Agama, Kampanye Hitam dalam Lingkaran Politik

Foto Harian Singgalang
×

Agama, Kampanye Hitam dalam Lingkaran Politik

Bagikan opini

Oleh: Riki Saputra (Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat)Kenyataan hidup pada era milenial, di mana digitalisasi menjadi ciri utama. Dengan satu klik, berita yang diragukan kebenarannya bisa menyebar ke seluruh pelosok dunia, apalagi ditambah klik-klik berikutnya, yang menjadikan penyebarannya semakin cepat dan masif. Memang patut disyukuri kemudahan dan kepraktisan yang diberikan era digital. Namun, penting untuk cerdas dan bijak hidup pada era ini. Jika tidak, maka; hoax, fake news, hate speech dan sejenisnya akan merajalela di media sosial yang dimiliki, dan tidak hanya terjadi di media sosial, namun juga dalam kehidupan nyata. Banyaknya hoax, fake news, hate speech dan sejenisnya menjadi tanda untuk era yang dinamakan dengan era Post-Truth. Era di mana fakta objektif atau fakta kebenaran kalah penting dibandingkan kebenaran emosi dan keyakinan individu. Jika filsafat dikenal dengan semboyan cogito ergo sum istilah Descartes “aku berpikir maka aku ada”. Maka, era Post-Truth dipahami dengan istilah “aku percaya maka aku benar.” Dalam hal ini, penting sebenarnya untuk pribadi masing-masing menjaga kewarasan berpikir, untuk memilah dan menyaring mana kebenaran dan mana yang tidak sebelum membagikannya.

Mengkaji perkembangan agama pada era Post-Truth ini, sejak awal dunia ini ada hingga sekarang-pun agama itu mengajarkan nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan. Mencari yang benar menghasilkan ilmu, mencari yang baik menghasilkan akhlak, dan mencari yang indah menghasilkan seni. Kemudian, ketika agama dihadapkan relasinya dengan Negara, bagaimana sebenarnya prinsip ukhrawi dan prinsip duniawi dapat berjalan berdampingan, sehingga hal-hal yang berbau penyalahgunaan agama tidak terjadi, misalnya; memanfaatkan agama sebagai alat kampanye hitam dan bersilat lidah mengatakan bahwa sedang mengkampanye hubungan erat antara agama dan Negara. Hal demikian, tentu patut untuk dikaji, bagaimana relasi antara agama dan Negara, sehingga tidak terjadinya politisasi agama untuk kepentingan kelompok, atau dibawa-bawanya agama sebagai alat kampanye.Pada masa kampanye pilpres 2019, data yang ditemukan oleh mesin AIS yang kemudian diidentifikasi, diverifikasi, dan divalidasi oleh Kominfo sejak Agustus 2018 hingga April 2019 terhitung sebanyak 1.731 hoax. Ferdinandus sebagai Plt. Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo memaparkan bahwa hoax kategori politik mendominasi di angka 620 item hoax, disusul 210 hoax kategori pemerintahan, 200 hoax kategori kesehatan, 159 terkait fitnah, 113 hoax terkait kejahatan dan sisanya hoax terkait isu agama, bencana alam, mitos, internasional dan isu lainnya. Lebih lanjut, Ferdinandus mengatakan bahwa hoax dari bulan ke bulan terus meningkat menjelang hari pencoblosan pilpres 17 April 2019, juga tidak berhenti pada tanggal pencoblosan, jumlah hoax terus bertambah setelah pemilihan (www.kominfo.go.id).

Adanya elit-elit politik yang menjadikan agama sebagai alat kampanye hitam itu berarti sama saja telah merusak nilai-nilai agama tersebut. Keindahan agama yang dapat menghasilkan seni tidak lagi kelihatan, yang muncul adalah bias-bias yang menodai teks-teks agama, bahwasanya agama sangat tidak relevan dengan kehidupan kekinian. Kebenaran yang dapat menghasilkan ilmu tak lagi tampak sebagai sesuatu yang mengantarkan kepada kebenaran, melainkan kepada kesesatan, karena diajak berpikir sempit, ekslusif, dan truth claim; menganggap tafsiran yang lain adalah salah. Kebaikan yang dapat mengantarkan manusia berbudi baik atau memiliki akhlak al-karimah dinomorduakan. Kasarnya, berpolitik meniadakan etika, etika dimanipulasi menjadi taktik kejam politik yang hanya berguna sebagai pencitraan semata.Pancasila sebagai ideologi negara merupakan upaya maksimal warga Muslim Indonesia untuk menyelamatkan bentuk negara di tengah tarikan keinginan membuat dasar negara sekuler dan Islam. Pancasila bagi umat Islam adalah dasar negara, sedangkan Islam adalah akidahnya. Pancasila mengatur tata hidup bernegara, sedangkan tata hidup beragama diatur oleh Islam. Keduanya tidak akan berbenturan dan tidak perlu dibenturkan, sehingga Islam tidak perlu menjadi agama resmi negara dan diformalisasikan dalam bentuk undang-undang negara, tetapi yang penting adalah jaminan negara bagi umat Islam untuk menjalankan agamanya (Zionis, 2015: 350).

Berdasarkan uraian di atas, membawa-bawa agama sebagai alat untuk kampanye atau politisassi agama membuat rusak citra agama itu sendiri dan tidak menempatkan agama sebagai porsinya dalam mendatangkan kebenaran, keindahan, dan kebaikan dalam hidup beragama, serta menganggu hubungan antara keduanya yang mana negara di antara fungsinya adalah untuk mengatur ketertiban, keamanan dan kesejahteraan rakyat, sementara agama mengatur kehidupan manusia sebagai makhluk yang bertuhan. Memaksakan untuk mencampuradukan fungsi antara keduanya hanya akan menyebabkan terpecah belahnya umat; antara satu penganut agama dengan penganut agama lainnya, antara satu suku dengan suku lainnya, antara satu ras dengan ras lainnya, dan antara satu budaya dengan budaya lainnya.Miris memang, melihat kenyataan era sekarang, perpolitikan di Indonesia khususnya yang tanpa sadar telah sengaja atau tidak sengaja menciptakan ruang perpecahan dalam bangunan umat beragama melalui penyebaran hoax dan jenis-jenisnya. Namun, hal demikian tentu masih dapat diperbaiki. Kesadaran akan pentingnya kesatuan bangsa harus menjadi poin penting untuk keberlangsungan keutuhan negara ini. Semua yang menjadi bagian dari negara ini harus saling bangun membangun untuk menghentikan penyebaran hoax dan jenis-jenisnya tersebut. Pertama, untuk elit politik yang ingin memajukan bangsa dan negara ini; bermain jujurlah, adil/fair play, tunjukkan kepada bangsa dan negara ini tekad tulusnya untuk mengabdi kepada negara tanpa harus menjatuhkan lawan politiknya yang lain dengan membawa-bawa agama yang disebarluaskan melalui media sosial. Kedua, untuk umat beragama di Indonesia, jalan terbaik untuk melawan hoax dan jenis-jenisnya yang berkaitan dengan politisasi agama adalah dengan tabayyun, meminjam bahasa Nadirsyah Hosen saring dulu sebelum sharing. Tidak gegabah membaca dan memahami suatu berita sebelum tahu kebenaran sesungguhnya. (*)

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini