Lakon Politik Badut Politik

Foto Harian Singgalang
×

Lakon Politik Badut Politik

Bagikan opini

Oleh Alizar Tanjung Seorang pemuda yang berlagak bagaikan seorang reporteritu berdiri di tengah jembatan kayu yang disusun sedemikian rupa,lapuk dan berlobang sana-sini. Jembatan ituterlihat lebih mirip seonggok tumpukan papan tua yang dijadikan jembatan penyeberangan. Beresiko besar bagi pejalan kaki dan kendaraan yang lewat. Sedikit saja hilang kehati-hatian saat melewati jembatan, siap-siap saja terjerembat ke dalam sungai.

Reporter dadakan itu bersuara dengan lantang. “Tuan dan Puan yang sedang Bacaleg – bakal calon anggota dewan yang sudah mendaftarkan diri ke KPU – dan bakal calon kepala daerahsangat tepat sekali datang ke jembatan penyeberangan ini. Menyampaikan visi dan misi Tuan dan Puan yang terhormat dalam rangka meraih suara. Ambil foto dan video-video Tuan dan Puan di pangkal jembatan ini. Jadikan foto profil media sosial. Pasang di media sosial bahwa saudara peduli dengan kondisi masyarakat badarai.Tuan dan Puan yang terhormat lakukan pencitraan saudara di sini. Saya yakin banyak yang bakal memilih Tuan dan Puan. Setelah Tuan dan Puan terpilih lupakan jembatan ini, lupakan jeritan suara hati rakyat. Selamat duduk berpangku tangan di kursi empuk Tuan dan Puan.”Suara pemuda itu terdengar begitu bulat. Mimik wajahnya serius. Dia berlagak bagaikan seorang pewarta profesional. Seluruh gestur dia begitus serius. Sakingnya seriusnya saya pikir awalnya dia memang sedang menyampaikan laporan peristiwa. Rupanya pewarta dadakan sedang serius menyampaikan seluruh isi pikirannya yang merasa ditipu oleh lakon-lakon politik. Dia sedang marah dengan para perangai bacaleg, caleg, aleg, dan kepala daerah.

Apa yang disampaikan pemuda itu benar adanya. Apa yang dia sampaikan itu viral di media sosial. Saya menonton dia mewartakan keresahannya di media sosial. Lokasi dan kapan waktunya saya tidak tahu betul dengan pasti. Terlepas dari lokasi dan waktu, ini esensinya pengungkapan dari rasa gundah, kecewa, marah, putus asa, geram, terhadap para pelaku lakon politik.Apa yang diutarakan pemuda itu terjadi di banyak tempat. Sebagai salah satu contoh jalan kabupaten yang mengelilingi Danau Dibawah, kenagarian Kampung Batu Dalam, Kab. Solok. Jalan itu sudah lebih dari lima tahun, hampir mendekati sepuluh tahun tidak tersentuh sama sekali perbaikan pemerintah. Sekarang jalan itu banyak berlubang. Besar-besar lubangnya. Sudah layak menebar benih ikan nila di sana. Sudah bisa pula panen sekali tiga bulan. Sudah bisa pula menanam sebanyak-banyak pokok pisang jantan di sana. Hal yang sama juga berlaku dengan jalan kabupaten yang melewati Kecamatan Lembang dan Bukit Sundi. Mobil atau kendaraan bermotor bakal bergoyang hebat setiap melewati jalan itu, disebabkan begitu banyak lubang yang harus dilalui. Anggota dewan kabupaten dan pemerintah yang sedang memegang kuasa bersipakak banak saja melihat kondisi itu. Seolah-seolah dia tidak mau peduli sama sekali. Janji dan janji ditebar. Setelah duduk tidak terlihat saja batang hidungnya.

Benar apa yang disampaikan oleh Ilham Azre dengan istilah badut politik di grup top100. Lakon politik berganti posisi sebagai badut politik. Janji-jani diubar untuk dikhianati. Janji-janji diubar hanya untuk mendulang suara rakyat. Giliran rakyat butuh lakon politik sudah mulai bertukar wajah jadi badut politik. Kalau ndak ada kepentingan dan manfaat lebih diam dan memilik bersipakak banak. Ilham Azre mengungkapkan dengan istilah majas yang ironi. Badut politik sudah mewakili suara dari mereka yang terluka.Memasuki tahun politik, para lakon politik turun ke galanggang. Ini memang suatu hal yang wajar. Sudah sewajarnya mereka para lakon, aktor, harus menyapa masyarakat dari berbagai lapisan. Mereka para lakon politik atau bahasa lainnya bacalek, caleg, aleg, calon kepala daerah, itu adalah perwakilan dari suara rakyat. Mereka yang duduk di kursi dewan itu bukan mewakili diri mereka sendiri, melainkan mewakili suara rakyat yang memilih mereka. Sudah kewajiban dari mereka untuk turun ke lapangan, menyapa masyarakat, menerima aspirasi masyarakat, meneruskan aspirasi masyarakat, kemudian melakukan penganggaran, mengawal, serta melahirkan perda-perda untuk kepentingan masyarakat. Mereka dipilih bukan untuk berongkang-ongkang kaki di kursi dewan.

Keresahaan yang disampaikan pemuda itu bukanlah sekedar uneg-uneg hati saja. Saya percaya dan yakin, itu pengalaman empiris. Puncak dari kemarahan dan kekritisan itu ia tuangkan di media sosial. Biar viral. Biar pemerintah turun ke lapangan. Sekarang kalau tidak viral pemerintah terkadang lebih cendrung diam terhadap peristiwa genting di lapangan. Kejadian pemuda viralkan jalan di Lampung, pemuda aspal jalan berlubang di Pekanbaru sebagai bukti, setelah viral baru pemerintah turun tangan. Sungguh ironi! Namun apa mau di kata, itulah yang terjadi di tengah masyarakat kita.Rakyat enggak butuh badut politik. Badut politik buang saja ke laut. Campakkan saja ke dalam sungai. Kalau perlu jadikan saja dia bola sepak, tending kian-kemari biar enggak bikin gaduh. Perjuangan politik perjuangan untuk kesejahteraan rakyat. Begitu amanat pembukaan UUD 1945. Badut politik hanya bakal meresahkan saja. Kalau lakon politik sudah berganti peran jadi badut, sansei sudah. Yayai. Yo sabana kapunduang asok.

*Badut Politik. Meminjam istilah dari Ilham Azre. 

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini