Urang Minang Hanyuik dan Minang Karam, Tak Tau Diri

Foto Harian Singgalang
×

Urang Minang Hanyuik dan Minang Karam, Tak Tau Diri

Bagikan opini

Oleh Dirwan Ahmad Darwis(Pencinta sejarah, budaya dan bahasa Minangkabau)

Beberapa waktu lalu tepatnya tahun 2018, saya melakukan penelitian terhadap aspek kesantunan dalam bahasa Minangkabau. Yakni tentang Langgam Kato Nan Ampek (kato mandata, mandaki, malereang dan manurun) sebagai salah satu unsur penting ciri khas yang sangat menentukan jati diri budaya seorang Minangkabau.Subyek penelitian adalah sekelompok para tokoh budayawan Minangkabau (seniman, sastrawan dan lain-lain) di Sumatera Barat. Kenapa budayawan? Karena beliau-beliau itu mempunyai tanggung-jawab moral untuk mempertahankan atau melestarikan adat budaya Minangkabau. Lalu, sebagai perbandingan saya juga mengambil data dari para tokoh-tokoh terkait lainnya, seperti pemerhati budaya, termasuk sejarawan dan para tokoh-tokoh kritis lainnya yang punya perhatian dan kepedulian terhadap persoalan soio-budaya Ranah Bundo ini.

Setelah melalui proses tela’ah serta penilaian, hasilnya sangat mengejutkan. Ternyata kalangan budayawan sendiri kebanyakannya secara kebudayaan juga sudah banyak yang hanyuik dan tagadai. Berangkat dari hasil penelitian tersebut, akhirnya saya membagi orang Minangkabau zaman kini menjadi tiga kelompok. Pertama; orang Minangkabau yang secara kebudayaan masih dinilai sebagai Minang asli, kedua;Minang hanyuik atau tagadai (hanyut atau tergadai), dan ketiga;Minang karam atau tajua (tenggelam atau terjual).Ciri-ciri orang Minangkabau asli itu, antara lain masih berbahasa dan berbudaya Minangkabau. Karena dasar jati diri Minangkabau itu adalah Adaik Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK). Disebabkan adanya pengaruh ajaran adat dan agama yang sudah tertanam dan menyatu dalam dirinya, dan diamalkan dalam kehidupan, maka dalam keseharian, melalui sikap dan prilakunya akan terlihat ia sebagai seorang yang beradat dan beradab. Juga terlihat ada kebanggaan pada dirinya sebagai seorang Minangkabau.

Minang hanyuik Minang tagadaiDikatakan hanyuik atau tagadai, karena secara kebudayaan orang-orang ini memang sudah hanyut dan tergadai. Sifat dari suatu benda yang hanyut, ia masih dapat dipintas untuk diselamatkan, dan sifat sesuatu yang tergadai ia masih bisa ditebus untuk diambil kembali. Dalam masyarakat Minangkabau zaman kini, kelompok hanyut dan tergadai inilah yang paling banyak jumlahnya. Tidak pandang bulu, kalangan Minang hanyuik dan tagadai ini juga terdiri dari para tokoh-tokoh, cendikiawan dan pemimpin.

Orang hanyut biasanya sering tergapai-gapai, dan dalam kehidupan nyatasehari-hari, mereka yang hanyut ini terbawa oleh arus pengaruh modernisasi dan globalisasi. Lazimnya sesama orang Minangkabau sendiri, kelompok yang merasa orang-orang moderen ini perasaan gengsinya sangat tinggi. Mereka lebih nyaman berbahasa Indonesia ketimbang berbahasa Minangkabau. Jika dalam suatu pembicaraan, meskipun lawan bicaranya sudah berbahasa Minangkabau, tapi tanpa sadar dia akan dengan sendirinya berbahasa Indonesia. Itulah Minang hanyuik Minang tagadai!Lebih parah lagi, ada kelompok Minang hanyuik  ini, adakalanya ia akan tetap mengaku sebagai orang Minangkabau, namun itu tergantung keadaan. Jika keadaan itu membuat mereka nyaman, maka ia akan mengaku sebagai orang Minangkabau. Namun ketika berada pada keadaan kurang nyaman, kebiasaannya mereka enggan mengaku sebagai orang Minangkabau. Biasanya mereka akan mencari alasan-alasan tertentu dengan pesat tersirat bahwa mereka adalah orang-orang modern yang tidak terlalu peduli dengan hal-hal keminang-kabauannya. Demi gengsi, ada dusta atau ketidak-jujuran dalam dirinya.  Itulah Minang hanyuik Minang tagadai!

Kelompok hanyut ini biasanya terdiri dari orang-orang yang tidak memiliki dasar-dasar pengetahuan dan pemahaman yang memadai tentang sejarah dan budayanya. Inilah yang membuat jati diri mereka lemah karena secara kebudayaan mereka adalah orang-orang yang “tidak tau diri”, karena memang tidak mengetahui siapa diri mereka sebenarnya. Karena terkadang merasa seperti orang Barat, kadang seperti orang Korea, ada juga yang merasa seperti orang Arab. Makanya mereka lebih nyaman berbahasa Indonesia atau Inggris, yang merasa Arab suka pakai ana dan antum, bahkan hari-hari belakangan ini bahasa sudah dicampur-campur pula dengan bahasa Inggris. Seolah-olah memberi kesan  bahwa mereka adalah orang-orang moderen dan terdidik, pada hal mereka adalah orang-orang yang tertipu.Dalam teori pasca-penjajahan, gejala seperti ini diistilahkan sebagai ‘mimikri’ yakni orang-orang yang masih punya mental terjajah. Bagi mereka, berbahasa Minangkabau itu terasa kampungan dan terbelakang. Di sisi lain, cara berpikir orang-orang mimikiri ini, bagi yang berkemampuan secara ekonomi, mereka akan berusaha menjaga jarak dengan sejarahnya, dengan budayanya, dan bahasanya. Lalu, akan menyekolahkan anak cucunya ke luar negeri, atau ke sekolah internasional, selain untuk gengsi, juga ada keinginan untuk menghapus jejak budayanya terhadap anak keturunan berikutnya. Mereka hanyut dan tergadai dalam gelombang modernisasi dan globalisasi. Dapat dipastikan, anak-anak cucu keturunan mereka itu terancam menjadi orang-orang yang kehilangan jati dirinya sebagai anak-anak Minangkabau. Mereka akan menjadi urang Minang karam dan tajua.

Minang karam dan tajua Kelompok ini dikatakan karam atau terjual, karena sifat dari sesuatu benda yang sudah “karam” biasanya dikaitkan dengan sesuatu yang sulit untuk ditemukan, ibarat hilang tak tentu rimbanya. Sedangkan kata “terjual” (tajua) berbeda dengan tergadai yang masih bisa ditebus. Sesuatu yang sudah terjual kalau kita ingin kembali untuk memilikinya, bisa jadi pemilik yang baru tidak mau lagi menjualnya, atau mungkin ia akan menjualnya dengan harga yang jauh lebih mahal dan tidak terjangkau.

 Dalam hal ini, kelompok urang Minangyang dianggap sudahkaram atau tajua itu adalah mereka yang memang sudah hilang dan pupus jati diri budayanya sebagai orang Minangkabau, mereka tenggelam dan hilang dalam pengaruh budaya lain. Hal ini sering terjadi terhadap anak-anak Minangkabau yang lahir dan besar di rantau, atau anak-anak yang kendatipun lahir dan berasal dari kampungnya di Minangkabau, tapi setelah dewasa tidak pernah atau kurang bersentuhan dengan hal-hal yang bersifat sejarah dan budayanya. Apa lagi kalau kedua orang tuanya juga termasuk kelompok orang hanyut, atau anak-anak itu berasal dari hasil perkawinan campuran. Di mana salah satu orang tuanya yang bukan asal Minangkabau tapi berperan dan berpengaruh lebih dominan dalam keluarga, maka anak-anaknya cenderung akan karam atau terjual secara kebudayaan.Anak-anak itu kelak tidak lagi akan merasa punya keterikatan bathin dengan tanah leluhurnya di Minangkabau, dengan budaya asalnya, buta sejarah dan sama sekali tidak paham bahasa asalnya. Inilah yang membuat sebahagian besar mereka tidak lagi merasa bahagian dari orang Minangkabau, dan hal itu seringkali terlihat dari prilaku budayanya itu.Disamping itu, terdapat juga orang-orang Minangkabau karam dan terjual ini yang kehilangan jati diri budayanya diperantauan, namun faktor penyebab biasanya tetap karena kurangnya pengetahuan sejarah dan budaya. Seringkali disebabkan faktor itu seseorang jadi berubah dan memandang rendah budayanya, malu atau gengsi serta enggan mengaku sebagai orang Minangkabau, karena merasa sudah jadi orang kota yang moderen. Seorang dengan tipe seperti ini sesuai juga disebut sebagai seorang murtad secara kebudayaan, karena keadaannya mirip atau sama dengan orang yang murtad karena pindah atau keluar dari agama Islam.

Modernisasi dan globalisasi merambah negeriZaman sekarang, akibat gelombang modernisasi dan globalisasi yang sangat kuat dan dahsyat, pengaruh sosio-budaya ini sebenarnya bukan hanya terjadi kepada orang Minangkabau saja. Ia adalah gejala umum, mewabah dari kota hingga ke pelosok kampung, serta merambah ke kelompok masyarakat berbagai suku/kaum lainnya. Permasalahan yang melanda orang Minangkabau ini adalah contoh nyata, terjadinya perubahan sosial yang sangat merugikan masa depan Minangkabau, ini karena semua tertipu dalam strategi perang budaya yang tidak dimengerti sama sekali.

Seiring berjalannya waktu, kini di ranah Minangkabau, muncul generasi baru dengan budaya baru. Mereka ini adalah generasi “indomi” (Indonesia-Minangkabau), yang lahir dan besar di Minangkabau, tapi dalam keseharian berbahasa Indonesia, yang merasa sebagai orang-orang moderen. Mereka adalah generasi omba-omba yang hidup dalam fatamorgana, tidak berpijak di bumi nyata, tercerabut dari akar budayanya, dicabut sendiri oleh para orang tua mereka, yakni para orang tua korban penjajahan gaya baru atau neo-kolonialisme. Mereka itulah orang-orang yang kalah dalam perang budaya, tapi merasa hebat. Begitulah cerdasnya strategi penganiayaan dalam perang budaya di bawah neo-kolonialisme itu.Zaman berganti musim bertukar, para pemimpin datang dan pergi silih berganti.Disebabkan para pemimpin hari ini sebahagian besar nampaknya juga terdiri dari orang-orang hanyut, yakni orang-orang yang tidak paham makna dan manfaat sejarah, tidak tau manfaat budaya, dan sama sekali tidak tau rahasia penting yang ada dalam bahasa Minangkabau. Alhasil, mereka tidak mampu melihat bahaya apa yang kini sedang mengintai dan mengancam masa depan generasi. Mungkinkah kebudayaan Minangkabau kini sedang menghadapi masa menjelang kematiannya sebagaimana teori Ibnu Khaldun? Kalau memang begitu adanya, tunggu sajalah kematian itu, dan setelah itu bersorak dengan suara parau.

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini