Buku Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawy karya Khairul Jasmi: Novel atau Biografi?

Foto Harian Singgalang
×

Buku Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawy karya Khairul Jasmi: Novel atau Biografi?

Bagikan opini

Siapa yang belum kenal Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy? Jawabannya, “Banyak.”. Bahwa, dari namanya pakai Al-Minangkabawy, menunjukkan bahwa dia orang Minangkabau? Iya. Bahwa dia orang non-Arab pertama yang diangkat sebagai Khatib dan Imam di Masjidil Haram? Iya. Bahwa murid-muridnya dikenal sebagai pendiri ormas Islam terbesar saat ini? Iya. Bahwa ajarannya tentang kemerdekaan dan kebangsaan mengilhami banyak pejuang kemerdekaan Indonesia? Iya Dan banyak bukti lain tentang ketokohannnya yang bisa diperoleh jika membaca biografinya.Tetapi, mengapa banyak orang (bahkan orang Minangkabau) belum mengenalnya? Jawabannya mungkin karena namanya tidak tercatat dalam buku pelajaran sejarah di sekolah, sebagaimana nama:  Dr. Mohammad Hatta, Haji Agus Salim, HAMKA, Natsir, dan lain-lain. Buku-buku tentang kehidupan beliau amat langka, bagaikan mata air di padang pasir.

Nah, kehadiran buku Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy: Guru Para Ulama Indonesia yang ditulis oleh Khairul Jasmi (Penerbit Republika, Agustus 2023) adalah suatu hal yang pantas untuk dielu-elukan. Ada beberapa alasan untuk itu, antara lain:Pertama, isi buku, biografi, ditulis dengan gaya bahasa sastra, yang oleh KJ (Khairul Jasmi) disebut sebuah novel biografi. Seperti dituliskan Dr. Suryadi, M. A., staf pengajar Universitas Leiden, Belanda, yang menyebut buku ini sebagai “buku yang merekonstruksi peristiwa sejarah dengan leteracy style.”. Sementara Dr. Abdullah Khusairi, dosen UIN Imam Bonjol, menyebut buku ini sebagai , “Novel yang sarat dengan data sejarah”.(hal. vii)

Kepiawaian KJ menulis novel biografi tidak perlu diragukan. Selain dikenal sebagai wartawan senior Indonesia, KJ juga seorang sastrawan yang telah menulis beberapa karya sastra, seperti kumpulan cerpen. Di bidang ilmu sejarah, KJ adalah sarjana jurusan sejarah dari Universitas Negeri Padang. Gaya bersastra dalam menulis biografi sudah kelihatan sejak menulis bab-bab dari buku ini. Kalau biasanya penulis biografi mengambil patokan bab berdasarkan sekuen waktu, KJ malah menggunakan peristiwa (alur dalam karya sastra). Judul bab dalam buku ini, misalnya: Hidup di Kampung, Dipanggil ke tanah suci, Hari-hari di Mekkah, dll.Dari segi diksi, pilihan kata, KJ juga sangat deskriptif. Lihatlah bagaimana dia menggambarkan sosok Ahmad Khatib di waktu muda pada bagian pembuka novel biografi tersebut.

“Anak bujang bermata bundar itu sudah tak punya siang, tak punya malam, kecuali menjelang dinihari...(hal. 3)Atau, bagaimana KJ membangun dialog (salah satu ciri khas novel), yang sangat menyentuh.

“Tak usah jadi petani, tulangmu lunak,” kata ayahnya.“Jangan jadi pedagang, ku tak kan kuat,” kata neneknya.

Ibunya, Aminah, ingin anaknya sehat, tumbuh cerdas, dan berbakti kepada orang tua dan agama.“Kau ikuti saja apa kata ayahmu. Pasti itu yang terbaik bagimu. Bisa belajar sama beliau siang dan malam,” katanya.

Atau bagaima kefasihan KJ menggunkan majas untuk mengungkapkan konflik batin (ciri novel) ketika Ahmad Khatib kehilangan istri tercintanya. KJ menuliskan begini.“Langit seolah akan runtuh di hadapan Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabay saat istrinya, Khadijah, pergi untuk selama-lamanya.” (hal. 193)

Ketelitian  KJ sebagai alumni jurusan sejarah dalam mencatat peristiwa juga pantas dipujikan. Lihatlah bagaimana KJ mencatat ulama-ulama Nusantara yang pernah bermukim di Mekkah sebelum Ahmad Khatib tiba (hal. 64). Dia (KJ) mencatat nama antara lain: Syech Ahmad Khatib Sambas, wafat 1875; Syech Nawawi Banten, wafat 1879, dll. Atau bagaimana KJ dengan cermat  mencatat dan menggambarkan kota perdagangan di Minangkabau (Pariaman dan Padang)  pada abad ke 19. (hal. 96- 99).Kedua, buku berisi biografi Syech Ahmad Khatib yang ditulis dalam Bahasa Indonesia masih langka. Apalagi, yang ditulis dengan gaya bahasa sastra. Ketika saya coba mencari buku sejenis di internet, hanya terdapat satu buku lain tentang biografi Syech Ahmad Khatib. Sementara, yang berbentuk novel biografi Syech Ahmad Khatib, buku ini adalah satu-satunya. Buku ini menjadi istimewa karena sangat jarang ahli sejarah yang bisa menulis peristiwa sejarah dalam bentuk novel. Begitu juga, sangat jarang sastrawan yang bisa menulis novel dengan data sejarah.

Ketiga, isi buku ini sangat perlu diketahui dan dipahami oleh masyarakat, terutama masyarakat Minangkabau. Selain berisi biografi, ketokohan Syech Ahmad Khatib, bersamaan dengan itu juga terdapat banyak informasi tentang peristiwa di Sumatera Barat di sekitar abad kesembilan belas, serta hubungannya dengan keadaan di Kerajaan Saudi Arabia, terutama Kota Mekkah.Juga terdapat pembahasan tentang adat Minangkabau. Misalnya tentang hukum warisan, harta pusaka, di Minangkabau ditinjau dari sudut pandang agama Islam (hal. 213-218). Juga terdapat penjelasan tentang pelaksanaan ibadah menurut beberapa mazhab dan tarekat yang berkembang (hal. 237-241)

Begitu banyak nya informasi, tidak hanya  tentang ketokohan Syech Ahmad Khatib Al-Minangkabawy, juga tentang keminangkabauan, rasanya buku ini perlu dibaca oleh banyak kalangan urang Minang, apalagi generasi mudanya. Adalah suatu hal yang memalukan jika tokoh sekaliber Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy tidak dikenal oleh kebanyakan orang Minang.Seandainya saya adalah seorang pejabat pemerintahan, saya akan gunakan sebagian kecil dana APBD untuk pengadaan buku ini dan akan saya distribusikan ke berbagai perpustakaan rakyat di nagari-nagari. Andaikan saya adalah kepala SLTP dan SLTA, saya akan beli beberapa buku ini dengan dana BOS untuk dijadikan koleksi perpustakaan sekolah. Saya akan suruh para siswa membaca buku ini sebagai kegiatan literasi. Tapi, saya hanya orang biasa, yang hanya bisa beli dua eksemplar saja. Satu buku saya tarok di perpustakaan pribadi, dan satunya lagi akan saya sumbangkan ke perpustakaan di kampung saya. Semoga ada manfaatnya. (IJ.Nauman. Channel)

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini