Bertamu ke Rumah Cucu Ruhana Kuddus

Foto Harian Singgalang
×

Bertamu ke Rumah Cucu Ruhana Kuddus

Bagikan opini

Oleh Khairul JasmiSaya sampai di rumah cucu Ruhana Kuddus, Eddy Juni di kawasan Jakarta Timur pada Senin (21/8). Ke sana minta izin untuk menulis novel biografi neneknya yang pahlawan nasional itu.

Rumah yang adem. Di depan ada dua kursi dan satu meja kecil, untuk duduk kala pagi atau senja. Di ruang tamu, yang diisi kursi dan meja itu, saya duduk. Di dinding ruang keluarga tampak foto atau lukisan Ruhana Kuddus yang batingkuluak. Eddy, cucu Abdul Gani Sutan Mangkuto, saudagar dan kontraktor pengangkutan kopi zaman Belanda ini, terlihat necis, tipikal pensiunan dan lulusan ITB. Rambut sudah putih. Uban semua, seperti juga saya, bedanya, oleh saya uban dicat, hehehe.

Eddy menceritakan tuonya itu, seorang yang kepeduliannya pada perempuan dan pendidikan tak tertirukan. Tak sekolah, otodidak dan lihai baca tulis. Dari jendela rumah gadangnya, si kecil Ruhana membaca koran dengan suara lengking, ketika ia belum baligh. Ada yang bisa seperti itu di zaman penjajahan? Atau sekarang? Pada usia belum 10 tahun sudah jadi guru bagi anak-anak di Simpang Tonang di rumah dinas ayahnya. Ia bacakan koran dan buku. Ia ajari anak sebayanya menulis Latin dan Arab. Juga orang dewasa. Rangkayo Ruhana lahir pada 1884, dan pada usia 27 tahun yaitu 1911 bersama kawan-kawannya di Koto Gadang, mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia. Kawan-kawannya itu, antara lain: Rangkayo Rekna Poeti (Mak Tjang). Rangkayo Hadisah, Rangkayo Adisah dan Rangkayo Rabai, serta Rangkayo Fatimah. 

Setahun kemudian, ia menulis surat pada konglomerat pers Minangkabau, Mahyuddin Datuk Sutan Maharadja. Bos koran Utusan Melayu grup ini, terkejut. Ada yang minta dibuatkan koran khusus perempuan. Ia pergi benar ke Koto Gadang.Percakapan persisnya kita tidak tahu, tapi kira-kira:

“Yo lai sabanahe ko ka dibuek an koran?”“Iyo engku, sabanahe.”

Tentu ada percakapan panjang lainnya menyangkut keinginan dan pengelolaan sebuah surat kabar. Intinya “oke. " Maka terbitlah Soenting Melajoe, koran perempuan pertama di Hindia Belanda. Ruhana dan anak Datuk Mahyuddin, Zoebaidah Ratnadjoewita bertindak sebagai redaktur. Koran ini berhenti terbit pada 1921 ketika yang punya meninggal dunia. Di zaman penjajahan, usia koran 9 tahun, mengejutkan karena panjangnya. 

Tiga tahun kemudian 1924 muncul majalah bulanan perempuan diterbitkan oleh Syekh Abdul Syakur di Balai Gurah. Salah seorang wartawatinya adalah anaknya sendiri, Sja’diah Syakur.Pak Eddy yang sudah berusia 80 tahun dan masih segeh itu, berkisah tentang neneknya menyangkut banyak hal. Salah satunya tentang si Buyung  sapaan akrab Ruhana pada adik tirinya, Sutan Sjahrir.

Di rumah anaknya Ruhana lama duduk di teras. Membuat heran anak dan cucunya saja. "Manga One duduak sinan?" 

"Si Buyuang ka tibo" Tak lama kemudian, terlihat lelaki  pendek melangkah panjang-panjang. 

" Nah tu nyo tibo si Buyuang." Yang ia sebut Buyung adalah adik tirinya, Sutan sjahrir. Rumah yang ditempati anak Ruhana persis berada sebelah kiri gubernuran, jika kita menghadap ke kantor gubernur Sumbar. Sjahrir baru saja rapat di sana dan bergegas mampir. Peristiwa itu terjadi pada 1953.

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini