Bundo Kanduang atau Bundo Kangkuang?

Foto Harian Singgalang
×

Bundo Kanduang atau Bundo Kangkuang?

Bagikan opini

Oleh: Dirwan Ahmad Darwis (Pemerhati Sosio Budaya)Sistem matrilineal (bersuku ke garis keturunan ibu) dalam adat budaya Minangkabau telah meletakkan kaum perempuan (padusi) di Minangkabau pada kedudukan yang sangat istimewa, mereka diberi kehormatan dan keutamaan menurut adat. Diberi gelar kehormatan sebagai Bundo Kanduang,  dengan beberapa hak-hak istimewa, antara lain sebagai; penerima ketentuan menurut garis kesukuan ibu, penerima rumah tempat tinggal, penerima harta pusaka dan sumber ekonomi, penerima dan penyimpan hasil usaha perekonomian, serta pemegang hak suara istimewa dalam bermusyawarah

Bundo Kanduang dalam kaum, merupakan tiang utama di Rumah Gadang, pemegang kunci simpanan khusus, pusek jalo kumpulan ikan (pengatur rumah tangga, sumber penentu baik atau buruk anggota keluarga). Tempat bertanya sebelum pergi, tempat berbagi berita setelah pulang, penyemarak dalam nagari, menjadi hiasan dalam masyarakat, yang diagungkan-dibesarkan dan bertuah. Ketika hidup tempat berniat, ketika mati tempat bernazar, sebagai kain pelindung ke Medinah, jadi payung panji untuk ke sorga. Kata-kata ini dengan jelas menggambarkan bahwa begitu benarlah keistimewaan seorang padusi di Minangkabau. 

Sifat-sifat Bundo KanduangCiri-ciri seorang Bundo Kanduang Minangkabau, antara lain; patuah jo taat, manjauhi sumbang jo salah, tau dilarangan jo pantangan, bamalu jo samalu, mampunyoi raso jo pareso, bataratik dan basopan santun, tau dikarajo rumah tanggo. Bana jo luruih (bana di hati, di muluik dan di karajo), cadiak jo pandai, jujur dipicayo, adia, ramah jo panyaba, fasiah babicaro.

Dengan demikian seorang Bundo kanduang akan senantiasa berupaya menjaga agar adat senantiasa terpelihara dan berjalan dengan baik, adat harus dipakai utuh menurut kebutuhannya (adat dipakai baru, kain dipakai usang). Ia harus senantiasa mengingatkan anak cucu dan lingkungannya: ingek di adat nan karusak, jago limbago jan sampai sumbiang, urang ingek pantang takicuah, urang jago pantang kamalingan.Sebagai warga Minangkabau, kita perlu melihat ke dalam, adakah sifat-sifat Bundo Kanduang itu masih dipakai oleh padusi Minangkabau hari ini? Apakah kalangan padusi Minangkabau hari ini sudah tau dan paham sejarah Minangkabau, Budaya dan Bahasa Minangkabau?

 Padusi Minangkabau: Sejarah, Budaya dan Bahasa Minangkabau.

Pengetahuan dan pemahaman sejarah akan membuat seorang padusi Minangkabau tahu dan paham bagaimana sifat dan sikap prilaku seorang Bundo Kanduang yang benar. Pengetahuan sejarah juga akan memberikan mereka pengetahuan tentang kebudayaan, karena sejarah lebih banyak membicarakan budaya suatu kelompok manusia pada zaman-zaman yang sudah berlalu. Karena budaya itu artinya “cara hidup”, sebab itulah di mana ada manusia di sana ada budaya. Lalu, yang banyak mewarnai prilaku kehidupan itu adalah “bahasa.” Makanya dulu sering kita mendengar pribahasa “mulut mu adalah harimau mu, yang dapat menerkam kepala mu”. Pribahasa lama lainnya juga menyatakan “bahasa menunjukkan bangsa.”Mengapa bahasa sangat memainkan peranan? Karena bahasa itu sangat erat hubungannya dengan pemikiran (Comsky, 1968), yang kemudian akan menjelma dalam prilaku. Bahasa menunjukkan siapa kita, orang Minangkabau bilang; “nan lahie manunjuakkan nan bathin”. Bagaimana pemikiran atau suasana bathin kita, akan ditunjukkan oleh bahasa yang kita ucapkan, untuk kemudian akan tergambar dalam prilaku atau “parangai” kita. Menurut Zahari (2021) “bahasa itu bisa merubah budaya”, artinya bahasa itu dapat merubah cara hidup. Hal ini dijelaskan oleh Rachman (2007) dalam Rajo Endah (2013:xxi) yang menyatakan: .”…Nilai  adat, kehalusan sikap, dan materi budaya dalam bahasa daerah, akan lenyap bersamaan dengan kepunahan bahasa tersebut. Sehingga pada akhirnya kepunahan bahasa daerah sekaligus berarti pula kepunahan budaya.”

Untuk lebih jelasnya, kalau hari ini orang Minangkabau meninggalkan bahasanya dan berpindah ke bahasa Indonesia, maka pada saatnya nanti, prilaku dan cara hidup (budaya) Minangkabau akan hilang dan bertukar dengan cara hidup orang Indonesia biasa saja sesuai dengan perubahan zaman. Artinya lagi, pada saatnya nanti orang Minangkabau akan kehilangan jati dirinya, dan hanya akan menjadi “antimun bungkuak”, tidak akan dikenali lagi, karena ciri-ciri khas budayanya sudah hilang.Sebagai bahan renungan bagi kita orang Minangkabau, penulis menghadiri Kongres Bahasa Daerah Nusantara pertama yang digelar di Kota Bandung pada 2-4 Agustus 2016. Diketahui dalam acara itu dinyatakan secara resmi bahwa sejumlah bahasa daerah di Nusantara ini terancam punah, karena ditinggalkan oleh penutur aslinya yang berpindah ke bahasa lain. Bahasa Minangkabau adalah salah satunya yang dinyatakan terancam punah itu.

 Kangkuang dan Prilaku Bundo Kanduang Zaman Kini

Kata “kangkuang” dalam Kamus Baso Minangkabau (Bapayuang, 2015:201) artinya katak besar yang sering mengeluarkan bunyi brisik kang-kuang pada malam hari, atau di kala hujan. Binatang ini berkulit halus dan licin, berjalan dengan cara melompat-lompat, postur dan penampilannya banyak orang tidak suka/menjijikkan.Tidak dapat dipungkiri, bahwa perubahan zaman telah menghanyutkan sebahagian dari padusi Minangkabau, terutama para pemuja modernisasi yang hanyut dalam arus globalisasi. Prilaku mereka seringkali tidak melihat sisi kearifan dan kecerdasan dalam adat budaya mereka. Bahkan sering terjadi kesalahan dalam memahami adat budaya tersebut, sehingga tergambar dalam sikap dan prilaku mereka.  Keadaan ini membuat adat budaya itu sendiri semakin tercemar dan tidak lagi memperlihatkan adat budaya Minangkabau yang berperadaban tinggi.

Tapi lucunya, sebahagian dari mereka masih bangga menamakan diri sebagai “Bundo Kanduang”, terutama yang hidup di perkotaan, nampaknya ada gengsi di sana. Salah kaprah ini sering terjadi, penulis dalam beberapa acara sering memperhatikan prilaku-prilaku menyimpang ini. Contohnya ketika sedang memakai baju kebesaran Bundo Kanduang, mereka yang seharusnya bersikap bersopan santun, anggun dan berwibawa, tapi sebaliknya malah ikut berjoget-joget/menari-nari, terkadang kedua-dua tangan menunjuk-nunjuk ke atas sambil bergoyang-goyang mengiringi alunan musik. Bahkan saking riang gembiranya, tak jarang terdengar suara tapakiak tapikau, sambil ta-onjak-onjak atau terlompat-lompat  meniru gaya prilaku orang-orang yang sedang mabuk sambil menari-nari di dalam ruangan diskotik berbudaya Barat.Pernah pula penulis melihat, ada anak gadis Minangkabau cantik yang sedang memakai suntiang di kepalanya, juga ikut menari-nari kegirangan. Semua hal ini, tentu sangat lah tidak pantas bila dilihat dari  sudut pandang pelestarian seni budaya dan jati diri Minangkabau. Dengan demikian, mereka-mereka ini sebetulnya tidak pantas lagi disebut Bundo Kanduang, tapi amat sesuai dipanggil sebagai “bundo kangkuang”, karena perangainya yang suka melompat-lompat dan berteriak-teriak seperti kangkuang itu.

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini