Tersungkur di Bawah Selangkangan Digital

Foto Harian Singgalang
×

Tersungkur di Bawah Selangkangan Digital

Bagikan opini

Oleh Abdullah KhusairiDosen Literasi Media Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Imam Bonjol Padang

Apa yang kita banggakan hari ini? Ketika membaca judul di atas, mungkin sebagian marah dan kecewa. Namun mari kita merenungi sedikit perjalanan hidup kita yang terus berubah. Kita sedang dibawa arus entah kemana, ketika digitalitas telah menghanyut jauh. Larut dan kian sulit keluar dari keadaan yang melenakan.Terlenakah kita? Ini yang pernah diceritakan seorang profesor tentang sebuah katak yang nyaman di dalam kuali berisi air. Menikmati air yang hangat dan tiba-tiba tidak bisa lagi melompat karena sudah terlambat. Katak ini berakhir dengan status "katak rebus."

Apakah kita seperti itu, di tengah kebisingan dan digitalitas yang memanjakan? Bisa saja. Sungguhpun tidak menafikan begitu banyak hal yang sudah bisa diraih atas kemajuan teknologi informasi akhir-akhir ini. Namun kita sadar, banyak juga yang hilang dan berakhir tragis karenanya.Mari kita baca buku seputar kerisauan para cendekiawan tentang dunia digital kita hari ini. Shoshana Zuboff menulis "Zaman Kapitalisme Pengawasan: Pertarungan untuk Masa Depan Manusia di Perbatasan Baru Kekuasaan (2019)." Isinya, membahas perusahaan-perusahaan teknologi menggunakan data pribadi pengguna untuk menghasilkan keuntungan. Umumnya masyarakat rela untuk mengupload data diri dengan riang gembira. Seperti katak yang menikmati hangatnya air di dalam kuali.

Menakutkan. Lalu Cal Newport (2019) menuliskan peringatan di dalam buku "Minimalis Digital: Memilih Kehidupan yang Terfokus di Dunia yang Bising (2019). mengingatkan publik untuk mengambil pendekatan yang lebih sadar dalam menggunakan media sosial, dengan fokus pada penyembuhan gangguan dan kembali ke kehidupan yang lebih fokus. Cal Newport menyadari, teknologi merupakan gangguan pada satu sisi namun memiliki kebermanfaatan pada sisi lain.Zuboff, Newport, juga menyadari apa yang dipikirkn oleh Ciaran Mc Mahon di dalam buku, "Pikiran Media Sosial: Bagaimana Media Sosial Mengubah Otak dan Kehidupan Kita. Dampak psikologis dan sosial dari penggunaan media sosial sudah terlalu jauh mengubah segalanya. Disrupsi melewati kecepatan yang dibutuhkan dalam kehidupan manusia. Perilaku online telah mengubah pikiran dan ada sisi kemanusiaan yang tercerabut olehnya.

Ini juga disadari Nicholass Carr yang menulis buku "The Shallows: Apa yang Internet Lakukan pada Otak Kita (2021) " oleh Nicholas Carr. Buku ini menjelaskan bagaimana penggunaan internet, termasuk media sosial, dapat mempengaruhi cara berpikir dan kerja otak kita. Ditambah lagi Silva Vaidhyanathan di dalam Media Antisosial: Bagaimana Facebook Memutus Hubungan Kita dan Merongrong Demokrasi (2018) . Dampak negatif yang muncul akibat penggunaan media sosial, dengan fokus pada Facebook, termasuk masalah privasi, penyebaran berita palsu, dan berdampak besar terhadap sistem demokrasi. Kini disusul oleh beragam sosial media yang lebih canggih mesinnya. Kita diperdaya, hilang waktu dan uang.Dampak terhadap sistem demokrasi, melalui alasan kebebasan berekspresi, hal yang tak terelakkan adalah berlakunya teori echo chamber. Dimana imajinasi publik tentang kehebatan sosial media untuk menyebar propaganda tetapi ternyata menyiarkan kebencian, keburukan, membangun panggung sendiri sekaligus membuat dinding pemisah dengan dalil perbedaan. Perbedaan menjadi meninggi, kesamaan menjauh. Konflik sosial dimulai dari titik sini.

Masihkah kita baik-baik saja? Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2023 menyatakan dengan bangga, masyarakat Indonesia kian melek internet. Sudah 78 persen, atau 215 juta mendapat akses. Sebanyak 8 jam sehari menggunakan WhatsApp, hiruk di WhatsApp Groups saban waktu. Sejak bangun tidur hingga tidur lagi. Mungkin ada yang produktif tetapi lebih banyak yang tidak. Sebanyak 5-7 jam di sosial media, menonton ke menonton saja kerja generasi muda kita. Main game apalagi, sambil menciracau kepada temannya. Kadang-kadang dengan bahasa yang kotor. Belum lagi ketika smartphone rusak dan bila dilarang menggunakannya, perilaku mereka sangat buruk. Teori ketergantungan media dan teori pengaruh sosial terbukti di sini.Masihkah kita baik-baik saja? Apakah masih ada harapan untuk kita baik-baik saja itu? Tentu saja masih, melalui penyadaran tentang dunia digital yang senyatanya harus dipahami sebagai alat, bukan mainan. Sebagai sebuah alat, digunakan ketika perlu saja bukan untuk dimainkan dan dipermainkan. Diperlukan seperlunya, untuk produktivitas dan kreativitas, bukan sekadar menjadi konsumen aktif hingga smartphone yang biasanya berumur 2-3 tahun itu hancur.

Program Literasi Digital itu sangat perlu dilakukan secara masif agar masyarakat memiliki kesadaran bahwa dunia digital bisa membahayakan, bisa merugikan, bisa menipu, bisa tertipu, bisa membuat seseorang berakhir di penjara!Bila mana tidak ada kebijakan dimulai dari pemerintah, orang tua, lingkungan, keburukan dan generasi kita tersungkur di selangkangan digital adalah nyata adanya. Salam. (*)

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini