Menelisik Kekerasan Seksual di Pondok Pesantren

Foto Harian Singgalang
×

Menelisik Kekerasan Seksual di Pondok Pesantren

Bagikan opini

 Oleh: Yulia Dwijayanti

Mahasiswa Departemen Ilmu Politik Unand. 

Kekerasan seksual terjadi tidak memandang tempat, alias dapat terjadi dimana saja, di lingkungan masyarakat, keluarga, bahkan di pondok pesantren sekalipun yang notabenenya merupakan salah satu lembaga pendidikan berbasis agama Islam. Di beberapa tahun terakhir, kasus pelecehan dan kekerasan seksual di lingkup pesantren makin bertambah.Dilansir dari data Komnas Perempuan periode 2017-2021, kasus kekerasan tertinggi kedua di lingkungan pendidikan terjadi di pondok pesantren yaitu sebanyak 16 kasus. Hal tersebut membuktikan pondok pesantren berada dalam kondisi darurat kekerasan seksual, dan sudah seharusnya menjadi perhatian bagi pemerintah.

Dalam pemantauan Komnas Perempuan, kekerasan seksual di lembaga pendidikan berbasis agama dan berasrama tergolong tinggi dibandingkan lembaga pendidikan secara umum. Komnas Perempuan juga mencatat kerentanan-kerentanan khusus anak perempuan korban kekerasan  seksual. Pertama, relasi kekuasaan berlapis antara pelaku selaku pemilik pesantren dan guru pesantren yang memiliki pengaruh dan dapat memanfaatkan pengaruhnya dengan santriwati. Kedua, publik yang menempatkan pemilik pesantren dan guru pesantren pada posisi terhormat. Ketiga, ketakutan korban dan keluarganya baik karena adanya ancaman maupun posisi terhormat pelaku. Keempat, korban dan keluarganya juga ketakutan mengalami hambatan-hambatan dalam proses pendidikan akibat kekerasan seksual yang dialaminya.Hampir seluruh pondok pesantren mengharuskan santrinya untuk membatasi diri dengan dunia luar, sebut saja contohnya beberapa larangan di pesantren, rata-rata kasus tersebut terjadi pada pesantren dengan sistem eksklusif seperti ini. Di pondok pesantren tersebut, ruang gerak mereka saja dibatasi, tidak mempunyai media sebagai alat komunikasi dengan keluarga maupun teman di luar pesantren membuat mereka tidak memiliki kekuatan dan kesempatan untuk melapor. Beberapa kasus bisa terkuak ke publik karena korban berhasil kabur dari pesantren dan melapor pada orang tua atau keluarga terdekat. Hal tersebut menyebabkan lancarnya aksi si pelaku dalam melakukan kejahatannya, padahal tindakannya tersebut sudah diatur dan tercantum pada Pasal 81 Ayat (1) adalah

“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.”Setelah banyaknya kasus yang terjadi, akhirnya Kementerian Agama menerbitkan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 73 Tahun 2022 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di satuan pendidikan pada Kementerian Agama. "Berdasarkan hal itu, kami mendorong Kemenag RI dan Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenag Lampung melakukan sosialisasi dan implementasi kebijakan PMA No. 73 Tahun 2022 ke seluruh lembaga berbasis keagamaan (formal dan non formal) dengan menekankan keberpihakan terhadap korban," jelasnya.

Menurut pendapat saya, kekerasan seksual dalam pondok pesantren ini harus segera ditanggulangi dan kita harus memberikan upaya untuk mencegahnya agar tidak terjadi lagi di kemudian hari. Beberapa langkah dan cara yang bisa ditempuh yaitu; pemberian pendidikan seks yang didasarkan pada Alquran dan hadist, pengawasan dari orang tua untuk anaknya juga termasuk peranan yang sangat penting juga dalam keadaan seperti ini, pengawasan dari pemerintah terutama kemendikbud terhadap lembaga pendidikan berbasis agama, serta adanya penyuluhan bagi siswa pondok pesantren, bahwa kedudukan guru mereka tidak setinggi itu dan tidak harus dipatuhi jika hal tersebut bersifat mengancam dan sudah tidak lagi dalam batas yang wajar. Karena dari yang saya lihat, faktor utama pemicu kekerasan seksual yang dilakukan oleh rata-rata petinggi lembaga tersebut adalah karena rasa menghormati yang begitu tinggi, sehingga menimbulkan perasaan takut tidak durhaka jika tidak memenuhi keinginan guru ataupun ustadz mereka. (***)

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini