Viral Dulu, Maaf Kemudian

Foto Harian Singgalang
×

Viral Dulu, Maaf Kemudian

Bagikan opini

Akhirnya para mahasiswi yang viral karena fasilitas di lokasi Kuliah Kerja Nyata (KKN) itu minta maaf bersama-sama kepada berbagai pihak dengan penyesalan yang mendalam. Mengharu biru jagat sosial media. Viral dulu, maaf kemudian! Pepatah mengingatkan "Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna."Sesal kemudian masih ada gunanya, yaitu pelajaran dari pengalaman dan hikmah bagi siapapun menjadikan sebuah peristiwa sebagai i'tibar! Sebab kehidupan akan terus berjalan, maka jadikan seluruh peristiwa pahit itu sebagai pelajaran. Sekalipun tidak ada niat untuk melukai siapapun, sekalipun sekadar untuk bermain-main, ternyata hidup ini tidak sesederhana itu. Ada yang luka ketika sesuatu itu dilakukan berlebihan. Khusus soal itu, betapa menyesal dan malu orang tua, kampus dan dosen pembimbing, dsb.

Beberapa hari sebelum viral, saya menulis di sini di bawah judul "Tersungkur di Bawah Selangkangan Digital" (Singgalang, Jumat, 23 Juni 2023). Sebuah tulisan ingin mengajak agar literas media itu perlu didalami dan dipelajari, sembari saling mengingatkan jangan salah jalan dan tertipu oleh pihak-pihak yang ingin menguasai uang dan pikiran kita. Juga ganasnya netizen membully.Para mahasiswi itu bukanlah yang pertama, ada puluhan peristiwa sebelum ini. Di Sumbar, pernah ada yang joget-joget di depan masjid lalu minta maaf setelah dibully berhari-hari. Ada juga yang minta maaf setelah berurusan dengan pihak aparat. Hal ini telah diingatkan Jurgen Habermas di dalam "The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society (1962)." Habermas mengkritik perkembangan ini dan mengusulkan bahwa ruang publik yang sehat dan demokratis harus didasarkan pada diskusi yang inklusif, terbuka, dan berdasarkan argumen-argumen rasional.

Jonathan Haidt dalam "The Righteous Mind: Why Good People are Divided by Politics and Religion (2012)" juga menyatakan ada enam dimensi moral yang mendasari moralitas manusia modern: kepedulian (kecelakaan), keadilan (kecurangan), kesetiaan (pengkhianatan), otoritas (kekhianatan), kesucian (kemerosotan), dan kebebasan (penindasan). Hal ini harus diperhatikan oleh siapapun yang ingin menjelma sebagai netizen di sosial media.Lalu kenapa terus terjadi hal-hal receh tetapi melukai di ruang publik? Sekali lagi ini soal sihir dunia digital yang mengejutkan banyak pihak atas kepemilikan dan kemanjaan atas fasilitas di dalam smartphone. "Smartphone lebih cerdas dari orang yang memakainya," kata sastrawan Khairul Jasmi yang beberapa kali saya kutip. Tingkat literasi media yang beragam memang masalah tersendiri atas sihir hebat teknologi informasi ini. Mengira-ngira smartphone adalah kebebasan melakukan apapun akan dirasakan oleh siapapun yang baru mendapatkannya. Ini tahapan pertama bersegera masuk ke tahapan kedua merasa tempat paling nyaman menumpahkan segala bentuk emosi, masuk ke segala bentuk permainan (game), seterusnya mencoba mendekat ke arah pornografi, lalu masuk ke ranah kritik sosial dan politik. Padahal, sesungguhnya algoritma Artifisial Intelegensia (AI) pada smartphone itu sedang merekam seluruh kurenah pemakainya.

Smartphone bukan kebebasan, seperti halnya sepeda motor yang mengandung UU Lalu Lintas ketika dipakai maka Smartphone mengandung UU ITE ketika sedang menggunakannya. Walaupun di kamar sendirian bisa melakukan apapun tanpa ada yang melihat. Smartphone di tangan bukanlah soal kepemilikan tetapi juga soal pengaturan dan aturan hukum di wilayah hukum Indonesia. Seribu akun bodong bisa dibuat kalau digunakan untuk berlindung namun International Mobile Equipment Identity (IMEI) itu tercatat bisa dilacak. Berhati-hatilah.Hal paling penting disadari para pelajar dan mahasiswa adalah, setelah wawancara di dunia kerja dan mungkin saja akan segera kerja bisa saja semua buyar ketika Human Resource Development (HRD) perusahaan tersebut melakukan pelacakan tentang jejak digital akun personal anda. Kecuali perusahaan tersebut milik keluarga, seseorang bisa diterima. Namun HRD pada coorporate, biasanya tidak mau ambil resiko tenaga baru yang punya jejak kelam pernah melakukan sesuatu yang negatif di lini masa.

Memang selalu ada godaan dan dorongan untuk tampil di sosial media, sebagaimana mitologi Yunani atas Pangeran Narcissus, yang menjadi dasar sebuah contoh sifat narsis. Pada satu sisi narsis itu baik, jika memiliki sesuatu yang patut menambah nilai dan keuntungan sebagaimana popularitas bisa menaikkan harga tawar. Branding product berangkat dari sini. Namun bila godaan dan dorongan itu justru membuat jatuhnya harga diri dan menjatuhkan harga diri orang lain maka perlu ilmu dalam mengunakan smartphone sebelum jauh terhanyutkan.Kebebasan dalam spektrum apapun ada batasnya, tidak benar-benar bisa seenaknya karena akan berhadapan dengan sistem sosial dalam bentuk aturan hukum. Menjadi sok hero di lini masa demi viewer juga akan terperosok jauh jika hanya menjinjing kepentingan sesaat dan "justru memperlihatkan kebahlulan," kata Muhammad Nasir, Dosen Sejarah UIN Imam Bonjol Padang. Apalagi fakir narasi, jauh dari kebenaran faktual, berlumur fitnah, hanya akan membawa seseorang jauh tersingkir dari peradaban yang kini mengikat kehidupan serba kolaborasi.

Dunia kian melesat, abad terus berlari, yang tidak mau belajar akan tertinggal jauh, yang abai atas pengendalian emosi, menjauhkan ilmu akan dihimpit ke tepi. Hal inilah membuat Literasi Digital dan Literasi Media menjadi penting, sepenting tata krama komunikasi dalam menelepon dalam kurikulum zaman dahulu kala, ketika smartphone belum ditemukan. Etika adalah hal penting di sosial media; alangkah indah nasehat nenek moyang kita, babuek baiak pado-padoi, babuek buruak sakali jaan (berbuat baik diukur-ukur, berbuat buruk jangan sekali-kali). Berbuat untuk kebaikan pun seseorang harus tetap mencermati keadaan agar bermanfaat, jangan sampai disalah-gunakan oleh orang yang berniat tidak baik. Sedangkan perbuatan buruk sekali-kali jangan pernah dilakukan. Janganlah sok hebat tetapi ujung-ujung minta maaf, menyesali lalu ditertawakan sepanjang hayat. Mau?Dosen Literasi Media Prodi Komunikasi Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Imam Bonjol Padang

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini