Ratna Juwita dan Ruhana Kuddus, entah di Padang, Bukittinggi atau kota lain. Dou wartawati ini, juga korannya sering dikritik oleh kalangan yang tak ingin kaum perempuan maju. Tapi, redaktur diberi semangat oleh seorang penulis bernama Oepik Itam dari kaki Gunung Marapi. Ia menulis Agustus 1912. Jangan takut, jangan gentar katanya, sebab perempuan harus maju. Penulis ini, diyakini adalah tamanan sekolah agama di kampungnya Bunga Tajuang, Pitalah yang kemudian mengejutkan Hindia Belanda. Ini disebabkan pada 1927 ia memimpin demontrasi terbesar di Sumatera Tengah, menggugat Belanda, sehabis pemberontakan Komunis. Ia ditahan bertahun-tahun di penjara Wanita Boeloe, Semarang.Demikianlah pada Rabu, saya memotret eks kantor Soenting Melajoe, semoga saya tidak salah. Ini, sangat penting, karena saya akan menulis novel biografi Ruhana Kuddus. Korannya lengkap semua edisi sejak 1912 sampai edisi terakhir 1921 saya sudah dapat. Berikut, yang perlu adalah kala usia 6 tahun ia ikut ayahnya ke Alahan Panjang sebagai juru tulis kantor jaksa. Di sanalah ia pandai membaca dan menulis. Usia 8 tahun jadi guru bagi puluhan anak-anak dan emak-emak di Tonang dekat Talu. Suara lengkingnya membacakan koran Pelita Ketjil, buku, serta membaca Al Quran, menjadikan Ruhana Kuddus, guru tercilik sepanjang sejarah Indonesia. Ia tak pernah sekolah, tapi jadi guru dalam usia yang tak masuk akal. Setelah dewasa, jadi guru benaran di Medan. Dia adalah orang pertama di negara ini, yang dengan yakin meminta:

“Buatkan saya koran.”“Jadi. Siapa akan jadi redakturnya?”

“Saya. Tapi, saya tak bisa ke Padang, saya tetap di Koto Gadang”“Jadi . Di Padang dibantu anak saya saja,”kata Datuk Bangkit. Itulah, Soenting Melajoe yang kantornya di Pasa Gadang.

Menurut Khairul, para wartawan zaman lampau sampai 1960-an sering nongkrong di Gedong Joeang ujung jalan Pasa Gadang. “Wartawannya di sana, percetakannya di dekat masjid,” kata dia.Saya sudah lama mencari-cari dimana kantor surat kabar hebat itu dulu. Soenting Melajoe , grup Oetoesan Melajoe, yang diterbitkan di Padang oleh Snelpersdrukkerij, “Orang Alam Minangkabau”dengan bosnya Datuk Sutan Maharadja, pemilik sejumlah surat kabar, toko buku dan percetakan. Ia kaya dan intelek. Ia pemangku adat. Di Soenting Melajoe ada duo redaktur, yaitu Zubaidah Ratna Juwita, anak Pak Datuk, bermukim di Padang kedua Siti Ruhana di Koto Gadang. Kemudian tahun-tahun akhir Ratna Juwita mundur, masuk dua pengganti, Noerma di Padang, Siti Noersiah di Pasar Johor, Kayutaman dan Amna di Benkoelen.

Mencari berhari-hariSaya berusaha mencari berhari-hari dimana sebenarnya Datuk Sutan Maharadja atau Datuk Bangkit, orang Sulik Aie tersebut punya percetakan, koran dan toko buku. Tiba-tiba saya melihat kantor Lurah Pasa Gadang, tapi saya tak ke sana. Ditanya Amizal Rengganis, kawan di Balaikota. Kemudian dapat nomor lurah dari Pak Sekda Padang. Asca, wartawan lincah itu mengirim nomor bekas Pak Lurah ke saya.

“Namanya Pak Khairul Pak, caleg liau sekarang, fotonya ada di pohon kayu awak caliak, hehehe” kata dia. Rupanya Khairul itu kawan saya, dulu di Damkar Padang. Dialah yang menguraikan kepada saya detail Pasa Gadang.“Saya asli Pasa Gadang,” katanya. Sembari menunjukkan ke saa link tulisannya soal kampungnya itu. Berkali-kali saya berusaha meyakinkan diri dengan menggugatnya, “benarkah itu kantor surat kabar dulu?”

“Iyo. Ambo bekas lurah, urang siko pulo lai, indak salah doh,”kata dia. Jika salah, maka yang salah adalah saya, bukan dia.Demikianlah saya berhenti sebelum masjid yang terkenal itu. Gudang sekarang, tapi kosong dan ada pengumuman, “disewakan.” Bangunan itu diberi nomor 43. Di dalamnya doeloe terjadi kesibukan karena ada dua koran dengan halaman tabloid yang dicetak. Juga buku, kuitansi, kop surat serta berbagai hal lainnya. Buku Bahasa Belanda, Inggris, Arab. Buku itu ada buku ilmu pengetahuan dan kisah serta riwayat dalam sejarah Islam. Iklannya selalu ada di kedua koran milik konglomerat percetakan itu.

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini