Guru Tuo, Tuanku dan Buya

Foto Harian Singgalang
×

Guru Tuo, Tuanku dan Buya

Bagikan opini

Oleh: Duski Samad(Guru Besar UIN Imam Bonjol dan Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat Persatuan Tarbiyah Islamiyah/PERTI)

Dalam khazanah keulamaan lama dan paling awal, di lingkungan pendidikan yang mengajarkan kitab berbahasa arab asli, kitab kuning atau kitab gundul, atau disebut juga pendidikan surau dengan metode mangaji duduk (berhalakah) di Surau, begitu juga pola surau yang berganti bentuk sekolah, yaitu Madrasah Tarbiyah Islamiyah kini mengunakan nomeklatur Pondok Pesanteren ada banyak istilah unik yang penting untuk dirawat sebagai penyemangat bagi generasi mendatang.Guru Tuo, dalam percakapan sehari-hari ucapannya dipotong dengan panggilan Tuo saja. Guru Tuo atau Tuo adalah panggilan penghargaan dari seorang yang lebih kecil kepada yang lebih besar. Guru Tuo, artinya guru yang lebih tua juga dipakaikan dalaam pergaulan mereka yang sama usianya sekalipun, bahkan guru tuo digunakan untuk guru yang pernah mengajar, walau usianya lebih kecil dari murid.

Guru Tuo atau Tuo yang masih kuat dipakai di kalangan Santri Pondok Pesantren Salafiyah, Mangaji Duduk, di sebahagian Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) adalah wujud dari tradisi menghormati ilmu dan ulama serta ciri khas yang tak mesti harus hilang dilindas pembaharuan.Panggilan Guru Tuo atau Tuo juga dapat dikatakan sebagai perwujudan kuatnya hubungan persaudaraan seperguruan yang kelak bila mereka sudah di masyarakat hubungan sa guru ini menjadi perekat sosial. Guru Tuo juga menunjukkan sikap rendah hati, tawadhu' yang menjadi identitas utama ulama abituren pendidikan Surau sama lalu.

TUANKUTuanku adalah gelar keulamaan yang dipasangkan oleh ulama tua guru dari seorang yang menempuh pendidikan pola mangaji duduk di Surau berhalakah.

Gelar Tuanku dilewakan atau diresmikan untuk dipakai bila murid sudah menempuh pendidikan 7 (tujuh) tahun, sudah menamatkan Tafsir, Fiqih, kitab tertentu dan sudah menyelesaikan pengajian tarekat, berbai'ah dengan guru. Tuanku diberikan oleh guru bila menurut sang guru, murid sudah matang dan dapat memanfaatkan ilmunya untuk membimbing umat.Gelar Tuanku ada dua kosa kata, misalnya Tuanku Mudo, Tuanku Sutan, Tuanku Kuning, dan nama lain yang disepakati oleh guru bersama ninik mamak sang murid saat dilakukan upacara mendoa menamat kaji, baik di rumah orang murid atau secara kolektif di Surau tempat mengaji itu.

Setelah seorang menerima gelar Tuanku, maka ia berarti telah siap mengabdi di masyarakat. Lazimnya oleh keluarganya dibuatkan surau dan atau mereka melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Tuanku memiliki kedudukan tersendiri dalam sistim budaya Minangkabau, sebagai bahagian dari alim ulama yang disebut dengan Tungku Tigo Sajarangan, Tali Tigo Sapilin.Sebutan gelar Tuanku juga lahir dari pergerakkan keulamaan. Sebutan Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Lintau, Tuanku Nan Renceh dan Tuanku yang memimpin gerakan Paderi, disebut Harimau Nan Salapan, adalah fakta sosilogis betapa Tuanku memberi pengaruh besar dalam perjuangan keagamaan dan kebangsaan di Minangkabau.

BUYAPanggilan Buya di dunia pendidikan ala surau atau mengaji duduk dipakaikan untuk guru yang senior. Buya digunakan disamping ukuran keilmuan, tua dan wibawanya, Buya juga digunakan sebagai panggilan penganti ayah oleh anaknya ulama.

Sebutan Buya lazimnya lebih kuat untuk ulama yang sudah matang dan menjadi panutan dalam sikap hidupnya. Buya tidak saja berdasarkan ilmunya, tetapi justru yang menonjol itu penilaian terhadap kepribadian dan sikap hidupnya yang mengayomi.Dalam makna yang sudah populer sebutan Buya adalah panggilan keulamaan ciri khas Minangkabau. Buya, Syekh, Inyiak, dan Tuanku adalah panggilan untuk ulama yang populer dengan ukuran tertentu. Misalnya Hamka populer dengan Buya Hamka. Syekh Sulaiman Ar Rasyuli dikenal dengan Inyiak Candung. Peto Syarif, digelari dengan Tuanku Imam Bonjol.

Dalam konteks yang lebih luas Buya bahkan dipakai oleh masyarakat untuk memanggil orang-orang yang taat, mampu menjadi imam, atau pelaksana kegiatan agama di tengah-tengah masyarakat, seperti di kantor atau ditempat kerja lainnya.Demikian tiga sebutan atau panggilan kehormatan yang lazim dilingkungan pendidikan ulama ala surau lama kini sudah menambahkan kata Pondok Pesantren di awal nama aslinya. (DS. 24072023)

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini