Kekerasan pada Anak Meningkat, Childfree Sebuah Solusi?

Foto Harian Singgalang
×

Kekerasan pada Anak Meningkat, Childfree Sebuah Solusi?

Bagikan opini

 Oleh Indah Sakina 

Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Universitas AndalasKekerasan pada anak adalah semua tindakan atau kegiatan yang menyakiti fisik maupun emosional anak, penyalahgunaan seksual, kelalaian, yang mengakibatkan luka fisik yang merugikan, tumbuh kembang , dan kelangsungan hidup anak. Menurut undang- undang Nomor 35 tahun 2014 yang dikatakan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun dan yang berada dalam kandungan. 

Berdasarkan undang- undang kekerasan anak, ada 5 bentuk kekerasan pada anak, yaitu meliputi kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikis (emosional), penelantaran, dan yang terakhir merupakan eksploitasi. Kekerasan pada anak adalah hal yang sudah sering terjadi di Indonesia. Kita sangat mudah menemukan kekerasan pada anak baik di lingkungan keluarga maupun instansi pendidikan, bahkan di pasar- pasar atau di lampu merah banyak ditemukan anak- anak yang mengemis padahal mereka disuruh oleh oknum malas yang memanfaatkan mereka. Tak jarang juga anak yang masih balita bahkan masih bayi diajak panas- panasan di jalanan untuk mengundang simpati publik agar mendapatkan keuntungan. Bahkan kekerasan seksual juga kerap terjadi pada anak dibawah umur. Contohnya siswi SMP asal Cianjur yang sudah melayani 8 lelaki hidung belang. Hal tersebut baru diketahui oleh orang tua korban, karena curiga ada perubahan gaya hidup pada anak mereka. Tak hanya sampai disitu, 2 pelaku tertangkap oleh polres Pandeglang setelah memaksa seorang siswi untuk bekerja sebagai seorang PSK. Bahkan menurut beberapa riset pada Februari 2023 sudah terjadi kekerasan seksual pada anak sebanyak 80 orang anak menjadi korban. Dilingkungan keluarga tidak kalah buruk, bahkan ayah kandung ataupun saudara laki- laki dari korban ikut melakukan aksi bejat ini. 

Kekerasan pada anak sudah berada pada ambang yang mengkhawatirkan, sehingga pemerintah atau instansi yang terlibat di tutut cepat dan tanggap dalam menyelesaikan kasus ini, bukan hanya itu peran pemerintah dalam menciptakan rasa aman dan damai serta rasa dilindungi juga sangat penting untuk meminimalisir kasus ini. Pemerintah diharapkan mampu membuat langkah preventif salah satunya dengan disahkannya UU TPKS pada rapat paripurna 12 April 2022 dan resmi menjadi undang- undang pada 9 Mei 2022.Karena banyaknya kasus tentang kekerasan anak yang terjadi, sehingga banyak pasangan muda yang takut untuk memiliki anak dan memilih untuk tidak memiliki anak, atau istilah kekiniannya adalah childfree. Sebenarnya childfree  bukan istilah baru, istilah ini sudah dikenal sejak abad ke-20 dan banyak digunakan dalam negara- negara maju. 

Masyarakat yang memilih childfree percaya bahwa dengan tidak memiliki anak mereka akan memiliki kebahagiaan hidup yang lebih baik, tidak akan terbebani, dan mereka menganggap dengan mereka memilih childfree  mereka akan membantu menurunkan populasi manusia yang ada di dunia. Selain itu juga banyak faktor pendorong mereka untuk memilih childfree,  seperti alasan trauma masa lalu misalnya. Mereka tidak mau hal buruk yang menimpa mereka akan terjadi lagi kepada anak atau cucu mereka kelak. Bahkan banyak publik figure yang melakukan trend ini.Padahal sebenarnya saya pribadi kurang sependapat dengan budaya childfree ini. Karena saya rasa itu hanya bentuk kekhawatiran saja akan masa depan. Karena untuk menjadi orang tua memang diperlukan mental yang kuat. Untuk mengasuh anak merupakan kesepakatan bersama dalam rumah tangga, bukan hanya peran sebelah pihak. Sehingga psikologi yang matang dalam menjalani pernikahan diperlukan. Pasangan yang menikah hendaknya memiliki anak ketika mereka siap bukan karena mereka mau ataupun tuntutan masyarakat.

Bukan hanya keluarga, pemerintah juga berperan penting dalam hal ini. Mungkin saja banyak orang memilih trend ini karena tuntutan ekonomi. Maksudnya demi meminimalisir pengeluaran mereka memilih untuk tidak memiliki anak, sehingga kebijakan pemerintah juga berperan besar. Padahal sesungguhnya memiliki anak yang baik dan lucu serta berkompeten akan mampu menciptakan banyak dampak positif, seperti berkembangnya SDM yang baik, mampu memajukan daerah sekitar, dan berdampak baik bagi negara. (***)

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini